JAKARTA – Pemerintah bersama DPR diminta untuk tegas mencabut Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Penundaan pembahasan hanya akan memperbesar potensi konflik horizontal.

Pakar politik Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, mengatakan, penundaan pembahasan RUU ini justru bisa memicu kemarahan publik yang dikhawatirkan berujung pada konflik horizontal. “Kalau ini sekadar ditunda, lalu nanti diubah namanya atau judul undang-undangnya, lalu dibahas lagi oleh DPR maka itu berpotensi terjadi eskalasi konflik ke depan. Jadi, ini bukan hanya pertarungan soal elite, tapi ini persoalan konflik horizontal di depan,” ujar Ujang Komarudin kemarin.

Potensi ini bisa dilihat dari adanya aksi demonstrasi dan pembakaran bendera PDIP. Padahal, saat ini sebenarnya masih dalam kondisi pandemi korona (Covid-19). “Artinya, kalau eskalasi saat ini saja sudah ramai begitu, apalagi saat undang-undang ini berjalan. Kalau ditunda, suatu saat nanti bisa dibahas lagi. Ini kemungkinan besar akan memicu konflik di kemudian hari,” tuturnya.

Menanggapi pernyataan Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin bahwa DPR akan menyetop pembahasan RUU HIP, Ujang yang juga Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) itu mengatakan, pernyataan menyetop atau menghentikan pembahasan belum cukup. (Baca: RUU HIP Harusnya Perkuat Ideologi Bangsa, Bukan Buat Tafsir Baru)

“Pemerintah dan DPR jangan main api. Ini masyarakat sedang marah, sedang geram terkait RUU HIP. Kalau sekadar menyetop, itu kan kalau berhenti bisa maju lagi. Kalau kita mengendarai mobil, stop kan bisa jalan lagi ini mobil. Tapi kalau dibatalkan, dicabut dari Prolegnas, ini clear. Artinya mereka tidak akan membahas lagi,” urainya.

Ujang menjelaskan, saat ini protes atas penolakan RUU ini terjadi di mana-mana. Jangan sampai stabilitas politik yang sudah aman ini dipicu oleh RUU HIP yang kontroversial ini kemudian menjadi konflik horizontal di masyarakat. Mengenai dalih bahwa perlu ada upaya penguatan terhadap Pancasila sehingga Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) perlu memiliki landasan hukum berupa undang-undang, Ujang mengatakan dalam RUU tersebut tidak terlihat ada niat untuk penguatan Pancasila.

“Sekarang apakah Pancasila tidak kuat? Kalau penguatan itu harus berbanding lurus dengan pasal-pasal yang ada. Bagaimana ada ekasila, trisila, itu kan mereduksi Pancasila. Seharusnya kalau memang memperkuat oke, tapi kalau isi dan pasalnya mereduksi, melemahkan, melumpuhkan Pancasila, kan ini menjadi persoalan,” paparnya.

Dia mencontohkan frasa berketuhanan yang berkebudayaan. “Di mana landasan ketuhanan lalu menjadi landasan berkebudayaan. Ini kan memperlemah. Ini menjadi catatan penting bagi kita sebagai anak bangsa. Jangan sampai bermain di arti-arti pasal atau makna-makna yang bias. Kalau memang memperkuat silakan, oke, tapi nyatanya RUU tersebut berisi hal-hal yang kontraproduktif dengan Pancasila itu sendiri,” katanya.

Tak heran, kata Ujang, RUU ini diprotes banyak kalangan, termasuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan ormas-ormas besar Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. “Mereka tidak akan bergerak, tidak akan protes kalau tidak menemukan hal-hal yang berbahaya dalam isi undang-undang itu,” katanya.

Jika Pancasila ingin diperkuat, kata Ujang, seharusnya Pemerintah membuat UU Pelestarian Pancasila. “Justru Pancasila itu harus dilestarikan. Kalau diperkuat tapi isinya aneh-aneh itu bagaimana?,” gugatnya.

Ujang mengatakan, jika pemerintah memang ingin membuat lembaga khusus, misalnya BPIP, jangan sampai lembaga tersebut menjadi penafsir tunggal Pancasila sehingga menjadi alat legitimasi kekuasaan. “Kalau memang ada lembaga itu untuk mencari format terbaik yang bagus, yang itu bisa diterima oleh seluruh komponen bangsa. Bukan hanya bisa diterima oleh partai tertentu atau kekuasaan. Jangan sampai nanti ada upaya memperkuat Pancasila, kemudian ada lembaga seperti P4, tapi lembaganya itu legitimasi kekuasaan dan tidak diterima oleh masyarakat. Ini juga kontraproduktif,” katanya.

Dia mencontohkan frasa berketuhanan yang berkebudayaan. “Di mana landasan ketuhanan lalu menjadi landasan berkebudayaan. Ini kan memperlemah. Ini menjadi catatan penting bagi kita sebagai anak bangsa. Jangan sampai bermain di arti-arti pasal atau makna-makna yang bias. Kalau memang memperkuat silakan, oke, tapi nyatanya RUU tersebut berisi hal-hal yang kontraproduktif dengan Pancasila itu sendiri,” katanya.

Tak heran, kata Ujang, RUU ini diprotes banyak kalangan, termasuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan ormas-ormas besar Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. “Mereka tidak akan bergerak, tidak akan protes kalau tidak menemukan hal-hal yang berbahaya dalam isi undang-undang itu,” katanya.

Jika Pancasila ingin diperkuat, kata Ujang, seharusnya Pemerintah membuat UU Pelestarian Pancasila. “Justru Pancasila itu harus dilestarikan. Kalau diperkuat tapi isinya aneh-aneh itu bagaimana?,” gugatnya.

Ujang mengatakan, jika pemerintah memang ingin membuat lembaga khusus, misalnya BPIP, jangan sampai lembaga tersebut menjadi penafsir tunggal Pancasila sehingga menjadi alat legitimasi kekuasaan. “Kalau memang ada lembaga itu untuk mencari format terbaik yang bagus, yang itu bisa diterima oleh seluruh komponen bangsa. Bukan hanya bisa diterima oleh partai tertentu atau kekuasaan. Jangan sampai nanti ada upaya memperkuat Pancasila, kemudian ada lembaga seperti P4, tapi lembaganya itu legitimasi kekuasaan dan tidak diterima oleh masyarakat. Ini juga kontraproduktif,” katanya.

Sumber
SindoNews