Jakarta, CNN Indonesia — Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) telah mengumumkan Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra Sandiaga Uno untuk menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) menggantikan Wishnutama, Selasa (22/12).
Sandiaga, dan lima menteri baru dilantik Presiden Jokowi, Rabu (23/12) di Istana Negara, Jakarta Pusat.

Dengan resminya ia menjabat sebagai Menparekraf, maka Sandiaga akan menyusul Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto menjadi pembantu presiden. Prabowo saat ini merupakan menteri pertahanan sejak awal pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin pada 2019 lalu.

Sebagai informasi, pada Pilpres 2019, Sandiaga menjadi cawapres mendampingi Prabowo yang kembali jadi capres. Dalam kontestasi itu, Prabowo-Sandi kalah dari Jokowi yang menggandeng Ma’ruf yang kala itu Ketua Umum MUI.Beli satu dapat dua. Itulah yang memang didapat pemilih Indonesia saat pesta demokrasi Pilpres 2019 setelah setidaknya baru komplet satu tahun kemudian.

Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Ujang Komarudin menyebut masuknya Sandi yang satu tahun lebih lambat dari Prabowo ke Kabinet Jokowi menjadi bukti tak ada yang abadi dalam kancah politik, khususnya kancah politik di Indonesia.

“Faktanya seperti itu ya, tidak ada kawan dan lawan yang abadi. Yang ada adalah kepentingan,” kata Ujang saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (23/12).

Ketika berkompetisi, dua belah pihak bersaing, saling menjatuhkan satu sama lain. Namun setelah semua selesai, kata Ujang, mereka berpelukan demi kepentingan masing-masing.

Ujang pun mengaku melihat apa yang terjadi sekarang sebagai ironi bahwa persaingan Pilpres lalu telah menimbulkan ‘korban’ yakni rakyat yang terpolarisasi hingga kini. Sebagai informasi, ketika Gerindra memutuskan berkoalisi, oposisi pemerintah di parlemen pun berkurang di mana sekarang setidaknya yang tersisa eksplisit adalah PKS dan Demokrat.

“Rakyat di bawah masih terpolarisasi, masih berantem tapi di atas menikmati kekuasaan itu. Menikmati jabatan presiden, menikmati jabatan menteri,” kata doktor ilmu politik itu.

Meski begitu, Ujang menyebut tak ada yang bisa disalahkan dari langkah dan pilihan yang diambil baik Jokowi, Prabowo, dan Sandiaga saat ini. Toh, kata dia, kenyataanya jabatan menteri adalah kekuasaan berdasar pada hitung-hitungan politik.

Oleh karena itu, Ujang mengaku tak heran ketika nama Sandi berulang kali muncul dalam isu reshuffle Kabinet Indonesia Maju di bawah Jokowi-Ma’ruf.

Sebelumnya, Sandi menjadi salah satu yang disorot menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan menggantikan kader Gerindra, Edhy Prabowo, yang jadi tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Meskipun tak jadi Menteri KKP menggantikan Edhy, dengan ditunjuknya Sandiaga jadi Menparefkraf, jatah menteri Gerindra di kabinet Jokowi-Ma’ruf tetap dua orang.

Ujang menilai secara politik, Gerindra tentu tak ingin kehilangan jatah kursi di kabinet Jokowi-Ma’ruf dari hasil rekonsiliasi yang dilakukan setelah Pilpres 2019.

Senada Ujang, pengamat politik yang juga Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, menyebut masuknya Sandi yang menyusul Prabowo di kabinet Jokowi itu telah membuktikan tanda bahwa rivalitas Pilpres hanya politis, bukan rivalitas ide atau gagasan pembangunan nasional. Tak hanya itu, kata Dedi, itu pun menjadi penanda kuat bahwa sistem presidensial di Indonesia secara otomatis bermakna tidak ada yang tetap dalam politik.

“Urusan politik, semuanya berada di dunia dinamis,” kata dia.

