JAKARTA – Penantian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah hampir satu tahun atas kekosongan pelaksanaan supervisi penanganan kasus korupsi mendapat titik terang. Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 102 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), pada 20 Oktober 2020 dan diundangkan sehari kemudian.

Dengan Perpres tersebut, posisi KPK sebagai ‘panglima’ pemberantasan korupsi kian dikukuhkan dan tak terbantahkan. Apalagi, Perpres tidak semata berkaitan dengan penindakan korupsi, tapi juga mencakup pencegahan. Selain mempercepat penanganan perkara korupsi dan pengambilalihan, Perpres juga mengamanahkan sinergitas antara intansi terkait seperti Polri dan Kejaksaan.

Diketahui, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK telah disahkan DPR saat rapat paripurna pada Selasa, 17 September 2019. Sejak hari itu hingga 29 hari kemudian, Presiden Jokowi tidak membubuhkan tandatangan. Meski begitu, UU tersebut berlaku sejak 17 Oktober 2019.

Revisi UU tersebut sangat melemahkan KPK. Salah satunya soal kewenangan KPK melakukan supervisi. Nah, setelah terbitnya Perpres tersebut dibutuhkan keberanian Ketua KPK Firli Bahuri untuk membuktikannya bahwa KPK di bawah kepemimpinannya masih independen dan gahar dalam melakukan pemberantasan korupsi.

Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango menyambut baik terbitnya Perpres tersebut. Menurut dia, keberadaan dan berlakunya Perpres tersebut jelas mengharuskan Polri dan Kejaksaan bekerja sama dan disupervisi oleh KPK dalam penanganan kasus korupsi. “Dengan adanya Perpres supervisi ini maka tidak ada alasan untuk tidak bekerjasama dengan KPK dalam penanganan perkara yang telah ditetapkan disupervisi oleh KPK,” ujar Nawawi.

Mantan hakim tinggi Pengadilan Tinggi Denpasar ini mengungkapkan, dia dan pimpinan KPK lainnya telah menunggu lama adanya Perpres tentang supervisi pemberantasan korupsi selama satu tahun sejak Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK (UU baru KPK) disahkan dan berlaku. Menurut Nawawi, dengan Perpres Nomor 102 Tahun 2020 maka pelaksanaan tugas supervisi oleh KPK sudah dapat dioptimalkan.

Nawawi membeberkan, sejak berlakunya UU baru KPK dan belum ada Perpres defenitif sebagai instrumen mekanisme supervisi, banyak perkara tipikor yang dalam penanganan aparat penegak hukum lain belum optimal disupervisi. Dia menggariskan, dengan adanya Perpres Nomor 102 Tahun 2020 maka tidak menutup kemungkinan KPK dapat mengambil alih perkara yang ditangani Kejaksaan atau Polri. “Kita akan mengedepankan supervisi ini, pada tahapan yang memang dipandang perlu pengambilalihan,” ucapnya.

Pelaksana tugas Juru Bicara Bidang Penindakan KPKAli Fikri mengatakan, hakikatnya UU Nomor 19 Tahun 2019 telah memberikan tugas pokok kepada KPK untuk melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan korupsi.

Karenanya, tutur dia, KPK menyambut baik terbitnya Perpres Nomor 102 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tipikor yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 20 Oktober 2020. “KPK berharap ke depan koordinasi dan supervisi KPK dengan aparat penegak hukum lainnya semakin kuat dan bersinergi dalam bersama-sama memberantas tindak pidana korupsi,” ujar Ali

Pendiri Visi Integritas Donal Fariz menilai, ada beberapa hal yang harus di lihat setelah adanya Perpres Nomor 102 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Pertama, Perpres ini bukan merupakan alat mujarab untuk mengubah kondisi KPK saat ini. KPK belum akan reborn dengan pengaturan supervisi hingga pengambilalihan kasus korupsi yang levelnya perpres.

“Karena problem KPK menjadikan terjungkal adalah pada level undang-undang. Tambal sulamnya tidak cukup hanya dengan Perpres ini yang materi muatannya berbeda dengan praktik yang terjadi di lapangan,” ungkap Donal.

Kedua, keberadaan dan pemberlakuan Perpres Nomor 102 Tahun 2020 tidak akan terlalu mengangkat kinerja KPK karena adanya faktor permasalahan di internal KPK lebih khusus level pimpinan. Publik, kata Donal, bisa melihat ada OTT terkait dengan dugaan transaksi pejabat UNJ dengan pejabat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang semestinya bisa ditangani KPK tapi malah dilimpahkan ke Mabes Polri tanpa mekanisme proses yang jelas. “Jadi problem ganda KPK ini baik di level undang-undang maupun di level pimpinan tidak akan bisa hanya diobati dengan bentuk Perpres,” katanya.

