Dua hari lalu, Senin (18/7) dan juga Senin sebelumnya kita menyaksikan banyak postingan terkait keceriaan di Hari Pertama Sekolah. Mulai dari jenjang pendidikan usia dini sampai mereka yang mulai menempuh di jalur pendidikan menengah.
Terharu dan tentu kita ikut bergembira melihat wajah-wajah riang yang menghiasi beranda sosial media itu. Mengapa? Pertama, euforia ini setidaknya menggambarkan betapa mulai bangkitnya keterlibatan orang tua dalam mendidik anaknya.
Kedua, momen kegembiraan yang bertebaran itu tidak lain juga sebagai wujud melepas kerinduan akibat ‘buka-tutup’ proses belajar tatap muka. Dampak dari hadirnya pandemi covid-19.
Terakhir, yang juga sekaligus harapan bersama adalah tidak bisa dipungkiri sejatinya kita memang sangat membutuhkan dan menikmati dengan hadirnya sekolah. Meskipun pendidikan tidak selalu identik dengan sekolah. Namun, sampai hari ini sekolah masih menjadi tulang punggung dari proses pendidikan itu sendiri.
Salah satu hikmah dari hadirnya pandemi adalah mulai tersadarnya para pendidik jika teknologi itu hanyalah ‘alat bantu’, bukan aktor utama. Aktor utamanya tetaplah guru.
Jika kita bertanya mengapa akhirnya learning loss itu terjadi? Jawabannya bukan hanya sekedar persoalan teknis, seperti paket internet habis atau hilangnya sinyal saat pembelajaran daring diberlakukan. Learning loss berkorelasi erat dengan hilangnya campur tangan guru dalam pembelajaran tersebut.
Dengan demikian, jika berharap peserta didik bisa menikmati sekolah, atau dengan kata lain agar mereka selalu senang dan aman bersekolah. Tentulah harus dihadirkan sosok-sosok guru yang juga bisa menghadirkan ruang keamanan sekaligus bersahabat bagi siswa.
Tanpa menafikan peran lainnya, seperti suasana lingkungan yang asri, gedung yang megah, perpustakan dengan bahan bacaan yang melimpah, dan hal lainnya yang biasanya menjadi daya jual sekolah. Namun, guru tetaplah harus menjadi daya tarik utama dan pertama bagi sekolah itu.
Logika berpikirnya sederhana saja. Meja atau kursi yang rusak bisa diganti. Bahan bacaan yang kurang di perpustakaan bisa dibeli. Jaringan internet bermasalah bisa diatasi.
Nah, kalau gurunya yang bermasalah?
Belakangan, sebagaimana yang telah kita ketahui bersama fenomena dari perangai oknum-oknum guru yang justru berubah menjadi predator bagi siswanya terus bermunculan bak film serial. Kondisi ini tentunya tidak cukup diakhiri dengan vonis. Kemudian dihukum seberat mungkin.
Sebelum kronis, akar masalahnya haruslah segera diobati.
Apalagi secara resmi melalui rapor pendidikannya, Kemendikbudristek merilis bahwa Iklim Keamanan sekolah di Indonesia (untuk kategori SD/sederajat dan SMP/sederajat) berstatus waspada. Tidak rawan, tetapi belum aman.
Dengan kondisi yang demikian, ketika kita berharap guru harus menciptakan ruang keamanan dan kenyamanan bagi siswanya. Secara simultan seharusnya pemerintah juga wajib menghadirkan ruang yang sama bagi guru. Keamanan dan kenyamanan.
Intinya lagi: keadilan.
Untuk itu, pemerintah terutama melalui kementerian yang dinahkodai oleh Mas Menteri Nadiem Makarim harus terus bergerak. Bergerak tidak hanya sebatas melahirkan guru-guru dengan status penggerak. Lebih dari itu para guru juga harus diberikan semangat untuk menghadirkan kelas-kelas yang bersahabat — bukan menjerat siswanya.
Beberapa catatan penting yang harus segera dibenahi adalah, pertama perlu dirumuskan kembali beban kerja guru. Kerja-kerja guru haruslah bersifat autentik. Artinya jangan sampai beban hanya dipandang sebagai syarat administratif semata. Kelak, kemudian hanya berujung sebatas laporan tanpa perihal yang substantif.
Kedua, status kepegawaian guru. Selain guru berstatus ASN. Ada juga status lainnya. Misalnya pegawai tidak tetap daerah (prov/kab/kota), guru yayasan, guru honorer sekolah dan lain sebagainya.
Untuk guru berstatus ASN ini pun sekarang memiliki dua status yang berbeda. PNS dan PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja). Status – status tersebut tidak bisa dipandang secara tekstual saja. Perbedaan ini secara tidak langsung merupakan vonis sekaligus membentuk kasta di sekolah. Tentu, muaranya berhubungan dengan banyak variabel lainnya. Seperti persepsi dan juga pendapatan.
Ketiga, kepemilikan guru. Guru itu milik siapa sebenarnya? Mulai dari perekrutan, evaluasi, penempatan, sampai pada pemberian gaji. Garis pembatas sekaligus koordinasi lembaga yang terlibat dalam fase tersebut harus terus diperjelas dan diperkuat. Sehingga tidak saling lepas dalam tanggungjawabnya.
Keempat, tabiat guru. Guru yang temperamental, sumbu pendek, atau cepat naik darah. Walaupun mereka cerdas, namun perlu mendapat perhatian khusus. Beberapa metode pembelajaran, memang bisa digantikan dengan teknologi, tetapi hakekat guru terletak pada karakternya.
Untuk itu perlu dan harus sering diadakan pertemuan, diskusi, workshop, ataupun studi banding ke sekolah-sekolah yang menerapkan nilai-nilai kemanusiaan di atas sekadar capaian akademik.
Terakhir, bagaimana dengan peran perguruan tinggi? Kampus – kampus yang mencetak guru sudah sepantasnya merasakan gerah untuk terus menguatkan etik mahasiswanya. Disamping dengan tetap menginjeksikan kompetensi lain tentunya.
LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) harus mempunyai pusat riset yang berkaitan dengan perkembangan anak, psikologi, neuroscience, epigenetika (ilmu yang mempelajari aspek lingkungan dan perubahan gen), serta ilmu perilaku. Mereka jangan hanya takjub terhadap teknologi dan dunia digital tanpa riset kehidupan manusia secara total.
Semoga momentum Hari Pertama Sekolah yang sedang dinikmati ini terus berlanjut. Tidak tersendat akibat dicederai oleh segelintir oknum yang mengatasnamakan guru. Bagaimanapun hakikat guru sebagai penerang di ruang gelap itu tidak bisa digantikan.
Saatnya kita kawal bersama, agar anak-anak kita, generasi penerus bangsa itu menikmati sekolah sebagai jembatan meraih masa depannya yang cerah. Semoga!
*Asep Saefuddin, Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) – Guru Besar Statistika FMIPA Institut Pertanian Bogor (IPB)
Sumber