Jakarta, CNN Indonesia — Beragam kasus hukum terhadap Front Pembela Islam (FPI) dan pentolannya, Rizieq Shihab, yang berujung pada pembubaran organisasi itu, Rabu (30/12), justru bisa memperluas simpati publik.
Pembubaran FPI diputuskan lewat surat keputusan bersama (SKB) yang ditandatangani enam pejabat menteri dan kepala lembaga negara. Mereka yang menandatangani SKB adalah Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate, Jaksa Agung ST Burhanuddin, Kepala BNPT Boy Rafli Amar dan Kapolri Jenderal Idham Azis.
“Menyatakan FPI adalah organisasi yang tidak terdaftar sebagai ormas sebagaimana diatur dalam undang-undang sehingga secara de jure telah bubar sebagai ormas,” kata Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej saat membacakan SKB pembubaran FPI.
Dengan SKB itu keberadaan FPI tak diakui lagi. Seluruh kegiatannya bisa dibubarkan polisi.
Peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati menyebut pemerintah hanya mampu membubarkan dan melarang FPI secara prosedural.
Nama Front Pembela Islam terlarang, namun tak akan bisa meringkus ideologi yang menggerakkan organisasi yang dibentuk 17 Agustus 1998 itu. Begitupun tokoh-tokohnya, tak akan terkubur hanya dengan kebijakan pembubaran FPI.
“Ke depan bisa saja mereka mendirikan organisasi FPI versi baru, istilahnya Neo FPI atau FPI Perjuangan mirip ketika dulu PDI-nya Megawati berdiri. Mereka akan berkembang sebagai organisasi lintas kepentingan yang sifatnya populis,” kata Wasis kepada CNNIndonesia.com, Rabu (30/12).
“Bisa jadi nanti ada penggunaan kata “Laskar” atau “Umat” yang maknanya lebih persuasif daripada “Front” dan “Islam” yang dinilai eksklusif dan ofensif,” tambah Wasis.
Merepons pembubaran itu, FPI memang mempertimbangkan opsi untuk membentuk organisasi baru dengan nama berbeda. Menurut Wasis, FPI versi baru berpeluang jadi organisasi yang lebih besar.
FPI versi baru, kata dia, bisa menjadi wadah lebih inklusif untuk memayungi semua lawan politik Presiden Joko Widodo. Ini, menurutnya, dimungkinkan karena FPI di masa lalu, memiliki agenda dan misi politik tertentu.
“Saya kira FPI versi baru ini akan menjadi semacam organisasi payung bagi semua lawan politik Jokowi. Bisa jadi semacam KAMI atau Partai Ummat-nya Pak Amien diajak bersinergi,” kata Wasis.
Sebelum dibubarkan, FPI dan Rizieq Shihab telah mendapat sejumlah kasus hukum. Yang terbaru adalah kasus dugaan penyerangan terhadap aparat.
Kasus ini berujung insiden penembakan terhadap 6 laskar FPI di Tol Cikampek. Sebanyak 6 laskar FPI tewas terkena timah panas polisi.
FPI membantah laskarnya menyerang polisi. Sebaliknya, FPI meyakini polisi yang menyerang dan menembak hingga tewas laskar mereka.
Kasus lainnya, Sekretaris Umum FPI Munarman dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh Ketua Barisan Kesatria Nusantara Zainal Arifin. Munarman diduga melakukan tindakan penghasutan karena menyebut enam laskar FPI yang ditembak tersebut tak bersenjata.
Rizieq Shihab lebih dulu dijerat sejumlah pasal terkait kasus kerumunan di Petamburan dan Megamendung. Pesantrennya di Megamendung, baru-baru ini mendapat somasi dari PTPN VIII.
Terbaru, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan mencabut Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atas kasus dugaan chat mesum dengan tersangka Rizieq Shihab.
Pembubaran FPI dan jerat hukum terhadap tokoh-tokohnya, menurut pengamat Politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, justru potensial akan membesarkan nama dan gerakan FPI ke depannya.
Dengan beragam jerat hukum itu, Ujang menyebut, publik malah bisa mempersepsikan Rizieq cs sebagai orang-orang yang ‘dizalimi’ oleh pemerintah.
Persepsi Rizieq ‘terzalimi’ bisa efektif meningkatkan dukungan dan simpati masyarakat. Terlebih, kata Ujang, sebagian masyarakat Indonesia senang memberikan simpati dan dukungan terhadap orang-orang yang digambarkan sedang teraniaya.
“Karena sesuai hukum alam dalam politik, siapa yang ditekan dan dia akan bertahan, akan membesar dan dapat simpati,” kata Ujang.
Faktor lain yang bisa mendorong bertambahnya simpati terhadap FPI ada pada sikap dan posisi organisasi itu saat berhadapan dengan pemerintah.
Ia menyebut posisi FPI sebagai oposisi sangat strategis. FPI menjadi pembeda ketika mayoritas ormas dan partai politik berkoalisi dengan pemerintah.
Peran yang dimainkan FPI pun tepat. FPI mampu menjadi satu dari segelintir ormas yang mewakili suara kegelisahan sebagian umat Islam atas kondisi negara.
“Di saat yang sama tidak ada organisasi lain, ormas-ormas lain yang dianggap mewakili publik menyampaikan aspirasi itu. Dan FPI bisa mengambil peran itu. Jadi, kekecewaan publik terhadap DPR terhadap pemerintah, maka FPI yang dianggap menjalankan aspirasi itu,” kata dia.
Ujang menilai FPI akan menjadi ancaman politik bagi kelompok tertentu dan pemerintah bila pendukungnya makin membesar di kemudian hari.
“Nah sekarang dijalankan pola penangkapan itu. Pola ini ga menyelesaikan persoalan, mereka bisa besar juga walaupun tokohnya dipenjara,” kata Ujang.
Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta Ubedillah Badrun meyakini besar atau tidaknya FPI ke depan, akan ditentukan oleh kemampuan pemerintah mengelola kelompok yang berbeda pandangan.
Pemerintah, kata Ubdeillah, harus hati-hati menempuh langkah terhadap FPI dan kelompok-kelompok yang berseberangan itu.
“Jadi kalau cara pandang masyarakat menilai pemerintah keliru dalam memposisikan FPI dan HRS. Maka HRS akan mendapat simpati publik yang lebih luas,” kata dia.
Ubed menilai langkah hukum terhadap Rizieq Shihab dan tokoh-tokoh FPI selama ini kurang tepat dan tak rasional. “Harusnya dicari apa maunya dengan dialog. Dengan itu bisa mengerti posisi masing-masing,” kata Ubed.
Sumber
CNN Indonesia