Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc., M.A*

TRIBUNNEWS.COM – Isu reshuffle kabinet yang mencuat menghentak kesadaran publik. Padahal, beberapa bulan sebelumnya, presiden Jokowi sudah memastikan tidak ada reshuffle apapun. Namun, dinamika politik memang selalu berembus lebih kencang dari angin. Karenanya, patut direspon dengan mempertimbangkan kelayakan TGB Zainul Majdi dan Yusril Ihza Mahendra dalam pusaran politik reshuffle ini.

Terlebih dahulu, penting disampaikan bahwa pengertian politik menurut Winston Churchill (mantan perdana menteri Ingris) adalah: not a game, but a serious business. Bukan permainan dan hiburan, melainkan ‘bisnis’ dan perdagangan yang amat serius. Para politisi, dengan demikian, para saudagar-saudagar yang serius mencari laba. Dalam politik, apapun (termasuk jabatan) adalah komoditas yang diperjual-belikan.

Pengamat Politik Universitas al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, memprediksi Bambang Brodjonegoro pasti tergeser sebagai Menristek. Bambang tampak akan dipasang sebagai Kepala Otoritas Ibu Kota Negara (IKN). Bagi Ujang, Nadiem Anwar Makarim pun layak direshuffle. Sebagai gantinya, banyak potensi dari Tokoh NU, muhammadiyah atau lainnya.

Jokowi sebagai mantan pengusaha dari Solo, sebuah kota dengan peradaban tua, lihai dalam berbisnis. Pada Kamis, 18 Februari 2021, Jokowi mengatakan: “enggak ada. Saya tegaskan, enggak ada reshuffle. Pemerintah masih fokus menangani pandemi.” Dalam nalar bisnis, tidak ada reshuffle kala itu berarti kebijakan reshuffle tidak mendatangkan laba.

Jika bulan ini atau bulan-bulan depan reshuffle itu terjadi, Jokowi sedang melihat potensi bisnis lain. Reshuffle ditaksir sebagai komoditas politik yang setidaknya mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat, memulihkan ekonomi paska pandemi, atau mengatasi amburadulnya dunia akademik sebagai tulang punggung bernegara. Reshuffle dihitung dalam timbangan untung-rugi menghadapi persoalan negara.

Dalam paradigma bisnis politik dan perdagangan jabatan ini, patutlah kita menimbang nama-nama besar seperti Tuan Guru Bajang (TGB) Muhammad Zainul Majdi, Yusril Ihza Mahendra (YIM), atau Ustad Yusuf Mansur (UYM). Tiga tokoh Islam ini adalah pendukung berat Jokowi di Pilpres 2019 kemarin, dan rela mendapatkan hujatan kelompok Islam urban/pendukung prabowo yang sebelumnya pendukung mereka. Namun, Jokowi hingga hari ini belum mengapresiasi pengorbanan dan jerih payah mereka.

Tentu klise bila hari ini masih bicara jargon idealis: “kacang lupa kulitnya.” Jokowi tidak sedang melupakan para pendukungnya. Sebab, rival politiknya saja (Prabowo-Sandi) diberi tempat terhormat di kementerian. Tetapi, untung-rugi macam apa yang dipikirkan Jokowi adalah misteri politik. Mengapa tokoh-tokoh besar seperti TGB Zainul Majdi dan Yusril Ihza Mahendra yang berjuang begitu luar biasa untuk Jokowi belum diberi posisi?

Yusril politisi senior. Ketika tidak dapat posisi dalam kabinet, namanya masih moncer di luar kekuasaan. Yusril berinovasi, memberikan saran agar PPP dan PKS membentuk poros sendiri. Yusril berjanji akan membawa PBB untuk bergabung. Ide koalisi partai-partai Islam adalah inovasi pemikiran, yang menunjukkan dirinya sebagai politisi kawakan.

Beda halnya dengan TGB Majdi, yang istiqomah dalam perjuangan Islam Wasathiah dan moderasi Islam. Kutukannya terhadap aksi bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar masih jadi fokus perhatiannya. Jalur kultural yang TGB tempuh berbeda dari jalur struktural yang Yusril bayangkan, menggabungkan partai-partai Islam.

Paradigma untung-rugi Jokowi dalam memilih menteri masih misteri. Semula membayangkan pemberantasan terorisme dengan cara militerisme, seorang tokoh militer dipasang sebagai Menteri Agama. Tetapi, malah lebih banyak blunder. Akhirnya, lebih cocok memasang tokoh kultural, Ketum GP Anshor, sebagai menteri agama.

Jokowi juga coba-coba memasang Nadiem Makarim sebagai Mendikbud, dengan harapan seluruh peserta didik menjadi kelas pekerja yang mengabdi pada industri. Pandemi datang membuyarkan harapan, dan mantan CEO Gojek itu tidak mampu menangani masalah pendidikan, karena memang bukan ahlinya. Bahkan, program pendidikan sekolah dimasa pandemi ini macet total. Disaat off line terhambat online pun tidak bisa berjalan normal.

Jokowi tidak bisa memakai pertimbangan untung-rugi dalam memilih menteri dengan berpijak pada potensi masa depan semata, tetapi juga harus melihat masa silam. Kategori sosial supporter saat Pilpres 2019 memang beragam; ada yang diam-diam dan ada yang terang-terangan. Sangat mungkin, semua yang duduk di kabinet hari ini adalah supporter Jokowi. Sebagian terang-terangan yang bisa dilacak jejak digitalnya. Sebagian sulit dilacak.

Yusril Ihza Mahenda dan TGB Zainul Majdi adalah contoh suporter yang terang-terangan, namun secara terang-terangan pula belum diapresiasi oleh Jokowi. Memasukkan nama mereka ke dalam pertimbangan reshuffle dan memberinya jatah atas dukungan selama ini, adalah keniscayaan. Setidaknya untuk menegaskan bahwa politik di negara ini dijalankan dengan prinsip perdagangan dan bisnis yang terbuka.

Seandainya nama TGB dan Yusril kembali terdepak dan muncul nama-nama baru yang jejak digitalnya tidak dapat dilacak pada Pilpres 2019 kemarin, bahasa dan logika politik yang baru perlu dirumuskan. Setidaknya sebagai tameng dan pelajaran nanti di Pilpres 2024. Misalnya, seberapapun Anda serius mendukung seorang calon, sebesar itu pula jiwa Anda harus siap ikhlas dan dikecewakan.

Jika ini semua terjadi, citra politik yang akrab dengan pengkhiatan tidak akan pernah terhapus. Penulis sendiri berharap, politik di negeri ini dibangun atas prinsip kejujuran, keterbukaan, sehingga publik dapat belajar. Elit politisi tidak diharapkan menjadi teladan yang buruk, yang hari ini berjanji besok mengingkari; hari ini mengemis dukungan, besok melupakan. Wallahu a’lam bis shawab.

*Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon*

Sumber

Tribunnews