Perubahan ekonomi berbanding lurus dengan perkembangan teknologi. Semua ini berkaitan dengan kebutuhan manusia yang dioptimumkan oleh para pengusaha. Memang pada dasarnya manusia memiliki ego (campuran antara kebutuhan dan keinginan). Kebutuhan untuk mencukupi pangan, sandang, dan papan pada awalnya sangat sederhana (primitif). Hal ini pun memerlukan alat sederhana.

Lama-lama kebutuhan dasar itu ditambah keinginan setidaknya untuk memenuhi bentuk produk (lebih baik, menarik), proses (lebih cepat, efisien, efektif), jumlah (lebih banyak) dan jangkauan distribusi produk yang melewati batas-batas lokasi, maka lahirlah industri.

Sifat keinginan membuat kebutuhan dasar manusia semakin bervariasi dari segi jenis, tampilan, dan jumlahnya. Efek positif dari keinginan inilah yang menyebabkan manusia terus memeras otak sampai akhirnya terjadi revolusi industri (RI).

Perkembangan RI saat ini sudah mencapai RI 4.0. RI itu dicirikan dengan perkembangan teknologi dari yang paling sederhana sampai sangat tinggi. Perubahan ini pun berkaitan dengan kandungan sains di dalamnya. RI tahap awal sangat dipengaruhi oleh teori fisika yang dimotori oleh Sir Isaac Newton. Setelah itu dipercepat dengan fisika kuantum yang berbasis pada energi yang tidak kasat mata. RI 4.0 yang kita saksikan dewasa ini adalah produk pemikiran kuantum sehingga lahir intelegensi buatan (AI atau artificial intelligence) dan produk turunannya.

Bila kita perhatikan perubahan yang menakjubkan itu semuanya berkaitan dengan pengetahuan yang menjadi sains, kecerdasan manusia, dan inovasi. Semua itu menghasilkan industri yang membuat ekonomi semakin lengket dengan pengetahuan dan disebut K-economy atau knowledge based economy.

Dengan semakin kompleksnya kebutuhan dan keinginan manusia, diperlukan inovasi-inovasi sampai akhirnya sering disebut I-economy (innovation based economy). Terlepas dari itu semua, di dalamnya mengandung sains yang juga semakin tali temali antar disiplin keilmuan. Situasi semakin multidisiplin, sulit dipisah antara sains sosial, sains alam, ilmu hayat, psikologi, matematika, dan fisika.

Dilihat dari faktor sains dan teknologi dalam I-economy, nyata-nyata bahwa Perguruan Tinggi (PT) menduduki peran yang sangat penting. Itulah sebabnya kategori PT dalam I-economy ini sering disebut universitas riset (research university). Mengapa? Karena bobot dari kegiatan di kampusnya adalah riset, bukan pengajaran.

Memang kegiatan pengajaran masih ada, tetapi bobotnya jauh di bawah riset. Mahasiswanya pun diarahkan menjadi peneliti. Bahkan persentase mahasiswa pascasarjana (S2 dan S3) biasanya lebih tinggi daripada S1. Di Amerika atau negara-negara maju, termasuk RRT, tidak semua PT masuk ke dalam kategori universitas riset.

Orientasi dari kampus universitas riset adalah penemuan-penemuan baru yang berdampak pada kemajuan industri. Dengan demikian diskusi-diskusi yang menstimulasi gagasan dan inovasi menjadi bagian keseharian para dosen dan mahasiswa. Kegiatan pengabdian pada masyarakat sebagai bagian dari Tri Dharma PT itu hampir tidak dikenal alias tidak wajib. Kecuali bila fakultas atau departemennya berstatus sebagai “land grant college” (fakultas dengan tanah hibah dari negara).
Di Indonesia, apapun level PT, wajib tri dharma. Bila ditelaah lebih dalam konsep tri dharma ini terlalu idealistik. Ujungnya, tidak menjadi apa-apa alias “too good to be true”.

