Setidaknya sejak 2019 akhir, sudah beredar wacana Ganjar Pranowo merupakan pengganti Joko Widodo (Jokowi) sebagai RI-1. Saat ini, ada ketegangan memanjang di internal PDIP karena Puan Maharani disebut-sebut yang akan diusung. Lantas, dengan munculnya wacana Ganjar menjadi Gubernur DKI Jakarta, apakah itu cara PDIP agar sang Gubernur Jawa Tengah tidak maju di 2024?
Sinyal keretakan hubungan Ganjar Pranowo dengan PDIP sudah tercium baunya sejak Pilkada 2020 lalu, tepatnya Pemilihan Bupati (Pilbup) Purbalingga 2020. Saat itu, alih-alih mendukung pasangan Dyah Hayuning Pratiwi dan Sudono yang diusung PDIP, Ganjar justru mendukung adik iparnya, Zaini Makarim, yang menjadi wakil dari Muhammad Sulhan Fauzi.
Pada 4 Desember 2020, pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, juga menyebut ada informasi bahwa Ganjar tidak mendapat restu dari Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri.
“Kemarin saya dapat kabar dari orang dalam PDIP, dalam satu pertemuan dengan Megawati dan Ganjar, di situ ada Effendi Simbolon, dan ketika Ganjar masuk, Effendi Simbolon mengatakan, ‘ini calon Presiden kita’. Lalu, Megawati mukanya langsung merah. Artinya tidak berkenan dalam konteks itu,” begitu tutur Ujang.
Setidaknya sejak Maret 2021, isu ketegangan ini kemudian meledak di tengah publik. Berbagai media menyoroti soal Ganjar yang disebut mengincar tiket pilpres PDIP. Seperti yang diketahui, konteksnya menjadi panas karena Puan Maharani disebut-sebut merupakan pilihan partai banteng untuk 2024.
Melihat wacananya, pengusungan Puan untuk kontestasi pilpres sebenarnya sudah tercium sejak 2011. “Banyak kelebihan yang dimiliki Mbak Puan sehingga dia layak menjadi calon presiden untuk merebut posisi kepala negara,” ungkap Sekretaris PDIP Jawa Tengah saat itu, Agustina Wilujeng, pada 5 Januari 2011 silam.
Setelah melalui ketegangan intens di media, tensi pertarungan Ganjar vs Puan tampaknya mereda seiring dengan tebaran baliho sang Ketua DPR. Konteks baliho ini sudah dibahas rinci dalam artikel PinterPolitik sebelumnya yang berjudul Operasi Intelijen di Balik Baliho Puan.
Berbagai pihak menilai bahwa baliho tersebut adalah pesan bahwasanya PDIP merapatkan barisan untuk mendukung Puan Maharani. Simpulan ini juga dapat ditarik dari sikap terbaru Wakil Ketua Pengurus Anak Cabang (PAC) PDIP Kecamatan Temanggung Fajar Nugroho yang mengembalikan bantuan Ganjar karena tidak ingin dijadikan objek pencitraan.
“Ini ya seperti kemiskinan saya itu malah dibuat pencitraan, tapi kok embel-embelnya dengan partai,” ungkap Fajar pada 12 Januari.
Nah, yang menarik adalah, baru-baru ini ada wacana dari Ketua DPP PDIP Eriko Sotarduga yang menyebut Ganjar bisa saja ditarik untuk Gubernur DKI Jakarta. Seperti yang diketahui, masa kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan akan berakhir pada 2022.
“Tetapi bisa saja tiba-tiba dari Jawa Tengah diberikan ke sini kan bisa saja. Misalnya Mas Hendi (Wali Kota Semarang), ya kan. Bisa juga Mas Ganjar, kenapa tidak. Kan semua tidak ada yang tertutup dalam hal itu,” ungkap Eriko.
Lantas, apakah wacana itu adalah cara PDIP untuk menutup peluang Ganjar maju pada tahun 2024 mendatang?
Uji Reaksi?
Desas-desus Ganjar maju di DKI Jakarta sebenarnya bukan kali ini terdengar. Pada 2016 lalu, Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok disebut menawari Ganjar sebagai wakilnya tetapi Ganjar menolak tawaran tersebut.
Mengaitkan konteksnya dengan tiket capres, berbagai pihak kemudian menilai wacana yang dimunculkan Eriko adalah trade-off agar Ganjar tidak maju di Pilpres 2024. Menimbang seksinya posisi ibu kota, asumsi tersebut terbilang sangat masuk akal.
Pasalnya, jika menjadi DKI-1, Ganjar akan semakin menjadi pusat pemberitaan. Simpulan ini bertolak dari buku Ross Tapsell yang berjudul Media Power in Indonesia. Menurutnya, dengan berkumpulnya hampir semua kantor pusat media di Jakarta, ini menyebabkan pemberitaan media berkiblat pada “kepentingan Jakarta”, yang mana ini membuat isu regional Jakarta seolah-olah menjadi isu nasional.
Namun, asumsi tersebut memiliki satu ganjalan besar. Dengan fakta telah memimpin Jawa Tengah sebagai Gubernur sebanyak dua periode, tidak mungkin Ganjar kemudian dicalonkan sebagai Gubernur DKI Jakarta, kecuali ada perubahan undang-undang. Dengan kata lain, asumsi trade-off tersebut tampaknya keliru.
