LENSAINDONESIA.COM: Pakar Hukum Pidana, Suparji Ahmad menilai gagasan yang dilontarkan Jaksa Agung ST Burhanudin tentang “Keadilan Berhati Nurani” diharapkan bisa mereformasi penegakan hukum. Ini gagasan yang visioner, termasuk jauh dari upaya pembalasan, dan harus bisa dijadikan landasan para jaksa dalam menangani persoalan hukum di Indonesia.
“Gagasan itu sangat bagus, visioner dan patut didukung serta diimplementasikan oleh penegak hukum, terutama para Jaksa. Apa yang disampaikan Pak ST Burhanuddin dapat mengubah paradigma penegakan hukum dari keadilan retributif, yakni pembalasan menuju keadilan restoratif,” tutur Dr Suparji Ahmad, SH, MH dalam keterangan persnya, akhir pekan ini.
Dalam penegakan hukum, Suparji mempertegas, untuk mewujudkan keadilan diperlukan hati nurani. Karena keadilan itu baru dapat diwujudkan, hanya melalui hati nurani yang bersih. Sebaliknya, bila hati nurani dikesampingkan, maka yang terjadi adalah penegakan hukum tidak berkeadilan.
“Peristiwa Nenek Minah bisa terjadi di hari-hari mendatang bila penegak hukum tak kembali pada hati nurani. Maka, hati nurani merupakan salah satu sumber hukum yang perlu diperhatikan,” ungkap Suparji memberi contoh kasus relatif ringan seperti menimpa Nenek Minah (55) di Banyumas, Jawa Tengah. Gegara memetik 3 buah kakao di perkebunan swasta PT Rumpun Sari Antan (RSA), dia dihukum 1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan. Ironinya, lahan garapan Minah yang biasa ditanami kedelai itu dikelola PT RSA untuk menanam kakao.
“Artinya, kasus-kasus yang relatif ringan tak perlu diselesaikan di meja hijau. Selama masih dimungkinkan untuk restorative justice, maka langkah tersebut sebaiknya diambil,” tandas pakar hukum pidana ini.
Suparji juga mempertegas bahwa jajaran kejaksaan selaku Dominus Litis (pengendali perkara pidana) dengan berlandaskan “keadilan berhati nurani” bisa menciptakan kemanfaatan hukum di tengah masyarakat. Pasalnya, realitas saat ini banyak masyarakat yang masih belum bisa mendapat akses hukum.
“Saat tak semua kasus kecil diselesaikan dengan hukum, maka masyarakat kecil yang paling banyak menerima kemanfaatan hukum,” kata pakar hukum dari Universitas Al-Azhar Indonesia ini.
Untuk jangka panjang, Suparji menilai gagasan Jaksa Agung dapat mengatasi penjara yang over kapasitas. Sehingga, penjara hanya untuk tindak pidana yang perlu diselesaikan di luar restorative justice.
“Oleh sebab itu, sudah saatnya penegakan hukum kita bertransformasi sebagaimana buah pikiran Jaksa Agung. Dengan demikian, keadilan masyarakat yang selama ini dicita-citakan dapat terwujud,” pungkasnya.
Tentunya, gagasan Jaksa Agung ini juga memantik harapan penegakan hukum ‘keadilan berhati nurani’ terhadap penanganan kasus-kasus besar korupsi yang dapat dimaknai tindakan di luar nurani ‘merampok’ uang Negara yang bersumber dari pajak yang dibayar rakyat.
Akibat kasus-kasus korupsi itu berdampak sangat menyengsarakan rakyat banyak, termasuk skandal BLBI (Bank Likuiditas Bank Indonesia) bernilai ratusan triliun —meski tidak lagi ditangani Kejaksaan Agung—, praktis penegakan hukumnya tetap sangat dituntut dapat mewujudkan rasa “Keadilan Berhati Nurani.” @taf/ licom_09
Sumber