Mantan koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) ini melanjutkan, ketiga, legitimasi dan landasan KPK melakukan supervisi terhadap Polri dan Kejaksaan hingga pengambilalihan kasus hakikatnya sudah ada di UU Nomor 30 Tahun 2020 tentang KPK (UU lama) maupun UU Nomor 19 Tahun 2019 (UU baru). Keberadaan Perpres hanya memuat ulang saja. Hanya saja, kata Donal, problem yang dihadapi KPK selama ini adalah teknokrasi jabatan.

“Misalnya, KPK mau supervisi Polda atau Bareskrim. Dari KPK yang mau lakukan supervisi kadang-kadang penyidiknya pangkatnya lebih rendah dari pada yang di Polda atau Bareskrim. Problem teknis jabatan ini yang belum selesai selama ini sampai saat ini,” paparnya.

Keempat, lanjut Donal, pelaksanaan komunikasi dan koordinasi antara KPK dengan Kejaksaan dan Polri setelah adanya Perpres Nomor 102 Tahun 2020. Komunikasi yang dibangun antarpimpinan dan antarlembaga harus dilakukan berdasarkan kepentingan pemberantasan korupsi dan nilai antikorupsi. Jangan sampai tutur dia, ada keinginan bahwa untuk menjaga harmonisasi tiga lembaga kemudian ada banyak hal yang dinegosiasikan.

“Komunikasi yang dibangun harus tidak berkompromi dalam penanganan perkara. Menurut saya, itu yang paling esensial. Apalagi komunikasi yang dipakai para pimpinan sekarang itu komunikasi saling paham dan tidak saling ganggu. Paradigma komunikasi itu kan keliru,” ujar Donal.

Direktur Eksekutif Pusat Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya (Persada UB) Fachrizal Afandi menilai, Perpres 102/2020 tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bisa menjadi alat bagi Firli Bahuri dkk untuk unjuk gigi. “Ini juga bisa jadi kesempatan bagi Firli untuk meyakinkan publik kalau dia independen,” ujar Fachrizal.

Menurut dia, keberanian Firli sangat dipertaruhkan untuk dapat menjalankan Perpres 102/2020 ini dengan baik. Keberanian itu misalnya mengambil alih perkara Djoko Tjandra ataupun skandal jamuan makan oleh Kajari tempo hari. “Keberanian pimpinan KPK menjadi penting. Dalam kasus Pinangki misalnya, KPK malah nampak enggan mengambil alih meski ada desakan publik. Padahal kalau di lihat perkara Djoko Tjandra ini harusnya masuk ranah KPK,” jelasnya.

Maka dari itu dibutuhkan keberanian dari Firli untuk membuktikannya bahwa KPK di bawah kepemimpinannya masih independen dan gahar dalam melakukan pemberantasan korupsi. “Kalau KPK tetap melempem dan pasif dalam perkara ini ya dugaan ini (perpres tidak akan berjalan baik) terbukti,” pungkasnya.

Pengamat hukum dari Universitas Al Azhar Indonesia Suparji Ahmad menganggap, terbitnya Perpres Nomor 102 Tahun 2020 memberi dasar hukum bagi KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan dalam pemberantasan korupsi. “KPK hendaknya lebih progresif dalam menjalankan supervisi dan pemberantasan korupsi,” kata Suparji.

Di sisi lain, kata Suparji, lembaga yang disupervisi juga tidak alergi atau enggan jika KPK melakukan supervisi. Dia menilai, melalui Perpres ini menjadi momentum untuk bersinergi dalam memberantas korupsi. Bagi KPK, Perpres ini menjadi modal untuk lebih berprestasi, mengingat ada skeptisisme publik dan minimnya prestasi dari lembaga antirasuah itu.

Dia menambahkan, yang lebih penting lagi, dengan Perpres ini diharapkan dapat mencegah ego sektoral dan kompetisi yang tidak sehat di tiga intitusi penegak hukum dalam pemberantasan korupsi. “Fenomena Cicak vs Buaya tidak akan terulang lagi. Namun demikian KPK harus profesional dan proporsional dalam melakukan supervisi dengan mengacu pada regulasi yang berlaku,” ujarnya. (Sabir Laluhu/Raka Dwi Novianto)

Sumber
SindoNews