Jakarta, HanTer – Pakar Hukum dari Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Prof Suparji Ahmad menegaskan, jangan sampai aparat hukum dalam menjalankan proses pelayanan kepada masyarakat malah melakukan diskriminasi.

“Tidak boleh ada diskriminasi, penghentian perkara harus ada alasan yang jelas dan obyektif, tidak boleh dilakukan tanpa alasan yang sesuai hukum,” ujar Suparji ketika diminta tanggapannya terkait masalah hukum yang dilaporkan HY bersama Kuasa Hukumnya Immanuel Sitanggang & Partners pada tahun 2019 tepatnya dengan Nomor: Tanggal 24 April 2019 yang telah membuat Laporan dikepolisian kota Depok LP/B/949/K/IV/2019/PMJ/Resta Depok.

Menurut Suparji, tentunya masyarakat membutuhkan kepastian hukum yang berkeadilan. “Sesuai konsepsi presisi, setiap penanganan perkara harus prediktif, responsibilitas dan transparan berkeadilan,” tuturnya.

Pakar Hukum yang juga penulis buku menerangkan, apabila penyidikan dihentikan atau umumnya dikenal Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) tentunya harus ada alasan yang jelas dan diketahui oleh pelapor.

“Kalau ada SP3 dapat diajukan praperadilan, tidak boleh pola seperti pengkondisian (dugaan suap) atau seperti hal lain yang merugikan masyarakat,” tegas Suparji.

Sebelumnya, seorang ibu muda berinsial HY yang dikaruniai dua orang anak pada bulan Februari 2012, bercerai dengan AM. Pemicu perceraian diantaranya karena masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan AM kepada HY yang mengakibatkan HY menderita memar di pelipis dan pipi kanan. Ini sesuai hasil visum usai KDRT dilakukan AM dan termuat di dalam salinan putusan cerai di Pengadilan Agama Depok.

Kemudian mengenai persoalan harta benda, dari hasil keterangan yang didapat dari Badan Pertanahan Kota Depok bahwa pada tahun 2015 Sertifikat Rumah dijamin kan ke Bank Swasta di Jakarta oleh AM tanpa seizin dan sepengetahuan HY, inilah yang menjadi masalah hingga dilaporkan ke pihak kepolisian, namun secara sewenang-wenang malah dihentikan.

Padahal sebelumnya dibacakan pada tanggal 14 November 2019 kasus Tindak Pidana Penggelapan dan atau Pemalsuan ini telah berkekuatan Hukum Tetap (Inkracht) sejak tanggal 20 Januari 2020, dimana Kuasa Hukum HY yaitu Immanuel Sitanggang membuat Laporan kepolisian di SPKT Polda Metro Jaya tanggal 31 Agustus 2020 dengan Laporan Polisi 2.5/2020/SPKT PMJ tentang Nomor : LP/5190/K/VIII/YAN.

Bahkan masalah ini sudah dilaporkan ke Komisi III DPR RI, dan masih menunggu respon agar HY mendapat keadilan dan AM menjalani proses hukum sesuai ketentuan yang berlaku.

Sumber

harianterbit.com