Oleh: Yasmi Adriansyah, Dosen Hubungan Internasional Universitas Al Azhar Indonesia

Serbuan brutal polisi Israel ke Masjid Al-Aqsa pada 28 Ramadhan 1442 Hijriyah, atau 10 Mei 2021, adalah tragedi. Tidak saja tragedi bagi bangsa Palestina yang sudah dijajah lebih dari 70 tahun. Ia adalah tragedi bagi umat Islam mengingat Al-Aqsa adalah masjid suci ketiga setelah Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Madinah.

Di sisi lain, serbuan atas Al-Aqsa telah memicu babak baru konflik Israel-Palestina. Sebagian pihak, termasuk mantan jubir masjid di Yerusalem Timur tersebut, Dr. Abdullah Maarouf, memprediksi akan munculnya Intifada Ketiga.

Intifada adalah sebuah gerakan perlawanan monumental yang berlangsung lama dan relatif mampu menciptakan ‘perimbangan’ rakyat Palestina dalam mempertahankan buminya dari jajahan Zionis Israel.

Prediksi ini cukup beralasan. Tidak lama setelah serbuan atas Al-Aqsa, Hamas yang menguasai Jalur Gaza meluncurkan ratusan roket ke wilayah Israel. Sampai artikel ini ditulis, 14 Mei 2021, serangan roket dari Hamas terus berlangsung dan belum dapat dipastikan kapan akan berakhir.

Israel tentu tidak tinggal diam. Mereka melancarkan serangan balasan dan sudah menewaskan lebih dari 60 warga sipil Palestina, termasuk anak-anak dan wanita. Hal ini makin mengeskalasi konflik antara kedua pihak yang memang secara de facto sudah lama berseteru secara militer.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan akan mengerahkan kekuatan besar (great force), baik dalam konteks kontraserangan kepada Hamas maupun terkait agenda besar Israel meng-yahudi-kan kota suci Yerusalem.

Menyikapi babak baru konflik Israel-Palestina, komunitas internasional langsung bereaksi. Beberapa negara menyerukan kedua pihak untuk segera men-de-eskalasi konflik. Namun sayangnya sikap sebagian masih terlihat berpihak kepada penjajah Israel tanpa mengacu pada prinsip universal seperti HAM. Padahal serbuan aparat keamanan Israel terhadap tempat beribadah merupakan fakta kasat mata pelanggaran hak kebebasan beragama (religious freedom).

Sebagai misal, usai serangan dan kontraserangan dari kedua belah pihak, beberapa negara Barat seperti Jerman dan Inggris cenderung mengecam Hamas. Ironinya, kecaman mereka minim atau bahkan tidak menyentuh sama sekali isu serbuan brutal polisi Israel ke Masjid Al-Aqsa sebagai faktor pemicu konflik. Padahal bagi bangsa Palestina secara khusus dan umat Muslim secara umum, serbuan ini sudah menyentuh hal yang sangat esensial: kesucian Masjid Al-Aqsa.

Ironi lainnya muncul dari Dewan Keamanan-Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB), sebuah lembaga internasional terkemuka yang memiliki mandat menjaga perdamaian dunia. Lembaga beranggotakan 15 negara – 5 tetap dan 10 tidak tetap – ini memang bergerak cepat dengan mengadakan sidang darurat. Namun sidang ternyata berakhir tanpa hasil, bahkan dalam bentuk minimal seperti pernyataan sekalipun. Padahal kabarnya terdapat rancangan resolusi cukup keras yang mengecam Israel yang diinisasi anggota tidak tetap Norwegia dan Maroko. Namun rancangan tersebut dimentahkan Amerika Serikat, negara adidaya yang selama ini memang dikenal sebagai proxy dan pelindung kepentingan Israel.

Beruntung Palestina masih mendapatkan dukungan dari negara lain. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyatakan bahwa serbuan brutal Israel ke Masjid Al-Aqsa menunjukkan bahwa mereka adalah teroris. Erdogan menyatakan akan memobilisasi dunia Islam, dalam kapasitas maksimal yang ia miliki, untuk memberikan pembelaan dan dukungan kepada Palestina dalam melakukan perlawanan terhadap teror dan penjajahan Israel.

Perdana Menteri Pakistan Imran Khan mengutuk keras Israel, mengingat Masjid Al-Aqsa merupakan kiblat pertama umat Muslim.

Presiden Indonesia Joko Widodo turut mengecam Israel dan meminta DK-PBB mengeluarkan sikap atas pelanggaran berulang negara berpenduduk 9 juta ini. Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Mesir, dan negara berpenduduk mayoritas Muslim lainnya pun sudah mengeluarkan kecaman serupa dan kembali menegaskan dukungan bagi Palestina.

Pertanyaannya, apakah berbagai dukungan dari sebagian negara Muslim di atas mampu menguatkan perjuangan bangsa Palestina dalam mendapatkan kembali hak atas tanah airnya? Tentu sejarah akan mencatat. Namun setidaknya, di satu sisi, berbagai dukungan baik secara bilateral maupun pada tataran perjuangan diplomatik multilateral akan memberikan semangat moral kepada otoritas Palestina maupun rakyat yang berjuang di lapangan.

