RMco.id Rakyat Merdeka – Di tengah pandemi Covid-19 banyak pihak mengusulkan agar pemungutan suara secara mobile. Maksudnya, perlu diadakan Tempat Pemungutan Suara (TPS) berjalan.

Tapi, model ini tentu memiliki kelebihan dan kekurangan. Dikhawatirkan, praktik politik uang bukannya hilang, justru malah menggurita.

“Adanya TPS mobile itu ada plus minusnya. Plusnya, bisa memudahkan pemilih untuk mengakses TPS. Minusnya, sulit pengawasan, karena berpindah-pindah tempat,” kata Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin, kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Menurutnya, apakah penerapan TPS mobile efektif mencegah penularan Covid-19, tergantung pelaksanaannya di lapangan.

“Jika petugas TPS secara ketat menerapkan protokol kesehatan bagi pemilih, iya bisa mencegah. Jika longgar, malah bisa menjadi penyebaran Covid-19,” ujar dosen tetap Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) ini.

Mengenai money politics dengan model TPS mobile, Ujang menilai belum tentu sirna. “Politik uang masih akan menggurita. Apalagi pilkada dilakukan di tengah pandemi. Rakyat sedang susah. Jika dijanjikan atau diberi sesuatu, maka akan diambil,” tegasnya.

Sebelumnya, Anggota Tim Pakar Universitas Lambung Mangkurat (ULM) untuk Percepatan Penanganan Covid 19 Prof Dr dr Syamsul Arifin mendorong adanya TPS mobile di Pilkada 2020.

“TPS mobile untuk para lansia dan penderita dengan banyak komorbid atau penyakit bawaan yang rawan jika terpapar Covid-19,” katanya.

Jika sistem TPS berjalan ini tak bisa diterapkan, Syamsul menyarankan, perlu waktu satu hari sebelum pemungutan suara. Atau, paling awal saat pemungutan suara sebelum jadwal warga lainnya datang.

Agar transmisi Covid-19 dapat terkendali, jelasnya, seharusnya TPS khusus perlu disiapkan. Antara lain, TPS khusus orang dengan kontak erat, TPS khusus suspek, TPS khusus probable dan TPS khusus terkonfimasi positif Covid-19.

Sebelum masuk ke TPS, setiap pemilih disarankan mengecek suhu badan. Jika ada yang bersuhu lebih dari 37,5 derajat Celsius, atau menunjukkan gangguan pernapasan, agar diarahkan ke TPS khusus dengan sarana pengamanan lebih tinggi.

Syamsul menyebutkan, selama proses pemungutan suara, akan terjadi interaksi antar pemilihan maupun pemilih dengan petugas.

“Jika selama interaksi tidak dilakukan pemisahan antara pemilih sehat, suspek, probable maupun terkonfirmasi, semakin meningkatkan transmisi Covid-19 di masyarakat,” tutur Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran ULM ini.

Sedangkan untuk menekan kerumunan banyak massa, lanjut Syamsul, perlu pembatasan jumlah pemilih hanya 50 persen dari jumlah normal pemilih dalam 1 TPS.

Dengan pembatasan jumlah ini, diharapkan konsistensi jaga jarak 1,5 meter dapat terjaga. “Penerapan protokol kesehatan saja masih dianggap belum mampu mencegah terjadinya transmisi Corona. Namun melalui pendekatan komprehensif, diharapkan klaster pilkada dapat dihindari,” pungkasnya. [EDY]

Sumber
RMco.id