REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pakar Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad menilai bahwa narasi presiden periode sangat tidak tepat. Apalagi narasi tersebut digaungkan di tengah kondisi Indonesia yang maish dihantam oleh permasalahan Pandemi Covid-19.

“Menyuarakan hal itu memang hak berekspresi dalam iklim demokrasi. Tapi tidak tepat jika disampaikan saat ini mengingat Indonesia sedang berupaya menangani Covid-19,” ujar Suparji dalam keterangan pers, Ahad (20/6).

Suparji juga menegaskan konstitusi sudah mengamanatkan presiden dibatasi dua periode. Maka, wacana presiden tiga periode belum memiliki legitimasi hukum positif. Menurutnya, dalam Pasal 9 UUD 1945 itu tegas menyatakan, Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

“Maka presiden tiga periode pada saat ini belum sesuai konstitusi,” tegas Suparji.

Sehingga dengan demikian, menurut Suparji, wajar apabila masyarakat menolak wacana tersebut. Itu karena memang hal bertabrakan dengan konstitusi. Dia mengatakan, seruan penangkapan penggagas yang tranding di media sosial menunjukkan adanya ekspresi ketidaksetujuan dengan deklarasi itu.

Suparji melanjutkan, soal apakah bisa ditangkap karena mengkampanyekan presiden tiga periode itu perlu ada pendalaman. Mungkin, kata dia, bisa didalami adanya unsur dalam pasal 14 atau 15 uu no.1 th 1946 tentang penyebaran berita bohong yang menimbulkan keonaran.

“Karena konstitusi mengatakan bahwa jabatan presiden dan wapres hanya bisa dua periode. Tetapi kok memberitakan untuk dicalonkan lagi,” kata dia.

Selanjutnya, Suparji berharap narasi ini segera dihentikan. Menurutnya, akademisi dan peneliti atau aktivis politik lebih baik bernarasi sesuai dengan konstitusi dan teori politik maupun bernegara dengan baik dan benar. Akademisi bertugas meluruskan narasi-narasi yang bertentangan dengan konstitusi.

“Bukan justru mengatasnamakan rakyat untuk melanggarnya,” kata dia.

Sumber

Republika