Sejumlah jurnalis dilaporkan telah mengalami pemukulan dan penangkapan oleh pihak kepolisian ketika menjalankan tugas meliput aksi demo tolak UU Omnibus Law Cipta Kerja, Kamis (8/10/2020) kemarin.
Hingga saat ini sebanyak 18 jurnalis yang hilang saat meliput aksi demo tersebut belum ditemukan. Selain itu, beberapa perangkat kerja milik mereka juga dirampas oleh oknum anggota polisi.

Pakar Hukum Pidana Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad menegaskan bahwa para jurnalis tersebut tidak boleh mengalami intimidasi dan kekerasan saat meliput. Sebab, kerja mereka dilindungi undang-undang.

“Wartawan (jurnalis) dilindungi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Maka, kekerasan kepada wartawan sangat disayangkan,” ujar Suparji dikutip dari Republika, Jumat (9/10/2020).

Suparji juga menegaskan intimidasi kepada wartawan bertententangan dengan Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). Wartawan, memiliki hak untuk menjalankan kerja jurnalistik yang harus dihormati aparat negara.

“Penangkapan sangat bertentangan dengan hukum dan HAM,” katanya.

Maka dari itu, pelanggaran hukum dan HAM itu mesti dipersoalkan. Karena yang melakukannya adalah aparat kepolisian yang semestinya melindungi masyarakat dari kejahatan HAM.

“Terlebih ini dilakukan oleh Polisi. Seharusnya Polisi bisa membedakan mana wartawan dan mana peserta demo,” jelasnya.

Maka Suparji, ia menekankan agar polisi melakukan evaluasi dalam mengamankan kegiatan aksi. Jangan sampai, wartawan yang dilindungi undang-undang justru menjadi korban.

“Wartawan yang ditangkap harus segera dibebaskan dan polisi perlu melakukan evaluasi,” pungkasnya.

Wartawan CNN Dianiaya Polisi
Thohirin, merupakan wartawan dari CNN Indonesia.com, diintimidasi aparat saat meliput aksi di Simpang Harmoni, Jakarta Pusat pada Kamis malam. Ia mengaku dianiaya polisi, dipukul pakai tangan sekitar satu sampai tiga kali pukulan.

“HP saya dirampas, dibuka, diperiksa galeri kemudian dibanting. ID Pers saya juga diambil, lalu dibuang,” kata Thohirin melalui keterangan tertulis pada Jumat, 9 Oktober 2020.

Ia menjelaskan kronologi kejadian sekira pukul 20.47 WIB saat aparat mulai memukul mundur para demonstran. Berkali-kali, aparat menembakkan gas air mata supaya massa pada bubar. Polisi terus maju memukul mundur massa lalu Thohirin ikut di belakang barikade polisi.

“Tidak ada teman wartawan bersama saya ketika itu. Saya merasa aman karena saya berada di belakang polisi,” ujarnya.

Beberapa saat kemudian, Thohirin melihat aparat menangkap 3 sampai 5 aksi massa yang ricuh dipukuli hingga pingsan. Tiba-tiba polisi menghampirinya sambil menanyakan apakah merekam video atau gambar tersebut.

“Saya bilang tidak. Tapi mereka tidak percaya kemudian memaksa saya mengeluarkan HP dan meminta dibukakan galeri. Saya buka dan di situ ada banyak foto aksi yang saya ambil,” jelas dia.

Namun Thohirin mengambil gambar aparat polisi saat membubarkan massa. Selebihnya, tidak ada lagi termasuk kekerasan yang dilakukan aparat Jepolisian. Tampaknya menurut dia aparat polisi merasa jengkel lantaran mereka melihat ada gambar sedang memiting peserta aksi yang ditangkap.

“Melihat gambar itu mereka marah, menuduh saya seenaknya bekerja sebagai wartawan. Padahal tidak ada yang salah dari kerja saya. Setelah itu, HP saya diambil, saya diinterogasi, dimarahi. Beberapa kali kepala saya dipukul. Untung saya pakai helm,” katanya.

Setelah itu, kata dia, salah satu apparat mengancam akan membanting alat komunikasi miliknya. Tapi, Thohirin sempat melarang karena ponsel itu untuk alat bekerja menulis berita. Namun mereka tetap saja membanting HP milik Thohirin.

“Saya pasrah, tidak sempat berpikir apa-apa lagi. HP saya tinggal, tidak kepikiran menjadikan itu barang bukti. Lagi pula kalau saya ambil itu HP, saya bisa jadi akan lebih menerima intimidasi. Setelah menerima intimidasi itu, saya langsung pergi cari teman wartawan untuk mengabari kejadian yang menimpa saya ke kantor,” ujarnya.

Sumber
indeksnews.com