PR BANDUNG RAYA – Aksi unjuk rasa penolakan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja memakan banyak korban berjatuhan. Kelompok buruh, mahasiswa dan polisi memakan korban.

Tidak hanya itu, kalangan para jurnalis yang sedang meliput selalu menjadi korban dari aksi demonstrasi. Dalam beberapa hal jurnalis memiliki hak untuk meliput dan dilindungi oleh Undang-Undang. Namun dalam berbagai kasus kerapkali Jurnalis sebagai korban.

Dikutip Prbandungraya.pikiran-rakyat.com dari RRI, Pakar Hukum Pidana Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad meminta kepada Polri untuk melakukan evaluasi dalam mengamankan kegiatan demonstrasi.

“Wartawan yang ditangkap harus segera dibebaskan dan polisi perlu melakukan evaluasi,” kata Suparji dalam keterangan tertulisnya, Minggu 11 Oktober 2020.

Dalam aksi unjuk rasa penolakan terhadap Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja diketahui bahwa sejumlah Jurnalis ditangkap dan mengalami pemukulan oleh pihak kepolisian saat meliput UU Omnibus Law.

Suparji Ahmad menegaskan bahwa Jurnalis memiliki hak dan tidak boleh mengalami intimidasi kekerasan ketika sedang meliput, karena kerja mereka di lapangan dilindungi oleh Undang-Undang.

“Wartawan dilindungi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Maka, kekerasan kepada wartawan sangat disayangkan,” kata Suparji.

Suparji menegaskan bahwa tindakan intimidasi yang dilakukan oleh pihak kepolisian terhadap para jurnalis bertentangan dengan Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).

“Penangkapan sangat bertentangan dengan hukum dan HAM. Terlebih ini dilakukan oleh Polisi. Seharusnya Polisi bisa membedakan mana wartawan dan mana peserta demo,” tuturnya.

Berdasarkan peristiwa yang telah berlalu, Suparji meminta bahwa polisi melakukan evaluasi dalam mengamankan kegiatan aksi. Jangan sampai terulang kembali bahwa jurnalis yang dilindungi malah menjadi korban.

“Wartawan yang ditangkap harus segera dibebaskan dan polisi perlu melakukan evaluasi,” terang Suparji.

Salah satu jurnalis yang diintimidasi oleh pihak kepolisian dan tidak mendapatkan pendampingan hukum adalah Tohirin dari CNN Indonesia. Ia mendapatkan tindakan subversive dari kepolisian, ia mengaku kepalanya dipukul dan ponselnya dihancurkan ketika sedang meliput demonstrasi di Kawasan Harmoni Jakarta Pusat.

“Saya diinterogasi, dimarahi. Beberapa kali kepala saya dipukul, beruntung saya pakai helm,” kata Thohirin, yang mengatakan telah menunjukkan kartu pers dan rompi bertuliskan Pers miliknya kepada polisi.

Selain itu ada dari jurnalis suara.com yang sedang meliput di daerah Thamrin, Jakarta Pusat yang dianiaya oleh polisi. Ia sedang kedapatan merekam polisi yang mengeroyok demonstran.

AJI Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum Pers mengecam tindakan polisi menganiaya dan menghalangi kerja wartawan. Menurut AJI tindakan itu melanggar UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. ***

Sumber
PR BANDUNG RAYA