Global Innovation Index (GII) kita yang berada di urutan ke-87 masih terpaut jauh dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Bahkan posisi yang demikian menyebabkan kita tidak jauh beda, bahkan ‘kalah’ misalnya dari negara seperti Kenya (urutan 85). Alih-alih bicara inovasi, ternyata kita juga gagap dalam mendefinisikannya. Masih ingat dengan temuan Menkeu, Sri Mulyani terkait 24.000 aplikasi yang tidak multifungsi di lembaga pemerintahan? Bukan hanya belum tentu tepat sasaran penggunaannya, malah yang pasti adalah hadirnya kemubaziran anggaran.

Maka untuk memperkuat peran PT, dalam membangun I-economy yang syarat dengan sains dan teknologi tingkat tinggi, perlu dibuat klasifikasi PT di Indonesia. Tidak perlu semua PT diperlakukan sama. Begitu juga dalam hal dosennya. Saat ini, untuk menjadi profesor atau guru besar semua diperlakukan sama. Padahal tidak sedikit dosen yang bagus dalam mengajar, tetapi tidak kuat dalam riset, sebaiknya dia tetap profesor sejauh bertugas di PT sebagai dosen. Bisa saja kategorinya adalah asisten pengajar (bagi pemula), asisten profesor (assistant professor), profesor madya (associate professor), dan profesor penuh (full professor).

Semuanya profesor, kecuali dosen baru masuk. Dan tidak ada istilah profesor kehormatan yang diberikan kepada seseorang bukan dosen. Bila memang orang itu luar biasa dan layak mendapat penghargaan, universitas bisa memberi gelar Doktor Kehormatan (Dr.(HC)). Selain hal itu lebih bermakna, juga jenjang jabatan akademik di PT tidak rusak.

Saat ini ada beberapa kampus yang sudah berstatus PTNBH (Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum). Asumsinya, PT sudah matang termasuk mampu mencari dana di luar UKT (Uang Kuliah Tunggal) yang wajib dibayar mahasiswa.

Berdasarkan anggapan itu, maka PTNBH bisa dirancang menjadi universitas riset. Orientasinya adalah produk-produk riset dan inovasi yang berdampak pada ekonomi inovatif. Indikatornya adalah porsi pendapatan berbasis UKT jauh di bawah income non UKT (kerjasama riset dengan industri). Ini harus kita kejar, apalagi melihat indikator yang ditetapkan dalam GII, salah satu aspek yang masih menjadi pekerjaan rumah adalah terkait dengan sumber daya manusia sekaligus penelitiannya (human capital and research).

Di dalam PTNBH itu bisa saja ada departemen yang basisnya pengajaran selain kegiatan riset dan inovasi. Tetapi dominasi departemennya adalah departemen riset yang konsentrasi mahasiswanya adalah S2 dan S3. Bila porsi UKTnya masih dominan, ada baiknya status universitas risetnya dicabut. Artinya PT model ini tidak perlu diberi status PTNBH.

Tanpa ada pemaksaan kegiatan PTNBH berbasis riset untuk menghasilkan produk inovatif, sulit Indonesia membangun I-economy. Karena arena yang paling mudah digarap adalah pendapatan berbasis UKT. Akan tetapi hal ini tidak baik untuk perkembangan ekonomi Indonesia, sekaligus juga mematikan PTS. Selama berjalannya masih seperti ini, maka ekonomi akan begini-begini saja.

Orang-orang cerdas yang kuat dalam riset akan berguguran, baik menjadi terbawa malas, apatis atau pindah ke PT luar negeri. Juga PT akan begini-begini saja. Keinginan membangun I-economy hanya hayalan. Dan Indonesia akan terus menjadi negara konsumen yang menjadi serbuan produk negara asing. Ide stop impor, menjadi sekedar himbauan belaka. Cukup menyedihkan.

*Asep Saefuddin, Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) – Guru Besar Statistika FMIPA Institut Pertanian Bogor (IPB)

Sumber

Kumparan