Jakarta, CNN Indonesia — Sejumlah kepala daerah menunjukkan dukungan terhadap aksi rakyat menolak pengesahan Omnibus Law undang-undang cipta kerja. Langkah ini dinilai sebagai bentuk kekecewaan terhadap pemangkasan wewenang pemerintah daerah lewat Omnibus Law.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil jadi kepala daerah pertama yang melakukan gebrakan itu. Pada Kamis (8/10), pria yang akrab disapa Kang Emil itu turun menemui massa yang berunjuk rasa di Bandung.
Dalam kesempatan itu, Emil mengatakan akan menyampaikan aspirasi masyarakat Jabar. Hari itu juga, ia melayangkan surat ke Presiden Joko Widodo untuk menyampaikan aspirasi penolakan Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Langkah yang sama juga dilakukan Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji. Bahkan Sutarmidji secara tegas meminta Jokowi mencabut undang-undang yang memicu aksi besar-besaran itu.
“Saya Gubernur Provinsi Kalimatan Barat dengan ini mohon kepada Presiden untuk secepatnya mengeluarkan Perppu yang mencabut Omnibus Law UU Cipta Kerja,” dalam akun Instagram resminya @Bang.midji dan sudah dikonfirmasi oleh CNNIndonesia.com, Jumat (9/10).
Sikap serupa pun dilakukan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno, Ketua DPRD Sumatera Barat Supardi, dan Ketua DPRD Sulawesi Tenggara Abdurrahman Shaleh.
Mereka mendengar aspirasi masyarakat dan meminta Presiden Joko Widodo mencabut Omnibus Law UU Cipta Kerja. Mereka juga mendesak penerbitan perppu untuk mengganti undang-undang tersebut.
Pengamat Politik Universitas Andalas Asrinaldi menilai langkah para kepala daerah itu dilandasi kekecewaan terhadap omnibus law, terutama soal pemangkasan wewenang pemda.
Dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja, ada sejumlah perubahan kewenangan pemda. Misalnya pasal 17 UU Ciptaker yang memangkas kewenangan pemda soal tata ruang. Ada juga pasal 22 UU Cipta Kerja yang mengurangi kewenangan pemda terkait izin lingkungan.
“Itu komunikasi politik pemerintah daerah untuk mengatakan, ‘Jangan sewenang-wenang, tiba-tiba mem-bypass dengan omnibus law. Inilah cara kami menyampaikan dengan ikut demonstran’,” kata Asrinaldi kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (10/10).
Asrinaldi mengatakan memang ada kecenderungan resentralisasi kekuasaan melalui berbagai revisi Undang-undang Pemda. Namun hal itu tak menjadi sorotan publik.
Saat wewenang pemda kembali diusik lewat Omnibus Law, kata dia, para kepala daerah mendapat momentum. Ini jadi waktu paling tepat untuk menyuarakan keresahan mereka.
“Yang dilakukan para gubernur juga bukan dalam konteks menentang, tapi menunjukkan aspirasi di daerah yang wajib mereka sampaikan,” ujarnya.
Dihubungi terpisah, pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin berpendapat senada. Menurutnya, pemangkasan kewenangan jadi salah satu dorongan bagi kepala daerah untuk bersuara.
“Secara aturan kewenangan mereka diambil. Untuk apa menjabat jika tidak punya kewenangan. Itu keresahan mereka,” kata Ujang kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (10/10).
Selain soal wewenang, Ujang menyebut setidaknya ada dua faktor lain. Pertama, para kepala daerah coba menenangkan massa dengan meneruskan aspirasi ke Presiden Jokowi.
Faktor lainnya adalah politik elektoral. Ujang menilai kepala daerah yang menyuarakan penolakan terhadap omnibus law punya potensi di Pilpres 2024.
Ujang berpendapat dampak elektoral yang bisa didapatkan dalam momentum ini cukup besar. Pasalnya penolakan terhadap Omnibus Law Cipta Kerja berasal dari berbagai elemen masyarakat dan jumlahnya besar.
“Bagaimanapun mereka kan masuk dalam jajaran capres. Ini momentum. ketika momentum itu diambil, mereka muncul, dapat pemberitaan bagus dan positif terkait surat itu, baik RK, Sutarmidji, Khofifah, dan lain-lain,” ujarnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo sempat menyinggung isu pemangkasan wewenang pemda terkait Omnibus Law UU Cipta Kerja. Dia menyebut kabar itu tak benar.
“UU Cipta Kerja ini tidak melakukan resentralisasi kewenangan dari daerah ke pemerintah pusat, tidak, tidak ada,” kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (9/10).
Sumber
CNN Indonesia