JAKARTA – Polri menyiapkan sanksi pidana bagi pelanggar pada konsep kenormalan baru yang sebentar lagi akan di terapkan di beberapa daerah.
Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan menyebut, dalam penerapan konsep kenormalan baru, polisi akan bertindak tegas masyatakat yang tak mengedepankan protokol kesehatan di masa pagebluk COVID-19.
“Bagi masyarakat yang melanggar aturan atau melawan petugas dapat dikenai Pasal 212 KUHP,” ucap Ahmad di Jakarta, Kamis, 28 Mei.
Pasal 212 KUHP berisi tentang orang-orang yang menghiraukan imbauan dari petugas atau melawan petugas. Sanksi hukuman dalam pasal ini penjara paling lama 1 tahun 4 bulan atau denda paling banyak Rp4.500.
Tetapi, Ahmad menegaskan, pemberian sanksi pidana ini merupakan langkah terakhir yang akan dilakukan polisi. Sebab, aparat akan mengedepankan cara humanis dan persuasif saat memantau pemberlakuan kebijakan kenornalan baru.
“Polri mengedepankan upaya persuasif kepada warga selama kenormalan baru,” kata Ahmad.
Penerapan pasal ini sesuai dengan surat telegram nomor 249 tanggal 28 Mei 2020 untuk mengimplementasikan skenario kenormalan baru dalam rangka mempercepat penanganan COVID-19 yang dikeluarkan Kapolri Jenderal Idham Azis.
Isi surat itu menginstruksikan seluruh jajaranya untuk berkoordinasi dengan instansi terkait dalam rangka pemantauan kenormalan baru. Termasuk bersikap humanis saat melakukan pemantauan dan penerapan aturan.
“Meminta para Kasatwil berkoordinasi dengan TNI dan stakeholder lainnya untuk bersama-sama dengan Polri melakukan upaya pendisiplinan masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan sesuai ketentuan ditempat keramaian, pariwisata, tempat kerumunan massa, sentra ekonomi, pasar, mall dan area publik lainnya melalui imbauan dan peringatan secara humanis menuju kehidupan New Normal,” papar Ahmad.
Sanksi bukan yang terpenting
Kriminolog Universitas Indonesia Adrianus Meliala mengatakan, sanksi yang dikeluarkan oleh Polri merupakan langkah yang paling tepat untuk penindakan di masa kenormalan baru ini. Tetapi, yang menjadi catatan yaitu lebih kepada konsistensi penegakan hukum.
Sehingga, dengan konsistensi menerapakan aturan yang ada masyarakat pun akan semakin taat dan menerapkan konsep kenormalan baru yang digaungkan pemerintah.
“Iya (harus konsisten). Pada penegakan sanksi harus ada integritas dan konsitensi,” kata Adrianus.
Selain itu, sanksi pidana yang dipilih tentu setelah melalui banyak proses pertimbangan. Sebab, jika menerapakan sanksi pidana berat hanya akan menimbulkan efek negatif. Salah satunya memakan banyak waktu dalam proses pemberkasan dan persidangan.
“Karena saat ditegakkan (sanksi berat), ada soal dengan aspek formil dan materiil. Khususnya dari segi bukti dan upaya mengumpulkan bukti,” ucap Adrianus.
Sementara, pengamat hukum pidana Universitas Al Azhar Suparji Ahmad mengatakan, ketika polisi menerapkan sanksi bagi para pelanggar, lebih baik dengan menggunakan denda. Tapi, uang denda ini harus jelas aliran dananya.
Sedangkan, ketika polisi menerapkan sanksi pidana, kebijakan tersebut akan menimbulkan beban baru dan tumpang tindih aturan dengan Kementerian Hukum dan HAM.
“Jika memang dipandang perlu sanksi pidananya lebih cocok dengan denda karena kalo penjara akan menimbulkan beban baru bagi negara dan kontradiksi dengan kebijakan asimilasi,” tegas Suparji.
Menurutnya, ada cara lain ketika ingin memberikan efek jera kepada para pelanggar kebijakan kenormalan baru. Salah satunya dengan memberikan dua kesempatan kepada masyarakat. Ketika mereka mengulangi untuk kedua kalinya, barulah pelanggar ditempatkan di penjara.
“Kalo penjara bersifat percobaan tanpa harus ditahan dalam penjara jika mengulangi kesalahannya lagi baru dipenjara,” pungkas Suparji.
Sumber
VOI