JAKARTA, REQnews – Pakar Hukum Pidana Universitas Al-Azhar Indonesia, Prof Suparji Ahmad, mengatakan, pengakuan Habib Rizieq Shihab (HRS) dalam pleidoi atau nota pembelaannya yang menyatakan pernah bertemu sejumlah pejabat negara di Arab Saudi medio 2017-2018, sangat menarik apabila selaras dengan fakta sesungguhnya.

“Pernyataan dalam pledoi tersebut sangat menarik jika merupakan fakta yang sebenarnya. Namun demikian, jika tidak ada fakta bisa menimbulkan masalah,” kata Suparji, Selasa, 15 Juni 2021. Menurutnya, Majelis Hakim sudah seharusnya mempertimbangkan pengakuan mantan Imam Besar Front Pembela Islam tersebut apakah meringankan, memberatkan, atau bahkan membebaskan dari tuntutan.

Dalam pledoinya, HRS mengungkapkan dirinya pernah bertemu dan berdialog dengan Kepala BIN Budi Gunawan bersama timnya. Pertemuan itu berlangsung di satu hotel bintang lima di Kota Jeddah, Arab Saudi, sekitar awal Juni 2017. Dalam pertemuan itu dihasilkan beberapa kesepakatan. Antara lain untuk menyetop semua kasus hukum yang menimpa dirinya bersama rekan-rekannya yang lain.

“Sehingga tidak ada lagi fitnah kriminalisasi, dan sepakat mengedepankan dialog dari pada pengerahan massa, serta siap mendukung semua kebijakan Pemerintahan Jokowi selama tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam dan konstitusi negara Indonesia,” kata HRS.

HRS menambahkan, dari pertemuan tersebut lantas dibuat kesepakatan yang ditandatangani olehnya dan Komandan Operasional BIN kala itu, Mayjen TNI (Pur) Agus Soeharto di hadapan Budi Gunawan (BG). “Kemudian surat tersebut dibawa ke Jakarta dan disaksikan serta ditandatangani juga oleh Ketua Umum MUI Pusat Maruf Amin yang kini menjadi Wakil Presiden RI,” ujarnya.

Tak hanya BG, HRS juga sempat dua kali bertemu dengan eks Kapolri Tito Karnavian saat di Mekkah pada 2018. Pertemuan itu dilangsungkan di salah satu hotel di dekat Masjidil Haram. “Dalam dua kali pertemuan tersebut saya menekankan bahwa saya siap tidak terlibat sama sekali dengan urusan politik praktis terkait Pilpres 2019,” terang HRS.

HRS pun mengajukan tiga syarat untuk mengabulkan kesepakatan tersebut. Pertama, ia meminta agar para penista agama seperti Abu Janda, Ade Armando, Denny Siregar, dan semua yang menista agama untuk diproses hukum. “Mereka yang sering menodai agama dan menista ulama juga harus diproses hukum, sesuai dengan prinsip equality before the law sebagaimana diamanatkan UUD 1945,” jelas dia.

Kedua, agar menyetop kebangkitan PKI di Indonesia. Ia meminta kepada Tito agar Amanat TAP MPRS RI No XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran dan Pelarangan PKI harus dijalankan dengan tegas.

Terakhir, HRS meminta agar menghentikan penjualan aset negara ke asing. Ia meminta agar semua aset dan kekayaan negara sebesar-besarnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat. “Lalu khusus pribumi Indonesia perlu diberi kesempatan bersaing yang sehat dengan asing mau pun aseng agar bisa jadi tuan di negeri sendiri dengan tanpa bermaksud diskriminasi,” kata HRS.

Meski begitu, eks pentolan FPI ini menyebut semua kesepakatan tersebut kandas. Hal itu diakibatkan adanya operasi intelijen hitam berskala besar yang berhasil mempengaruhi Pemerintah Arab Saudi. Sehingga dia dicekal dan tidak bisa pulang ke Indonesia.

“Saya tidak tahu apakah eks Menko Polhukam RI Wiranto dan Kepala BIN Budi Gunawan serta Tito Karnavian yang mengkhianati dialog dan kesepakatan, serta mereka terlibat dalam operasi intelijen hitam berskala besar tersebut,” tandas HRS.

Sumber

reqnews.com