JAKARTA – Pemerintah diminta bertanggung jawab atas kebijakan membebaskan lebih dari 30 ribu narapidana yang berdampak pada maraknya aksi kejahatan. Terlebih ada banyak temuan yang menunjukkan bahwa aksi kejahatan tersebut dilakukan oleh para narapidana yang dikembalikan ke masyarakat melalui program asimilasi dan integrasi Kementerian Hukum dan HAM tersebut.
Hal ini disampaikan Pakar Hukum Pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad yang mempertanyakan bagaimana perhitungan pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan ini.
Menurut Suparji, potensi mantan narapidana untuk kembali dalam dunia kejahatan sangat besar. Sejauh ini saja, proses edukasi atau efek jera dari hukuman badan yang diberikan oleh aparat penegak hukum tak pernah terlihat. Banyak bekas narapidana kembali melakukan kejahatan.
Terbaru, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri, Brigadir Jenderal Argo Yuwono, di Mabes Polri mengungkapkan bahwa berdasarkan data sementara, ada 13 narapidana yang kembali melakukan tindak kejahatan.
Situasi inilah yang menurut Suparji menimbulkan keresahan baru di masyarakat.
“Kalau sudah begini. Siapa yang harus bertanggung jawab. Pemerintah sendiri harus bertanggung jawab,” kata Suparji kepada Validnews, Jumat (17/4).
Menurut dia, program tersebut kontradiktif dengan kebijakan pemerintah saat ini. Di mana, untuk mencegah penyebaran virus corona, pemerintah meminta masyarakat untuk terus berada di rumah. Anjuran pemerintah itu sudah berlangsung lebih dari dua pekan.
“Nah, ini malah membebaskan narapidana. Jadi kontradiktif kan,” kata Suparji.
Harusnya, Kementerian Hukum dan HAM melakukan analisis mendalam kepada narapidana yang akan mendapatkan kebijakan itu. Analisis itu bisa diperoleh dari penilaian harian narapidana yang dilakukan oleh petugas rutan dan lapas. Hasilnya menjadi pertimbangan untuk memberikan kebebasannya.
“Ini bisa menjadi evaluasi untuk jajaran Direktorat Pemasyarakatan, edukasi di penjara itu bagaimana dan efek jeranya seperti apa,” lanjut Suparji.
Khawatirnya, lanjut Suparji, kebijakan ini menjadi dilema tersendiri bagi penegak hukum. Di saat pemerintah berniat mengurangi kapasitas lapas, aparat kepolisian mulai kembali menangkap narapidana yang bebas bersyarat itu.
“Jadi serba salah. Tidak ditangkap masyarakat resah. Kalau ditangkap penjara kembali penuh. Terus pertimbangan kebijakan ini apa,” ucap Suparji.
Memang, tindak kejahatan itu yang dilakukan mantan narapidana itu muncul karena setelah bebas mereka tak memiliki pekerjaan. Apalagi, saat ini, situasi perekonomian Indonesia sangat sulit akibat penyebaran virus corona.
Atas peristiwa ini, Suparji berpandangan, polisi perlu memberikan tindakan keras kepada para narapidana yang bebas lewat program asimilasi itu. Hal ini untuk memberikan contoh bagi narapidana lain yang akan bebas dari program yang sama. Tujuannya, untuk mengurangi potensi mereka kembali melakukan tindak kriminal.
Suparji mengatakan, belasan orang yang kembali ditangkap harus mendapatkan tuntutan berlebih. Misalnya, pelaku pencurian, dia disangkakan pasal berlapis. Tak hanya itu, proses penuntutannya pun harus dipercepat.
“Tapi tetap melalui prosedur hukum acara pidana yang benar. Cuma prosesnya dipercepat dan tuntutannya dilipatkan,” tegas Suparji.
Koordinasi
Pertanyaan yang sama dilontarkan oleh Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto. Bambang mempertanyakan bagaimana koordinasi antara Kemeterian Hukum dan HAM dan Polri.
