Merahputih.com – Praktisi hukum Suparji Ahmad menilai, kebijakan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna Laoly yang membebaskan puluhan ribu narapidana (Napi) terkesan tidak cermat. Terutama dalam memetakan siapa napi yang layak diberikan asimilasi.

“Tidak cermat dalam menentukan siapa yang berhak diberikan asimilasi dan tidak,” kata Suparji kepada wartawan di Jakarta, Selasa (21/4).

Suparji berujar, napi asimilasi yang kembali berulah itu punya karakter yang belum bisa diubah. Di samping itu, kata dia, situasi serba susah.

Termasuk masalah ekonomi akibat Corona, menyebabkan napi tersebut mencari jalan pintas untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, mereka tidak bisa bekerja demi menyambung hidupnya.

“Hal ini mestinya sudah diantisipasi sebelum diberikan asimilasi,” kata pengajar di Universitas Al Azhar ini.

Suparji menuturkan, seharusnya pertimbangan utamanya adalah napi yang sudah lebih baik dan tidak akan mengulangi kejahatannya.

Ia mendesak agar Kemenkumham segera bersinergi dengan aparat penegak hukum untuk segera mengambil tindakan hukum kepada napi yang kembali berulah.

“Supaya ada efek jera baik untuk yang bersangkutan maupun yang lain,” jelasnya.

Akan tetapi, kata dia, aspek hukum dan hak asasi manusia tetap diperhatikan aparat. Seperti melakukan tembak di tempat harus sesuai prosedur.

“Misalnya jika ada bukti kejahatan, melakukan perlawanan dan hanya untuk melumpuhkan, bukan mematikan,” tuturnya.

Di sisi lain, dia menilai aksi sejumlah napi asimilasi yang kembali berulah itu disebabkan oleh karakter dan efek pandemi Corona.

“Penjara yang telah dijalani ternyata belum berhasil menjerakan dan mengedukasi supaya menjadi orang yang lebih baik, seharusnya setelah dipenjara taat hukum dan bermasyarakat,” tandasnya.

Sebelumnya, Menkumham Yasonna Laoly mengeluarkan kebijakan pembebasan itu untuk menyelamatkan warga binaan dari penyebaran virus Corona atau COVID-19. Namun, sebagian dari mereka kembali melakukan kejahatan kriminal. (Knu)

Sumber

Merah Putih