Tuhan adalah entitas tunggal yang absolut, pada ufuk yang berbeda manusia sebagai ciptaanNya menempati ruang dan menempuh perjalanan relativitas waktu. Tuhan tentunya terbebas dari relativitas sifat waktu dan ruang, Allah adalah Tuhan yang tak pernah terjangkau relativitas akal atas segala kehendakNya. Wujud yang tak pernah mampu ditatap pancaindera oleh manusia yang hidup di bumi.
Tuhan, Makrokosmos dan Mikrokosmos
Tuhan ciptakan dua alam sebagai pertanda bahwa Dia hadir. Makrokosmos atau alam raya tempat bertebaran gugusan bintang dan Mikrokosmos atau sejumput alam kecil yaitu manusia. Entitas alam raya ditanamkan dalam wujud manusia, besarnya alam semesta ini cukup diwujudkan oleh eksistensi manusia. Alam kecil manusia yang menunjukkan segala yang hadir, Allah meringkas keagungan ciptaanNya berupa alam dalam tubuh manusia. Dalam diri manusia terkandung semua unsur alam raya, cukup pahamilah dirimu maka dengan memahami diri kita akan melihat bahwa jagat raya ada dalam diri kita. Jagat raya makrokosmos adalah manifestasi kehadiran Tuhan, ia adalah sign atau tanda dari ada dan hadirnya Tuhan (Qs.[3]:190).
Dalam diri manusia terdapat unsur alam semesta: kalimatmu adalah air yang mendinginkan, kemarahanmu adalah api yang membakar ranting, tubuhmu yang tercipta dari tanah dan debu, maka cukup renungkan diri untuk melihat alam semesta pada tubuhmu terdapat substansi materi jagat raya. Pikirkanlah jagat raya, ia adalah wujud-wujud yang bergerak dalam keteraturan. Demikian pula tubuh, substansi kerja otak hingga otot dan darah adalah gerak keteraturan mekanis. Ia adalah simbol gerak keteraturan jagat raya makrokosmos dalam tubuh, dan hakikatnya ia adalah gerak kesempurnaan wujud eksistensi ilahiah.
Akal adalah makhluk materi Tuhan yang tertanam dalam materi fisik tubuh manusia. Akal merupakan serpihan cahayaNya yang dengan itu ia mampu membedakan segenap kualitas-kualitas objek. Akal mengikat manusia dalam realitasnya sebagai hamba Tuhan, menciptakan kebenaran-kebenaran yang selalu berubah dinamis. Akal menjadi sarana membangun peradaban manusia, sekaligus menciptakan proses-proses tatanan struktur budaya manusia berupa nilai dan norma.
Akal adalah cahaya yang mencerahkan, dan ia menjadi garis pembeda antar makhluk Tuhan. Manusia yang berakal mengembangkan beragam konsep, juga simbol-simbol yang diberi makna-makna tertentu. Akal juga terus mencari kebenaran-kebenaran baru, mengajak manusia melangkah lebih jauh guna menemukan beragam hal baru yang berguna bagi perkembangan peradaban. Akal mencipta beragam karya yang berguna bagi manusia, dan dengannya manusia menjadi subjek yang berfikir dan berkehendak.
Akal mengajak manusia untuk melihat segenap gerak jagat raya sebagai entitas kosmik dalam dirinya. Kita melihat dan sekaligus merenungkan hakikat manusia di tengah jagat raya, mengapa manusia menjadi begitu dimuliakan olehNya di tengah besarnya sistem kerja alam semesta? rupanya kesadaran rasionalitas akal yang menjadikan manusia berbeda dengan makhluk Tuhan manapun. Manusia mampu menerangkan setiap kualitas objek dengan ilmunya, yang dengan itu ia mampu memahami kehendak Tuhan bagi dirinya.
Rasionalitas akal budi terbentuk dan dikuatkan oleh budi pekerti jiwa manusia. Rasionalitas ini kini dikuatkan pula oleh estetika yang membuat dunia menjadi berwarna. Bukan sekedar kesadaran-kesadaran struktural yang menuntun manusia dalam beragam sistem norma, tetapi juga kesadaran estetika yang dengannya manusia memiliki rasa dan jiwa dalam perilaku kemanusiaannya. Estetika tumbuh berkembang dinamis, layaknya akal yang tumbuh dan selalu berubah dalam satu tahap masa ke tahap masa yang lain. Manusia kini bukan lagi sekedar setumpuk tubuh tulang dan daging, ia adalah eksistensi gerak sadar rasio akal budi dan juga kesadaran estetika budi pekerti.
Estetika adalah manifestasi keindahan Tuhan, karena Dia Maha Indah dan mencintai keindahan. Dia ciptakan manusia dalam keindahanNya, manusia sebagai wujud yang Dia ciptakan dengan rasa keindahan sebagai bentuk Indahnya Tuhan dalam kesadaran diri setiap manusia. Peradaban menjadi semakin berkembang, hidup bukan hanya gerak mekanika, tetapi juga keindahan estetika. Bukan hanya rasio akal melainkan juga pekerti yang tertanam, dan ini bagi Tuhan belumlah lengkap sebelum mesin utama manusia ditanamkan sehingga ia layak disebut manusia dalam segenap kualitasnya.
