MATA INDONESIA, JAKARTA – Norma-norma pada pasal penghinaan Presiden yang ada di Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) bukan dalam konteks mencegah kebebasan berpendapat.
“Tetapi, lebih kepada bagaimana menciptakan pola kritik yang beradab,” ujar ahli hukum pidana Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad saat berbincang dengan Mata Milenial Indonesia TV, Selasa 22 Juni 2021.
Namun, dilemanya jika kita berbicara tentang kehormatan presiden dan wakil presiden maka konotasinya adalah melakukan penghinaan.
Konotasi penghinaan, menurut Suparji, berarti kita berbicara tentang perasaan. Jika kita berbicara soal perasaan berarti kita berbicara soal individu.Sementara presiden adalah sebuah lembaga, maka kemudian ada pandangan yang melarang menghina presiden sebagai hal yang tidak tepat.
Saat ini perdebatannya adalah sebagai lembaga presiden memiliki harkat dan martabat atau tidak sehingga tidak boleh diserang atau dihinakan.
Maka Suparji mengingatkan para penyusun pasal penghinaan presiden di KUHP tersebut perlu menyerap aspirasi lebih luas lagi agar saat KUHP yang baru diundangkan digugat lagi ke MK.
Lebih jauh soal seluk-beluk pasal penghinaan Presiden bisa Kamu tonton “People Talk” di akun YouTube Mata Milenial Indonesia TV, Kamis 24 Juni 2021.
Sumber