MerahPutih.com – Pakar Hukum Pidana Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad mengungkapkan, ada tiga objek praperadilan yang bisa diuji, yakni penangkapan, penetapan tersangka dan penahanan dalam proses hukum terhadap pentolan Koalisi Aksi Menyelematkan Indonesia (KAMI) Syahganda Nainggolan dan Jumhur Hidayat.
“Kalau memang ada unsur-unsur yang bertentangan dengan hukum dan HAM maka itu bisa diuji melalui praperadilan, di situ lah nanti akan diketahui apakah benar atau tidak, harus diborgol atau kemudian harus pakai seragam,” ujar Suparji Ahmad kepada wartawan yang dikutip, Sabtu (17/10).
Dia mengatakan, penangkapan ataupun penahanan tidak boleh dilakukan dengan sewenang-wenang. Kata dia, harus ada aturan dan prosedur yang mendasari penangkapan dan penahanan itu.
“Sebetulnya, seragam atau borgol itu kan kadang-kadang tidak ada standar yang jelas, karena tidak semua diborgol, tidak semua pakai seragam,” ungkapnya.
Karena kata dia, prinsipnya tidak boleh ada diskriminasi alias perlakuan yang berbeda. “Bahwa proses itu kan harus ada bukti permulaan,” tuturnya.
Maka itu menurut dia, keberatan perlu disampaikan. Dia melanjutkan, penyidik ataupun petugas yang menangani harus bertanggungjawab jika melakukan kesalahan.
“Yang jelas pemborgolan atau semacam model pengekangan itu dikhawatirkan akan melarikan diri, kalau kemudian bisa dipastikan dia tidak akan melarikan diri, untuk apa?” katanya.
“Saya kira secara keseluruhan, bagi para lawyer aktivis KAMI itu kalau melihat ada prosedur yang tidak benar, ada hukum formil yang tidak benar, lebih baik mungkin melalui forum praperadilan,” tambah Suparji.
Dia melanjutkan, praperadilan yang akan menilai apakah penangkapan, penahanan ataupun penetapan tersangka itu memenuhi syarat formil atau tidak.
“Di situ akan diuji. Karena mosi tidak percaya, melayangkan keberatan itu bukan jalur hukum,” pungkasnya.
Mabes Polri yakin ada korelasi antara cuitan pengurus Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Syahganda Nainggolan dengan rusuhnya unjuk rasa menolak omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja.
“Kalau penyidik itu sudah menahan seseorang, menetapkan tersangka seseorang, itu sudah tidak ada keragu-raguan lagi,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri, Brigjen Awi Setiyono.
Awi mengatakan penetapan status tersangka dilakukan apabila ditemukan dua alat bukti yang cukup. Adapun bukti permulaan dalam kasus ini, ia sebut dirasa cukup sehingga polisi berani melakukan penahanan.
“Pendemo yang ditangkap dijadikan tersangka menyampaikan bahwasanya terpengaruh gara-gara hoax media sosial, ajakan-ajakan demo,” tutur Awi.
Sebelumnya, berdasarkan surat penangkapan bernomor SP/Kap/165/X/2020/ Direktorat Tindak Pidana Siber tertanggal 13 Oktober 2020. Dalam surat tersebut tertulis bahwa Syahganda ditangkap setelah diduga menyebarkan berita bohong atau hoaks melalui akun Twitter pribadinya.
Adapun Ketua Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Ahmad Yani, mengatakan pihaknya belum menemukan cuitan Syahganda yang bernuansa menghasut.
Ia pun meragukan apakah dengan membaca cuitan tersebut akan membuat orang lain berpartisipasi dalam demonstrasi.
“Kami belum melihat korelasi dan relevansinya antara yang ditweetkan dan dituduh,” ujar Ahmad Yani. (Knu)
Sumber
Merah Putih