Di sisi lain, jika melihat kecenderungan dan pengaruh negara Barat, kecil kemungkinan perjuangan diplomatik di tingkat multilateral seperti DK-PBB dapat mengarah pada keberpihakan atas Palestina secara adil. Inggris dan AS, yang memilik hak veto di lembaga elit dunia tersebut, adalah representasi negara Barat yang posisinya selama ini cenderung tidak berpihak pada kepentingan Palestina, bahkan untuk hal-hal fundamental seperti dekolonisasi.

Harapan multilateralisme kini banyak bersandar di Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Usai pertemuan komite para duta besar atau wakil tetap (OIC Committee of Permanent Representatives) pada 11 Mei 2021, organisasi beranggotakan 57 negara ini mengeluarkan pernyataan yang sangat keras (strongly condemned) terhadap Israel. Lebih signifikan lagi, Duta Besar Republik Niger yang sedang menjabat ketua komite, meminta OKI untuk bergerak lebih dari sekedar meluncurkan kecaman (we must go beyond simple condemnations).

Palestina tentu mengharapkan OKI secara multilateral dan negara-negara tertentu secara bilateral-regional melakukan langkah lebih kongkrit. Namun demikian, langkah dan dukungan kongkrit memerlukan waktu dan sumber daya yang tidak kecil. Adapun fakta di lapangan berlangsung sangat cepat. Dalam hitungan hari, puluhan atau bahkan ratusan korban terus berjatuhan, khususnya di sisi Palestina.

Melihat fakta dan kondisi di atas, Intifada sepertinya menjadi opsi paling memungkinkan bagi bangsa Palestina. Gerakan perlawanan yang terlihat tradisional ini – yaitu melemparkan batu dan bom Molotov serta melakukan serangan tanpa senjata militer moderen – sepertinya akan kembali menjadi opsi bagi para freedom fighters Palestina.

Sebagai kilas balik, Intifada pertama terjadi pada 9 Desember 1987 dan berakhir pada 1 September 1993 seiring ditandatanganinya Kesepakatan Oslo.

Gerakan yang dipicu kematian empat orang akibat ditabrak truk Israel pengangkut tank di wilayah pengungsi Jabalya ini telah memicu gerakan perlawanan bangsa Palestina, khususnya dalam bentuk protes, pembangkangan sipil, dan kekerasan.

Alhasil selama sekitar enam tahun Intifada-I, menurut The Routledge Handbook on the Israeli-Palestinian Conflict (2013), sekitar 1.162-1.204 warga Palestina tewas di tangan aparat Israel dan sebaliknya 100 warga sipil dan 60 aparat Israel dibunuh pejuang Palestina.

Adapun Intifada kedua berlangsung selama lebih dari empat tahun. Kekerasan Intifada mulai terjadi pada 28 September 2000 saat PM (saat itu) Ariel Sharon melakukan kunjungan provokatif ke kompleks Masjid Al Aqsa. Pascakunjungan tersebut kerusuhan menyeruak dan dibalas oleh aparat Israel dengan peluru, gas airmata, dan bahkan serangan tank dan pesawat udara.

Bangsa Palestina membalasnya dengan taktik yang lebih mengerikan, termasuk serangan roket dan bom bunuh diri. Akibatnya, dalam periode Intifada-II ini, sekitar 3.000 pejuang Palestina tewas dan 1.000 warga Israel juga terbunuh. Intifada-II baru dianggap usai setelah dilakukannya pertemuan antara Presiden Palestina Mahmoud Abbas dan PM Israel Ariel Sharon di Sharm el Sheikh pada 6 Februari 2005.

Hal yang pasti adalah Intifada-II – lazim juga dikenal dengan nama Intifada Al Aqsa – semakin menciptakan rasa takut di sebagian warga Israel. Sebagaimana hasil studi Bleich et al (2003) menunjukkan bahwa sekitar 58,6% warga Israel merasa depresi, sekalipun masih dalam skala moderat. Jumlah korban di pihak Israel pun ternyata tidak berbeda jauh dari korban jiwa pejuang Palestina.

Bagaimanakah prediksi terdekat dari konflik Israel-Palestina pascaserbuan Masjid Al Aqsa? Melihat sejarah Intifada-II dipicu oleh kejadian di Al Aqsa, probabilitas atau kemungkinan meletusnya Intifada-III menjadi semakin terbuka. Hal ini semakin dieskalasi oleh serangan roket dan kontraserangan antara Hamas dan tentara Israel.

Tentu kita selaku masyarakat yang cinta damai tidak menginginkan perang atau konflik senjata berkepanjangan. Namun penjajahan Israel atas Palestina adalah sebuah fakta yang telah berlangsung lebih dari 70 tahun. Di kala bangsa terjajah ini belum mendapatkan keadilan dan dukungan internasional yang signifikan, Intifada-III sangat mungkin menjadi opsi tak terelakkan. Wallahu a’lam.(AK/R1/P1)

Sumber

Minanews.net