Hitung-Hitung Sandi untuk 2024
Di tatanan birokrasi pemerintahan, Sandiaga diketahui memiliki pengalaman sebagai pemenang Pilkada DKI 2017 bersama Anies Baswedan. Dia sempat menjabat kursi Wagub DKI hingga Agustus 2018 ketika memutuskan menjadi cawapres menemani Prabowo.

Setelah Pilpres 2019, Sandiaga yang tak lagi memiliki jabatan di struktur pemerintahan sibuk merintis ide pembangunan usahanya. Dia juga sibuk menjadi vloger dan kerap berkeliling ke beberapa daerah untuk mengenalkan OK OCE–sebuah program yang menjadi kampanyenya bersama Anies saat Pilkada DKI 2017.

Sejumlah pihak menilai langkah Sandiaga yang tak memiliki kekuasaan pemerintahan itu adalah sebuah upaya agar publik tak lupa-lupa amat dengan dirinya.

“Orang kalau tidak punya jabatan sulit untuk bisa mengambil kekuasaan tinggi. Sudah ada sejarah ada menteri yang jadi presiden, itu pak SBY. Pak SBY kan tadinya menteri,” kata Ujang.

Menurut Ujang, jika Sandi tak memiliki posisi di pemerintah maka akan sulit baginya mengatrol elektabilitasnya yang mulai menurun dalam setahun ke belakang setelah pilpres 2019.

“Walau dia aktif di medsos tapi masyarakat abaikan itu. Karena gini, pendekatan power center. Pendekatan kekuasaan tetap diperlukan,” sambung penulis buku Ideologi Partai Politik: Antara Kepentingan Partai dan Wong Cilik tersebut.

Berbeda dengan Ujang, Dedi Kurnia Syah menilai langkah Sandi menerima pinangan jadi menteri Jokowi justru bisa jadi petaka terhadap elektabilitas jelang 2024.

Menurutnya, secara hitungan politis peluang Sandi di Pilpres 2024 justru lebih besar jika tetap bertahan untuk berada di luar pemerintahan. Dia pun merinci, saat berada di pemerintahan, Sandi harus bertarung dengan popularitas dan elektabilitas sesama anggota kabinet.

“Jika ia tidak berprestasi benar, maka popularitas politiknya akan redup bersamaan dengan terangnya anggota kabinet lainnya,” kata Dedi.

Tak hanya itu, kementerian yang saat ini akan dipimpin Sandi juga tergolong elite di dalam kabinet. Kementerian ini, katanya, bisa dikatakan tak langsung bersinggungan dengan publik. Oleh karena itu, menurutnya bisa saja Sandiaga akan mengalami kesulitan dalam menggenjot popularitasnya jika tak terlalu berprestasi.

Merujuk hasil survey lembaganya pada Oktober lalu, Dedi mengatakan Sandi menempati posisi keempat sebagai tokoh yang berpotensi menang di Pilpres. Sandi mengalahkan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, bahkan Eks Panglima TNI yang menjadi Presidium KAMI Gatot Nurmantyo dalam survei tersebut.

Dalam survei nasional IPO yang melibatkan 1.200 responden tersebut, Sandi disebut mendapat dukungan sebanyak 8,8 persen. Survei dilakukan selama periode 12-23 Oktober 2020 lalu.

Dedi lalu membandingkan dukungan pada Sandi saat berada di luar pemerintahan, dengan Prabowo yang menjadi menteri sejak awal Kabinet Indonesia Maju. Menurut Dedi, dukungan terhadap Prabowo pun lambat laun mengalami penurunan saat rival Jokowi dalam dua Pilpres terakhir itu memilih masuk kabinet.

“Keunggulan Sandiaga itu sangat mungkin saat posisinya di luar pemerintah, hal ini terlihat dari tren elektabilitas Prabowo yang menurun sejak bergabung di kabinet,” kata dia.

Sumber

CNN Indonesia