Terlepas kita bosan atau tidak. Kegiatan temu politisi dalam rangka membuat jalan menuju 2024 tidak bisa dihindari. Bahkan, sepertinya kabar-kabar tersebut akan semakin menghiasi berbagai kanal media yang ada. Karena saat ini memang sudah memasuki tahun politik. Para politisi itu sebenarnya memang sengaja untuk membuat tontonan pertemuan-pertemuan mereka. Ada pesan yang ingin mereka sampaikan. Ada kekuatan yang ingin mereka tunjukkan. Pesan dan kekuatan yang kelak juga akan dipertontonkan oleh politisi lainnya. Sifatnya ini menular dari seorang politisi ke politisi lainnya.

Bahkan rakyat pun bisa terbawa arus. Sangat beralasan karena rakyat juga ingin tahu sebenarnya pertemuan-pertemuan itu melahirkan apa? Tanpa atau dengan sadar, rakyat juga turut memberikan andil pada angka popularitas dan elektabilitas yang kelak akan dikeluarkan oleh lembaga survei. Psikologi ini yang sedang dibangun oleh para elit partai.

Dalam percaturan demokrasi, sah-sah saja setiap partai politik melakukan pertemuan-pertemuan antar partai politik. Walaupun (katanya) berbeda ideologi, tetapi dalam hal mencari suara (termasuk untuk memenuhi syarat presidential threshold) mereka menjajaki koalisi juga. Itulah politik. Dinamis alasannya. Berdasarkan kepentingan tepatnya. Dalam politik yang ada adalah kepentingan. Dalih yang dipakai, untuk kepentingan nasional. Katanya.

Nah, karena alasan ‘kedinamisan’ ini juga menyebabkan muncul suara apatis di tengah masyarakat. Antusiasme beberapa komponen masyarakat menurun. Kurang berminat. Apapun warnanya, posisi masyarakat tetaplah statis. Pada saat yang sama, cukup miris, malah semakin banyak yang bertengger di garis kemiskinan. Kebutuhan sehari-hari sulit dijangkau, utamanya pangan dan energi. Kritis. Efek pilpres, di bawah masih terjadi pembelahan tak berkesudahan. Di atas, kalah – menang tetap berbagi jatah kekuasaan. Lantas, untuk apa kemudian masyarakat sibuk memilah dan memilih lagi?

Oleh karena itu, kerja besar para politisi harus segera diarahkan untuk bagaimana mengedepankan kejujuran diatas segala kepentingan. Kejujuran apakah hari ini janji-janji yang dulu disampaikan sudah terealisasi. Kejujuran apakah segala kebijakan yang disepakati sudah memenuhi syarat untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh elemen bangsa. Serta kejujuran-kejujuran lainnya yang akhirnya membuat masyarakat semakin sadar politik. Kejujuran di lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, kepolisian dan aparat lainnya.

Anggaran yang dihabiskan untuk pelaksanaan pemilihan umum tidaklah sedikit. Andai memang dari pemilihan ke pemilihan, tingkat melek plus partisipasi politik tidak signifikan. Lebih baik angka triliunan rupiah itu dikonversikan ke berbagai kebutuhan masyarakat. Apalagi saat ini, berbagai kebutuhan masyarakat mulai melejit naik. Tidak pernah turun. Sementara daya belinya masih kronis.

Melek politik dan partisipasi politik adalah dua agenda besar yang tidak bisa pisahkan dan sekaligus menjadi amanah besar bagi setiap politisi — dengan partai politiknya masing-masing. Masyarakat yang tidak melek politik otomatis tidak mempunyai bekal pemahaman (stock of knowledge) terkait pilihan-pilihan politiknya. Inilah yang kemudian membuat mereka apatis untuk memberikan suaranya pada kontestasi pemilu. Termasuk juga nantinya masa bodoh terhadap agenda-agenda pemerintahan.

Walhasil, kita tidak hanya paceklik dalam hal ekonomi, tetapi juga mengalami krisis kepercayaan. Ini yang harus disadari para politisi agar kembali tumbuh kepercayaan, bahwa kehadiran partai adalah untuk menjaga marwah kebenaran bernegara.

Situasi yang akut inilah sebaiknya dibahas dalam berbagai bentuk silaturahmi politik itu. Setelah pertemuan usai, seperti biasa para pimpinan partai itu kemudian mengadakan konferensi pers. Apa yang kemudian dibicarakannya? Jika selama ini masyarakat terhipnotis untuk menunggu siapakah bakal calon yang diusungnya.

Tapi mulai saat ini, sudah saatnya kesepakatan yang keluar dari pertemuan-pertemuan itu memberikan sebuah rekomendasi yang berpihak kepada masyarakat. Misal “kami prihatin sekali dengan keadaan bangsa ini, untuk itu dari pertemuan tadi kami bersepakat untuk membenahi ekonomi sehingga tidak ada kenaikan BBM, harga telur ayam bisa terjangkau…” atau lagi “kami akan segera mengawal dan meminta KPK agar buronan kasus korupsi besar segera ditemukan dan tuntas..…” Pernahkah kita temukan deklarasi semacam ini paska safari politik itu? Adanya yang tertangkap kamera tidak lebih hanya persoalan usung-mengusung. Selebihnya? Lupa pada persoalan yang dihadapi masyarakat.

Masih ada waktu, untuk pimpinan partai politik mengembalikan adagium ‘kedaulatan di tangan rakyat’ itu. Suara rakyat suara Tuhan.

Jika berkaca pada pesta demokrasi terakhir, pemilihan tahun 2020 yang tersebar di 270 daerah dengan agenda pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota. Angka partisipasinya hanya mampu tembus di 76,09 persen. Masih hampir seperempat pemilih yang tidak memberikan hak pilihnya. Harus ada kajian “mengapa?”. Ataukah memang angka ini sudah cukup besar? Harapannya adalah partisipasi demokrasi itu berbanding lurus dengan kesejahteraan. Dan itu bisa, asal mau dan sungguh-sungguh.

Masih ada waktu, langkah-langkah politik yang diambil tidak sebatas berpikir bagaimana untuk menang semata. Tapi bagaimana berikhtiar untuk bersepakat meminimalisir angka kemiskinan sekaligus memperbaiki jarak ketimpangan ekonomi (rasio gini). Tidak ada degradasi lingkungan apalagi moral. Perlu langkah – langkah strategis, bukan sekedar lips service, sehingga kelak bisa memulihkan kepercayaan masyarakat. Dan negara menjadi aman, damai, adil, dan sejahtera.

Terakhir, juga masih ada waktu untuk membangun kebersamaan. Bukan sebatas kawanan yang hanya bertujuan untuk meraih kekuasaan. Pada hakikatnya, demokrasi harus selalu memberikan ruang bagi rakyatnya untuk memimpin bangsa. Tentunya dengan kapabilitas dan integritas yang mumpuni. Juga dengan kehendak rakyat yang bersumber dari hati nurani.

Andai kebersamaan yang dibangun hanya untuk mengejar kekuasaan. Dapat dipastikan, dengan stock of knowledge yang ada — misal indeks literasi (digital), tingkat penyebaran hoaks, dan persentase golput yang kita saksikan saat ini — polarisasi akan semakin menggila. Tugas kita semua untuk selalu membawa suasana damai dan sejuk. Bukan perang buzzer dan kejelekan.

Stop mencari kekuasaan. Ganti dengan membangun pengabdian untuk Ibu Pertiwi

*Asep Saefuddin, Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) – Guru Besar Statistika FMIPA Institut Pertanian Bogor (IPB)

Sumber

Kumparan