Jakarta – Pakar hukum Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Profesor Suparji Ahmad, menilai pengusutan kasus kematian Brigadir Novriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir J sebaiknya disikapi sesuai aturan hukum yang berlaku. Dia mengatakan tak perlu adanya spekulasi-spekulasi yang menimbulkan stigma, bahkan sebaliknya, perlu kolaborasi antarpihak.
“Tidak perlu mengembangkan satu narasi yang spekulatif yang kemudian menimbulkan stigmanisasi yang belum terkonfirmasi. Maka lebih baik sesuai pro justitia saja. Jangan ada opini yang kemudian dikembangkan masing-masing pihak,” ucap Suparji kepada wartawan, Senin (25/7/2022).
Menurutnya, hakikat dari kasus tewasnya Brigadir J adalah pengusutan tuntas penyebab kematian. Dia berharap semua pihak menyerahkan proses penyidikan pada tim kepolisian yang saat ini bekerja, sambil terus mengawasi setiap perkembangan penyidikan.
“Lagi-lagi harus dikembalikan hakikat dari masalah ini, yaitu bagaimana diusut dengan tuntas. Serahkan pada penegak hukum. Supaya mereka akuntabel, profesional, ya lakukan pengawasan dalam proses penyidikan. Kolaborasi kerja sama itu yang harus dilakukan, bukan mengembangkan sebuah narasi yang kemudian menimbulkan bermacam praduga,” ujar Suparji.
Dia berpendapat spekulasi yang berkembang justru tidak membawa dampak konstruktif dalam proses pengusutan penyebab kematian Brigadir J. “Sikap seperti itu tidak konstruktif,” sambung dia.
Suparji mengatakan publik hanya memerlukan fakta di balik tewasnya Brigadir J. Dia menyimpulkan kasus ini bukan perkara sulit karena lokasi dan waktu kejadiannya jelas.
“Publik memerlukan pengungkapan fakta. Fokus saja pada siapa yang terlibat, siapa yang memberikan kesaksian. Ini sebetulnya kan perkara yang tidak rumit karena locus dan tempus delicti-nya kan jelas, mengacu pada itu saja,” kata dia.
“Jadi ambil sikap hukum yang proporsional saja sesuai aturan yang berlaku, tidak menginstitusionalisasi permasalahan ini. Menurut saya tindakan hukum yang dilakukan oleh kepolisian itu kembalikan pada prosedur dan mekanisme yang berlaku dalam mengungkap suatu fakta. Tidak boleh dipengaruhi atau kemudian berada dalam genderang publik,” lanjut dia.
Meski demikian, dia mengapresiasi sikap Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang responsif terhadap desakan publik. Sikap tersebut, sambung Suparji, memang dibutuhkan untuk menjaga akuntabilitas institusi Polri.
“Kami melihat pada sisi responsifnya, maka patut diapresiasi karena Kapolri sangat merespons permintaan dari pihak korban maupun publik. Memang untuk menjaga akuntanbilitas, responsibilitas diperlukan hal itu,” tutur Suparji.
Seperti diketahui, kasus kematian Brigadir J di rumah Kadiv Propam Polri nonaktif Irjen Ferdy Sambo menjadi sorotan publik hingga Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo langsung merespons desakan publik mengungkap fakta-fakta tewasnya Brigadir J dengan membentuk tim khusus, yang melibatkan Komnas HAM dan Kompolnas.
Teranyar, Sigit merespons permintaan pihak keluarga Brigadir J untuk dilakukan autopsi ulang. Polri lalu menggandeng Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI) untuk memeriksa kembali jasad Brigadir J. Polri juga melibatkan dokter forensik dari Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto dalam autopsi ulang, sesuai permintaan kuasa hukum keluarga Brigadir J, Kamarudin Simanjuntak.
Sumber