Segenap gerak rasionalitas akal budi, estetika budi pekerti yang merasa, digerakkan lagi oleh satu entitas utama, yaitu Ruh. Manusia juga memiliki substansi imateri ruh yang berada di luar jangkauan dan tangkapan rasionalitas berbalut daging dan tulang. Ruh yang bersemayam dalam tubuh bukanlah entitas yang terikat oleh tubuh dan rasionalitas akal. Dia (Ruh) dapat melepaskan dirinya kapanpun dari tubuh yang mengikat, serta akal yang selalu mendebat. Alam semesta dan ruh adalah manifestasi keagungan Tuhan dalam diri, kenalilah ia.
Ruh dan Penggerak Eksistensi
“Siapa mengenal dirinya maka ia mengenal Tuhannya”, sebuah kalimat sederhana ucapan dari ulama Yahya bin Muadz ar-Razi, yang mengandung makna yang sangat dalam. Kebesaran Tuhan dalam diri manusia yang menjadikan ia menyandang predikat selaku subjek yang berkehendak, khalifah yang mengatur, akal yang bekerja, mekanika tubuh fisik yang bergerak. Kebesaran Tuhan ini adalah ruh yang Allah tanamkan dalam tubuh, yang dengan itu ia menjadi manusia dengan segala rasa dan citanya. Ruh menjadi penggerak eksistensi manusia, ia adalah substansi terdalam yang menggerakkan segenap daya, karena ia adalah energi Ketuhanan sebagai bentuk kebesaran Tuhan dalam setiap diri manusia.
Ruh adalah kehendak Tuhan dalam diri manusia, ia tak terjelaskan dalam kecerdasan ide manusia manapun. Manusia tidak disebut sebagai manusia jika ia tak memiliki ruh, ia akan berubah menjadi jenazah atau mayat. Tetapi ketika ia tak berakal atau gila ia masih menyandang kedudukannya selaku manusia. Posisi manusia yang ia sandang menjadikan ia tetap sebagai manusia dalam keadaan apapun. Ketiadaan kerja nalar dan akal, hati yang tak merasa sekalipun ia tetap diakui entitas kemanusiaannya. Ruh yang menentukan ia menduduki status selaku manusia, yang berada di luar batas rasionalitas nalar dan ikatan fisik tubuh.
Manusia perlu menyadari entitas ruh dalam dirinya, disinilah bersemayam kebesaran kekuasaan Allah yang tak terbendung oleh semesta. Dalam tubuh manusia terdapat kebesaranNya, mengenal tubuh bukan dengan akal melainkan dengan pendekatan illahiah. Memahami kehadirannya melalui nalar Ketuhanan karena di dalam tubuh kita terdapat entitas ruh sebagai bayang-bayang Tuhan dalam diri.
Ruh yang tak terjangkau oleh deteksi psikologis sekalipun, karena walaupun jiwanya menderita gila, tetapi ruh tidak pernah mengalami kegilaan. Ruh adalah simbol eksistensi Tuhan, ia yang tak teraba pancaindera dan tak terjelaskan nalar tetapi ia ada. Ruh adalah gambaran nyata bagaimana Tuhan juga tak tertangkap oleh pancaindera dan nalar logika, dan ruh adalah Imago Dei (Citra Tuhan) yang hadir tertanam.
Ruh tak pernah tunduk pada akal, ia tak tunduk pada penderitaan jiwa. Ia hanya mengikuti kehendak-kehendak absolut sebagai pembimbingnya. Ia yang dahulu pernah langsung bertemu dihadapan Allah sebelum tertanam dalam ruang tubuh manusia. Ia yang berjanji untuk mengakui bahwa Allah adalah entitas Agung penggerak alam semesta.
Bagaimana aku mampu mengenalmu ketika logika tak mampu membaca kehadiranmu? Sesungguhnya ruh adalah tanda kekuasaanNya yang acapkali tampak dihadirkan olehNya tetapi manusia acapkali tak menyadari. Ruh menjadi penentu eksistensi; sebuah kematian yang merubah status manusia menjadi jenazah adalah bukti empiris dan rasional akan gerak ruh sebagai penentu eksistensi manusia. “Cukuplah kematian sebagai nasihat” (HR. Baihaqi).
Kematian adalah perpisahan ruh dari fisik wujud manusia, kematian adalah pemutus segala eksistensi. Berhentinya segala gerak akal juga rasa hanya cukup dengan hilangnya ruh dalam tubuh. Ikatan tubuh tidaklah mampu membendung gerak langkah ruh untuk meninggalkannya. Hilang segenap eksistensi, ia tak lagi menyandang atribut-atribut apapun. Ia kini bukan subjek-subjek berfikir, berkehendak dan berkeinginan, manusia bukan lagi penentu melainkan kini ditentukan olehNya.
Ia dibangunkan dari mimpi panjangnya, bahwa kini ia akan menjalani hidup yang abadi. Dunia adalah mimpi, manusia bermain sebagai bidak-bidak mimpi. Terbangun dan terkejut bahwa segala apa yang ia lakukan hanya mimpi, ia yang selama ini terperangkap dalam dunia imajinasi. Atribut yang disandang hanyalah atribut yang digunakan dalam sebuah panggung permainan penuh gelak tawa (Qs.[6]: 32). Ketika permainan berakhir, semua mengemasi barangnya, membawa bekal dari honor lakon permainan panggung yang ia perankan untuk bekal hidup sesungguhnya.
Penulis adalah Dosen Tetap Program Magister Hukum Universitas Al Azhar Indonesia. Dosen tidak tetap pada Universitas Esa Unggul dan STKIP Arrahmaniyah. Co-Founder Forum Internalisasi Nilai-Nilai Kebangsaan (FORNIKA). Founder & Peneliti pada Islamadina Institute.