tirto.id – Fitron tengah beristirahat di rumahnya di Sidoarjo ketika tiba-tiba datang 5 polisi pukul 20.20 WIB pada Minggu (19/4/2020). Tiga polisi mengaku bertugas di Malang, sisanya mengaku dinas di Sidoarjo. Mereka datang untuk menangkap pemuda 22 tahun itu. Fitron menolak dibawa. Alasannya sederhana: polisi hanya menunjukkan surat perintah penangkapan tanpa nama. Tapi polisi tidak pergi. Fitron pun tak bisa bertahan lama-lama. Pukul 20.45, ia diangkut ke Polres Malang. Beberapa jam berselang, sejumlah polisi bergerak ke rumah nenek Fitron di Malang untuk melakukan penggeledahan. Fitron memang tinggal bersama neneknya selama berkuliah di Kota Apel tersebut. Polisi mencari barang-barang milik Fitron yang “terkait dengan gerakan anarko.”
Keesokan hari, tepatnya pukul 4 dini hari, polisi tanpa seragam bergerak ke daerah Pakis, Malang. Mereka mendatangi rumah Alfian, seorang pemuda 20 tahun. Alfian juga ditangkap di pagi buta itu. Satu jam berselang, polisi tanpa seragam itu juga menangkap Saka (20) dari rumahnya di Singosari. Fitron, Alfian, dan Saka aktif mengikuti Aksi Kamisan di depan Balai Kota Malang setiap Kamis Sore. Aksi Kamisan adalah sebuah aksi diam menuntut pemerintah menuntaskan pelbagai dugaan pelanggaran HAM di masa lalu.
Fitron juga aktif di pers mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Ia juga aktif dalam gerakan menolak tambang emas di Tumpang Pitu, Salakan, dan gerakan Save Lakardowo yang melawan pembuangan limbah sembarangan. Sementara Alfian dan Saka yang tidak berkuliah aktif belajar mengenai advokasi. Ilmunya mereka terapkan untuk mendampingi petani Tegalrejo di Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, yang tengah berkonflik dengan PT Perkebunan Nusantara sejak September 2019.
Belakangan ketiga pemuda itu juga berencana menggalang bantuan untuk warga miskin terdampak pandemi COVID-19. “Mereka niat membantu warga miskin, perbuatan mereka bisa dipertanggungjawabkan,” kata Tania Tungga Dewi, rekan mereka. Tiga pemuda ini ditetapkan sebagai tersangka pada Selasa (21/4/2020) atas dugaan vandalisme. Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Pol Asep Adi Saputra menyatakan Alfian dan Saka berinisiatif membeli cat semprot dan mencoret dinding, sementara Fitron mengawasi sekeliling.
“Ketiga tersangka ini memiliki motif, mereka tidak terima dan memprovokasi masyarakat untuk melawan kapitalis yang dirasakan merugikan masyarakat,” kata Asep di Mabes Polri, Rabu (22/4/2020). Polisi menyebut aksi mereka dilakukan pada 4 April 2020 sejak pukul 00.00 hingga 04.00 di enam titik, yaitu Jalan Sunandar Priyo Sudarmo, Jalan LA Sucipto, Jalan Tenaga, Jalan Ahmad Yani Utara sampai Jalan Jaksa Agung, Jalan Suprapto, dan di underpass Karanglo. Ketiganya lalu dijerat dengan pasal 14 dan pasal 15 UU Nomor 1 tahun 1946 dan pasal 160 KUHP tentang penghasutan.
Janggal
Koalisi masyarakat sipil yang terdiri YLBHI, LBH Surabaya, dan LBH Pos Malang menyebut ada sejumlah kejanggalan dalam penangkapan tiga pemuda ini. Pertama, jika dirunut, polisi hanya butuh sekitar satu hari untuk menangkap dan menetapkan tiga pemuda itu sebagai tersangka. Koalisi memandang hal itu bisa terjadi karena polisi tak mengindahkan proses hukum yang ada. Polisi semestinya memanggil ketiga pemuda itu untuk dimintai keterangan sekaligus memberi kesempatan untuk membantah.
Menurut mereka, ketiga pemuda itu sangat koperatif dan mau bekerja sama jika dipanggil. “Hal ini sangat bertentangan dengan asas keadilan karena mereka diperlakukan bak teroris dan berbahaya,” kata pengacara Publik LBH Surabaya Jauhar dalam pernyataan pers yang diterima reporter Tirto, Selasa (21/4/2020) lalu. “Tindakan penahanan ini tidak mencerminkan profesionalitas polisi sebagai penegak hukum,” tambahnya. Berdasarkan penuturan keluarga, tiga pemuda itu diciduk dan ditahan tanpa surat-surat lengkap. Koalisi menilai hal itu disebabkan polisi menangkap tiga pemuda itu hanya berdasarkan dugaan tanpa bukti yang jelas.
Direktur LBH Surabaya Lukman Hakim mengaku tidak mendapat salinan berita acara pemeriksaan terhadap ketiga tersangka setelah pemeriksaan pada Selasa (21/4/2020). Menurut Lukman, polisi berdalih perlu surat permohonan. Itu sudah dipenuhi pada Selasa sore, tapi salinannya tak kunjung didapat. Karena itu penyidik telah melanggar Pasal 72 KUHAP, kata Lukman, yang berbunyi “atas permintaan Tersangka atau Penasihat Hukumnya, pejabat yang bersangkutan memberikan turunan berita acara pemeriksaan untuk kepentingan pembelaan.”
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menyebut selain tiga pemuda tersebut, pihaknya juga menerima aduan kalau polisi mendatangi kediaman sejumlah orang yang diduga bagian dari anarko dan menanyai soal tindak tanduk mereka selama ini. “Ini perbuatan apa? Itu masalah sekali dalam hukum karena kalau kita menyasar orangnya dulu itu namanya kriminalisasi,” kata Asfin saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (23/4/2020).
Ia lantas mengatakan tak bisa seseorang ditangkap karena motif “melawan kapitalis.” “Kita tidak bisa menangkap orang yang mengusung kapitalisme, demikian juga kita tidak bisa menangkap orang yang melawan kapitalisme karena itu di level pemikiran,” Asfin menegaskan. Sementara tindakan mencorat-coret tembok, kata pakar hukum dari Universitas Al-Azhar Suparji Ahmad, belum bisa dikategorikan sebagai penghasutan. Harus ada unsur akibat. Artinya, polisi harus membuktikan lebih dulu bahwa pesan yang ditulis itu telah mendorong keonaran atau tindak pidana.
“Kalau ada kalimat yang bernada provokatif, menurut saya, bukan dilakukan pemidanaan apalagi kalau tulisan itu diabaikan saja [oleh masyarakat] dan tidak ada bukti masyarakat terpengaruh,” kata dia. Pendapat Suparji sejalan dengan Putusan MK Nomor 7/PUU-VII/2009 atas pengujian Pasal 160 KUHP tentang penghasutan. Hakim konstitusi menegaskan bahwa pasal tersebut harus ditafsirkan sebagai delik materiil, bukan delik formil. Artinya, seseorang baru bisa disebut menghasut jika apa yang dia lakukan memunculkan tindak pidana lain seperti kerusuhan.
Penulis: Mohammad Bernie
Sumber : tirto.id