POJOKSATU.id, JAKARTA – Pakar hukum pidana Universitas Al-Azhar Indonesia, Prof Suparji Ahmad mengatakan, pernyataan Pandji Pragiwaksono itu sangat tidak tepat.
Hal itu terkait dengan pernyataan kontroversial komika itu yang menyebut Front Pembela Islam jauh lebih dekat dengan masyarakat.
Sebaliknya, Pandji menyebut bahwa Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah terlalu elitis.
“Muhammadiyah dan NU organisasi yang terbuka dan merakyat. Sehingga tidak tepat disebut elitis,” kata Suparji kepada RMOL, Jumat (22/1/2021).
Suparji juga menilai apa yang diketegorikan elitis sebagaimana ucapan Pandji itu juga tidak jelas.
“Pernyataan tersebut bersifat spekulatif tanpa berbasis data dan fakta,” sambungnya.
Jika elitis yang dimaksud Pandji dikategorikan karena terbatas kalangan tertentu atau hanya mengurusi masalah-masalah yang elit semata, kata dia, itu pun jelas-jelas keliru dan tidak proporsional.
Pasalya, baik anggota NU maupun Muhammadiyah datang dari semua lapisan masyarakat.
“Selain itu, yang diurus juga kepentingan rakyat. Misal pendidikan, kesehatan, dakwah, dan lain-lain,” tegasnya.
Supardji menegaskan, jika masyarakat kalangan bawah menjadi anggota FPI, bukan berarti Muhamdiyah dan NU bersifat elitis.
Namun karena masyarakat tersebut memang cenderung berpola pikir dan bertindak seirama dengan FPI.
“Yang jadi anggota FPI bukan karena Muhammadiyah dan NU elitis, tapi karena mereka memiliki pola pikir dan pola tindak yang sama dengan FPI,” sambungya.
Sementara, Sekretaris Lembaga Dakwah Khusus PP Muhammadiyah Faozan Amar menyebut pernyataan Pandji Pragiwaksono itu sebagai sebuah kemunduran berfikir.
Pasalnya, Muhammadiyah dan NU lahir sebelum Republik Indonesia lahir.
Bahkan, Muhammadiyah yang berdiri 1912 dan NU 1926 merupakan cikal bakal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Jangan bandingkan apalagi menyamakan organisasi pendiri bangsa dengan organisasi yang telah dibubarkan pemerintah karena tidak taat pada undang-undang. Itu namanya kemunduran berfikir,” ujar Faozan Amar, Kamis (21/1).
“Sebagai publik figur, Pandji harus menambah asupan bacaan,” tegasnya.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Prof Dr Hamka ini menuturkan, memang hak berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat dijamin UU.
Namun, agar pendapat yang dikemukakan itu berbobot dan mencerahkan, ada baiknya sebelum berbicara itu menggunakan data yang memadai.
Ia menjelaskan, Muhammadiyah (1912), NU (1926) dan PNI (1927), merupakan cikal bakal berdirinya NKRI.
“Ketiganya satu tarikan nafas, yang hingga hari ini masih setia menjadi pengawal Pancasila sesuai dengan peran dan fungsinya masing- masing,” tegas Ketua PP Baitul Muslimin Indonesia ini.
Karena itu, ia menyarankan Pandji Pragiwaksono mendengarkan dengan seksama pesan dari Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir.
“Silahkan camkan pesan Ketua Umum PP Muhammadiyah; jika kita tidak bisa memberi solusi bagi persoalan-persoalan kehidupan, minimal jangan sampai kita membuat gaduh,” pungkasnya.
Sumber