Beberapa hari lalu, Kompas menyajikan data terkait persoalan biaya kuliah yang semakin mahal. Salah satu hasil dari analisisnya mengenai kombinasikan data upah lulusan (SMA – Kuliah) yang bersumber dari Badan Pusat Statistik periode 1995 -2022 dengan data biaya kuliah dari 30 kampus periode 2013 – 2022 adalah kenaikan upah orang tua tidak mampu mengejar kenaikan biaya studi. Bahkan dinyatakan juga seandainya para orang tua itu membuka tabungan dengan menyisihkan 20% pendapatannya selama 18 tahun (dari lahir sampai tamat sekolah menengah atas), tetap saja jumlah tabungannya itu tidak bisa mencukupi biaya kuliah anaknya nanti.
Kesimpulan ini semakin rumit ketika dikaitkan dengan jumlah pengangguran. BPS telah merilis bahwa per Februari 2022 jumlah pengangguran di Indonesia tercatat 5,83 persen dari total angkatan kerja yang berjumlah lebih dari 140 juta jiwa. Nah, parahya ternyata kampus masih menyumbang lebih dari 13 persen dari jumlah angka pengangguran itu.
Tidak berhenti disitu saja. Kondisi semakin diperparah ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan 86 persen koruptor yang ditangkapnya adalah mereka yang telah mengenyam di pendidikan tinggi.
Tidak mudah menjawab tantangan ini. Selain berharap pemerintah menghadirkan kebijakan yang berkeadilan bagi kehidupan kampus, secara simultan kampus juga harus segera berbenah. Jangan sampai masalah ini menghasilkan sebuah kesepakatan yang menyebabkan para orang tua untuk berpikir ulang melanjutkan studi anaknya. Untuk apa kuliah?
Padahal Angka Partisipasi Kasar 3 tahun terakhir menunjukkan tren kenaikan yakni 30,28 (2019), 30,85 (2020) kemudian menjadi 31,19 (2021). Adanya 4.500an kampus dengan lebih dari 39 ribu program studi yang tersebar di berbagai daerah, seharusnya 3 jutaan pelajar yang lulus pendidikan SMA/sederajat itu bisa kuliah.
Gerak cepat pemerintah tidak cukup hanya dengan menghadirkan skema pembiayaan kuliah melalui bidikmisi/KIP. Harus ada evaluasi ketepatan penerima sasarannya serta program studi pilihannya. Jangan sampai beasiswa yang diberikan hanya mendulang angka-angka pengangguran baru.
Begitu juga kuota pembagian beasiswanya, tidak hanya berpusat di PTS sementara swasta hanya menerima alakadarnya. Termasuk pendanaan lainnya baik untuk pembangunan kampus maupun peningkatan skill dosen/tenaga kependidikan. Jumlah mahasiswa di kampus swasta sangat besar — walau masih berbagi mengingat secara kuantitas jumlah PTS juga membludak.
Disinilah perlu peran pembinaan dari pemerintah dalam rangka peningkatan kualitas PTS. Jangan keberadaan PTS dibiarkan bergelantungan dalam posisi ‘hidup segan mati tak mau.’ Pembinaannya tentu harus sungguh-sungguh, termasuk ada beberapa kampus PTN yang mendapat otonomi penuh asal orientasinya adalah riset dan inovasi. Bukan sekedar nambah-nambah jumlah mahasiswa yang bisa didelegasikan ke PTS.
Di sisi lain, pembenahan pada bantuan studi lanjut yang dikenal dengan beasiswa LPDP juga harus diperbaiki polanya. Penerima beasiswa tidak hanya dituntut untuk bisa mengakses kampus-kampus ternama dunia, tetapi arah loyalitasnya untuk membangun bangsa tidak sekedar dilihat dari komitmennya untuk kembali ke Indonesia. Usaha nyata untuk melakukan pemberdayaan masyarakat juga mulai diterapkan. Dengan kata lain, lulusan dari beasiswa yang telah dibiayai negara dengan ukuran ‘lumayan’ ini haruslah mempunyai indikator ketercapaian: turunnya angka pengangguran. Bukan sebatas meningkatkan privilege diri.
Sementara itu, pembenahan kampus bisa dimulai dengan menguatkan posisinya sebagai pusat dari innovation based economy atau yang sering disingkat dengan I-economy. Tren dunia semakin berubah, kampus yang bergerak di tempat dengan segudang kegiatan seremonialnya dapat dipastikan akan terseok untuk membangun kapasitas mahasiswanya.
Ketika negara belum kuat untuk hadir — sekali lagi, terutama bagi PTS, kampus harus mulai memfungsikan diri sebagai pusat perluasan jejaring. Kemudian, dari sinilah tercipta berbagai kolaborasi sebagai upaya melahirkan inovasi baru. Inovasi yang bisa mendorong terciptanya pertumbuhan ekonomi bangsa.
Atau jika ini dianggap mimpi yang terlalu tinggi. Paling tidak inovasi itu mampu menyelesaikan dua persoalan. Pertama adalah membuat kampus bisa hidup secara mandiri tanpa harus terus berjibaku dengan kalkulasi-kalkulasi biaya kuliah yang dibayarkan mahasiswanya. Dana LPDP bisa saja dipergunakan untuk BOPTS (Biaya Operasional PTS). Kedua, mampu menjadi penyelamat bagi setiap lulusannya yang meraih gelar sarjana.
Sekali lagi, kampus harus terus diperkuatkan agar semakin urgen perannya. Meskipun pola pembelajaran mulai bergerilya di ruang-ruang digital. Belajar-mengajar tanpa harus ke kampus. Bahkan tidak sedikit beberapa lembaga menawarkan konsep e-learning secara gratis. Namun, kondisi yang bersumber dari derasnya kemajuan informasi dan teknologi ini tidak harus menafikan peran kampus.
Kampus harus tetap ada dan terus memperkuat keberadaannya. Kampus harus tetap menjadi bagian dari satuan-satuan pendidikan di negeri ini. Kampus jangan ditambah dengan beban berupa hadirnya regulasi yang terlalu berbelit. Termasuk misalnnya kemudahan perolehan visa bagi mahasiswa asing.
Dengan demikian, fungsi kampus tidak lagi sebatas melahirkan manusia pintar dengan ragam gelar akademik yang dimiliki. Tetapi juga menyiapkan bekal dengan beragam skill sekaligus menjadi tenaga kerja profesional. Tentu tidak melahirkan pelaku korupsi juga. Mereka harus kaya ide, kreatif, inovatif, dan berjejaring.
Dengan demikian, persoalan meningkatnya biaya kuliah bisa diatasi. Andai memang peningkatan itu tidak bisa dihindari akibat adanya faktor lain seperti kondisi perekonomian dan lain sebagainya. Tetapi pengorbanan orang tua dalam membiayai studi anaknya terpuaskan. Indikasinya sederhana: anaknya nanti bisa meningkatkan kualitas dan taraf kesejahteraan hidup keluarganya.
Oleh karena itu, kita akan terus selalu berharap semua anak-anak bangsa ini bisa kuliah. Meraih jenjang pendidikan tertinggi. Bagaimanapun salah satu jalan terbaik dalam memutus mata rantai kemiskinan dan kebodohan itu adalah dengan pendidikan. Tentunya melalui proses pembelajaran yang mencerahkan.
*Asep Saefuddin, Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) – Guru Besar Statistika FMIPA Institut Pertanian Bogor (IPB)