“Setidaknya, pembebasan itu berkoordinasi dengan kepolisian. Ini untuk pengawasan yang akan diberikan. Sebab, ini masih bebas bersyarat,” kata Bambang, kepada Validnews, Jumat (17/4).
Bambang berpandangan, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD harus mengambil tindakan atas hal ini. Menkopolhukam perlu melakukan koordinasi ulang antara Kementerian Hukum dan HAM dan Polri terkait kebijakan ini.
“Koordinasi dan evaluasi ini penting. Kalau tidak, siapa yang akan bertanggungjawab,” lanjut Bambang.
Setidaknya, koordinasi ini bisa meninimalisir tindak kejahatan saat pandemi covid-19 ini. Pasalnya, belakangan, angka kriminalitas terus meroket naik. Hal ini menjukkan dampak ekonomi dan sosial dari wabah ini mulai terasa.
Sebab, pertumbuhan ekonomi Indonesia terus anjlok. Faktanya, banyak perusahaan yang mulai gulung tikar.
“Kahawatirnya, mantan narapidana ini kembali ikut-ikutan,” ucap Bambang.
Namun, Polri juga perlu memilah apakah tindak kejahatan itu dilakukan oleh warga yang terdampak covid-19. Kemudian, apakah tindak kejahatan itu dilakukan oleh residivis yang bebas lewat program asimilasi tersebut.
“Tetap harus mengedepankan azas praduga tak berasalah,” ucap Bambang.
Bambang menyarankan, bagi mantan narapidana yang baru bebas dan melalukan tindak kejahatan, Polri dapat mengenakan pasal berlapis. Hal ini berkaitan dengan efek jera.
“Mereka masih bebas bersyarat dan melakukan kriminal. Mereka harus dihukum dua kali lipat,” tegas Bambang.
Terpisah, Kriminolog Universitas Indonesia, Josias Simon menuturkan, tingginya angka kriminalitas belakangan ini, belum tentu disebabkan oleh para mantan narapidana itu. Meski, tak menutup kemungkinan beberapa di antaranya kembali melakukan kejahatan.
“Kalau statistik sekarang kan masih data bulan Maret 2020 lalu. Jadi belum bisa dilihat agregatnya seperti apa,” tutur Josias.
Josias berpendapat bahwa mantan narapidana itu harus dimasukan ke dalam data penerima bantuan covid-19. Sebab, puluhan ribu mantan narapidana itu tak memiliki pekerjan. Artinya, mereka rentan kembali ke dunia kejahatan.
“Kalau tidak otomatis mereka akan melakukan tindak kejahatan untuk memenuhi kebutuhan perut. Makanya, harus ditangani secara kompleks,” tutup Josias.
Terkait hal ini, sebelumnya Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan narapidana yang berulah kembali setelah dibebaskan akan dijatuhi pidana baru. Ia mengaku telah menginstruksikan jajaran Ditjenpas Kemenkumham untuk berkoordinasi dengan Polri dan Kejaksaan guna mengoptimalkan pengawasan tersebut.
“Jika berulah lagi, warga binaan asimilasi dimasukkan ke sel pengasingan. Saat selesai masa pidananya, diserahkan ke polisi untuk diproses tindak pidana yang baru,” kata Yasonna, Senin (13/4) seperti dikutip dari Antara.
Saat ini sudah lebih dari 36 ribu warga binaan pemasyarakatan yang menjalani program asimilasi dan integrasi di tengah pandemi covid-19.
Sementara itu, Direktur Pembinaan Narapidana dan Latihan Kerja Produksi, Yunaedi mengatakan, sesuai dengan peraturan dan prosedur pemberian asimilasi dan hak integrasi, di tahun 2020 ini telah dipetakan 40.329 warga binaan yang secara berangsur-angsur sudah harus dikeluarkan.
“Secara normatif, tanpa adanya Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020 ini, sebenarnya memang 40 ribu narapidana sudah harus keluar secara bertahap, termasuk yang 36 ribu ini. Mengapa ini menjadi heboh? Karena ini dikeluarkan bersama-sama,” ujar Yunaedi. (James Manullang)
Sumber
Valid News