Jakarta, Beritasatu.com – Tugas hukum dan perundangan-undangan bukanlah membuat orang takut, melainkan menata dan memberikan kepastian hukum agar sesuatu bisa berjalan dengan baik, normal dan maslahat. Demikian pula Undang-undang No 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2020, yang diadakan terkait kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan di masa pandemi Covid-19.
Menurut Guru Besar Tetap Ilmu Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Profesor Dr. Agus Surono, SH, MH, guna menangani berbagai implikasi dan dampak pandemi Covid-19, yang juga besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan pembiayaan dan belanja negara, pemerintah memberlakukan UU No 2/2020 tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2020.
Dengan pemberlakuan UU tersebut, kata Prof Agus, pemerintah bisa melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net), serta pemulihan perekonomian, termasuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak.
“Nah, dalam undang-undang tersebut terdapat ketentuan yang sangat penting, berkaitan dengan soal unsur kerugian negara dan mens rea, yang dalam khazanah delik korupsi bisa diartikan sebagai niat jahat subjek hukum untuk melakukan tindak pidana,” kata Prof Agus.
Menurut dia, dengan kalimat lain mens rea artinya sikap batin seseorang untuk melakukan tindak pidana.
Menurut Agus, pengelolaan keuangan negara di masa pandemi dan darurat—antara lain pelaksanaan bantuan sosial—tidak bisa dikatagorikan sebagai mens rea. Pasalnya, kata Agus, pengelolaan keuangan pemerintah dalam masa-masa darurat seperti itu berkaitan dengan doktrin Freies Ermessen atau diskresioner power.
“Doktrin dalam bidang pemerintahan ini intinya, dalam kondisi darurat, kondisi yang ada memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada peraturan perundang-undangan. Dalam masa darurat, keputusan pemerintah haruslah lebih mengutamakan pencapaian tujuan atau sasarannya (doelmatigheid) daripada sesuai dengan hukum yang berlaku (rechtmatigheid),” kata Agus.
Lebih jauh Agus mengurai bahwa Undang-undang No 2/2020 itu pun dapat menghilangkan adanya unsur kerugian negara dan mens rea, terutama terkait adanya pemberian bantuan sosial yang dilakukan oleh pemerintah. Hal itu karena yang dimaksud dengan unsur kerugian negara dan mens rea dalam hukum pidana hanyalah jika pada bentuk penyalahgunaan itu terdapat penyimpangan asas Doelgerichte (seperti pelanggaran conflict of interest atau adanya kickback dan bribery), yang perbuatan pelakunya akan dikategorikan sebagai parameter negatif yang bernuansa jahat (dolus malus) yang memperkuat sifat melawan hukum (Wederrechtelijk) baik formil maupun materiel dalam ranah Hukum Pidana (Korupsi).
Guna dapat dikatakan memenuhi syarat unsur-unsur kerugian negara, juga harus terpenuhi kondisi sebagai berikut: 1) unsur kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya 2) akibat perbuatan melawan hukum 3) sengaja maupun tidak sengaja.
“Jika dikaitkan dengan penjelasan Pasal 2 undang-undang nomor 31 tahun 1999 maka, unsur perbuatan melawan hukum juga mencakup pengertian melawan hukum secara materiil. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa apabila ketiga unsur tersebut di atas tidak terpenuhi, maka tidak dapat dikualifikasi adanya unsur kerugian negara,” kata Prof Agus.
Karena itu, menurut Prof Agus, terkait pelaksanakan kebijakan penanganan Pandemi Covid-19 yang telah dilakukan oleh Pemerintah, selama tidak terdapat penyimpangan asas doelgerichte yaitu berupa adanya conflict of interest atau adanya kickback dan bribery, maka hal itu bukanlah adanya perbuatan melawan hukum sehingga tidak dapat dikualifikasi sebagai suatu perbuatan delik korupsi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999, yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.
Sumber