Lantas, jika bukan trade-off, lalu apa? Apakah mungkin Eriko hanya mengeluarkan pernyataan iseng?
Untuk menjawabnya, tampaknya kita dapat merujuk pada Thirty-Six Stratagems, yakni 36 strategi Tiongkok kuno yang digunakan dalam politik, perang, dan interaksi sipil. Dalam strategi nomor 13, disebutkan stomp the grass to scare the snake (打草驚蛇, Dǎ cǎo jīng shé). Artinya, kagetkan ular dengan memukul rumput di sekitarnya.
Strategi nomor 13 dilakukan ketika kita tidak mengetahui dengan jelas rencana musuh. Untuk kepentingan itu, kita perlu melakukan serangan untuk mempelajari reaksi musuh, di mana ini akan membongkar strateginya. Tentunya, ini bukan serangan penuh, melainkan lebih ke serangan gertakan.
Nah, strategi nomor 13 tampaknya sedang dilakukan oleh PDIP melalui pernyataan Eriko Sotarduga. Wacana Ganjar akan ditarik ke DKI dimunculkan untuk mengetahui reaksi sang Gubernur Jawa Tengah dan mereka yang berdiri di belakangnya.
Jika muncul sinyal ketertarikan, itu menjadi pesan bahwa Ganjar atau para pendukungnya tidak 100 persen kukuh untuk Pilpres 2024. Mereka dapat mundur jika mendapatkan tawaran yang menarik.
Namun, melihat tanggapan Ganjar yang menjawab singkat, “Aku ngurus Jawa Tengah dulu.” Tampaknya Ganjar tidak begitu tertarik dengan wacana tersebut. Jika tertarik, besar kemungkinan akan muncul pernyataan, “Saya mengikuti arahan partai atau Ibu Ketum Megawati.”
PDIP Masih Berhitung?
Nah, di titik ini konteksnya menjadi begitu menarik. Pasalnya, jika mengacu pada matematika pemilu, ada kemungkinan PDIP masih menjaga kemungkinan Ganjar untuk maju di Pilpres 2024. Artinya, Puan belum 100 persen akan diusung.
Bagaimana mengetahuinya? Sederhana, dari pernyataan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto pada 9 Januari kemarin. Dalam tanggapannya terhadap survei elektabilitas Ganjar, alih-alih memberi bantahan, Hasto justru memberi apresiasi karena itu menunjukkan tingginya kepercayaan masyarakat terhadap kader PDIP. Namun, tentunya ada catatan bahwa elektabilitas bukanlah faktor utama untuk mengusung kandidat.
Terlepas dari ada tidaknya catatan tersebut, pernyataan Hasto menunjukkan PDIP tidak berniat untuk mendepak Ganjar, meskipun menunjukkan indikasi ingin merebut tiket dari Puan Maharani. Bukan tanpa alasan kuat, jika PDIP mengusung Ganjar, dapat dikatakan 30-40 persen tugas partai sudah diselesaikan. Simpulan itu mengacu pada strategi pemenangan yang mengadopsi operasi penggalangan intelijen.
Dalam operasi penggalangan intelijen, umumnya melalui tiga tahapan utama, yaitu tahap infiltrasi, intensifikasi/eksploitasi, dan diakhiri tahap evaluasi/konsolidasi. Nah, seperti yang telah ditegaskan dalam artikel Operasi Intelijen di Balik Baliho Puan, tahap infiltrasi adalah tahap pengenalan kandidat ke hadapan publik. Tujuannya untuk mempopulerkan kandidat seluas mungkin dan menyentuh seluruh lapisan masyarakat.
Setelah populer, kemudian lanjut ke tahap intensifikasi/eksploitasi yang bertujuan untuk meningkatkan elektabilitas atau tingkat keterpilihan kandidat. Nah, dengan Ganjar yang memiliki elektabilitas tinggi, dapat dikatakan tugas PDIP sudah menyentuh tahap intensifikasi/eksploitasi. Sisanya tinggal meningkatkan variasi strategi kampanye, dan terakhir membangun konsolidasi dukungan, baik dengan partai politik maupun kelompok masyarakat.
Sebagai penutup, ada beberapa kemungkinan yang dapat dipikirkan. Pertama, PDIP akan mengusung Ganjar jika ia mampu menjaga elektabilitasnya tetap tinggi dalam satu setengah tahun ke depan. Kedua, jika PDIP ternyata memutuskan mengusung Puan, maka Ganjar dapat didepak jika tetap bersikeras ingin maju.
Ketiga, jika tidak ingin mendepak Ganjar dan ingin mengusung Puan, PDIP dapat memberikan trade-off atau pertukaran yang tepat. Seperti pernyataan Thomas Sowell di awal tulisan, tidak ada solusi, yang ada hanyalah pertukaran.
Well, apa pun yang terjadi di balik pernyataan Eriko Sotarduga, yang jelas saat ini PDIP masih berhitung. Seperti pernyataan Direktur Eksekutif Voxpoll Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago, PDIP adalah partai rasional yang melihat dan membaca realitas secara objektif.
Kita lihat saja kelanjutannya. Hanya waktu yang dapat menjawab pertanyaan soal siapa sosok yang menjadi jagoan partai banteng untuk bertarung di Pilpres 2024. (R53)
Sumber