Oleh : Suparji Achmad

Judul serpihan pikiran ini terinspirasi dari sinetron salah satu stasiun televisi swasta. Dunia terbalik dimaksudkan untuk merepesentasikan situasi kehidupan saat ini karena dampak pandemic covid19, yang telah membalikkan sendi-sendi kehidupan.

Pertama, kerja vs di rumah saja
Kerja.. kerja..kerja.. Jargon tersebut  sangat familiar di telinga rakyat Indonesia. Berbagai kritikan yang disudutkan pada pemerintahan ketika itu, selalu dijawab dengan jargon kerja.. kerja.. kerja.. Bahkan jargon tersebut menjadi bahan lelucon atau sindiran rakyat kepada Pemerintah, karena mau kerja tetapi lapangan kerja belum ada.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kerja memiliki arti kegiatan melakukan sesuatu yang dilakukan (diperbuat); sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah, mata pencaharian; perayaan yang berhubungan dengan perkawinan, khitanan, dan sebagainya.

Berjalannya waktu, Pemerintah diguncang wabah penyakit virus corona atau Covid-19 di awal Maret 2020, sehingga jargonnya “di rumah saja”. Pemerintah pun mengeluarkan berbagai kebijakan pencegahan Covid-19 yang per hari ini telah menewaskan 647 jiwa. Kebijakan pertama yang diambil Pemerintah yakni Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB mengumumkan status tanggap darurat Covid-19 diperpanjang hingga 29 Mei 2020 dari 29 Februari 2020.

Kebijakan selanjutnya Presiden Jokowi menetapkan wabah Covid-19 sebagai bencana nasional pada 13 April 2020, yang di ikuti dengan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa wilayah. DKI Jakarta menjadi wilayah pertama yang disetujui oleh Kementerian Kesehatan menerapkan PSBB pada 23 April 2020 hingga 22 Mei 2020.

Konsekuensi dari penerapan kebijakan-kebijakan di atas, sekolah dan tempat kerja diliburkan. Kantor/instansi strategis yang memberikan pelayanan terkait pertahanan dan keamanan, ketertiban umum, kebutuhan pangan, bahan bakar minyak dan gas, pelayanan kesehatan, perekonomian, keuangan, komunikasi, industri, ekspor dan impor, distribusi, logistik, dan kebutuhan dasar lainnya, tetap memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Konsekuensi lainnya masyarakat diwajibkan memakai masker ketika keluar rumah, tidak boleh berkumpul, jam operasional kendaraan umum dibatasi, kendaraan roda dua tidak boleh berboncengan, mall, tempat hiburan malam, objek wisata ditutup dan lainnya.

Pemerintah pun mengkampanyekan gerakan social distancing, psysical distancing dan lebih baik dirumah saja. Hal ini membuat aktivitas masyarakat terbatas yang diakibatkan juga dari kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah tersebut. Tentunya, kehidupan masyarakat juga terbatas seperti untuk mencari nafkah, beribadah, sekolah dan lainnya.

Kembali lagi pada jargon kerja.. kerja.. kerja.. Bila dikaitkan jargon tersebut dengan kondisi saat ini, bisa dibilang “dunia terbalik.” Mengapa demikian? Karena kerja itu merupakan suatu aktivitas melakukan perbuatan. Sementara sekarang ini, masyarakat bisa dibilang juga tidak bisa atau terbatas untuk melakukan aktivitas. 

Kedua, sepinya masjid di bulan ramadhan
Di saat bulan Ramadhan, masjid seharusnya ramai. Tetapi, sekarang berbalik, aktivitas beribadah umat Islam menjadi terbatas, seperti buka puasa bersama, ngabuburit, sahur bersama, sholat terawih, sholat Idul Firtri, bagi-baji tajil dan lainnya, dilarang oleh Pemerintah. Apabila di langgar, ancaman pidana pun menanti.

Tentunya Masjid-masjid yang biasanya ramai di bulan Ramadhan menjadi sepi. Ini pun juga menjadikan Ramadhan tahun ini paling hambar dan menjadi sejarah bagi umat Islam di Indonesia karena untuk pertama kalinya tidak ada aktivitas ibadah di Masjid. Mereka hanya bisa melaksanakan ibadah di rumah saja. Begitu juga untuk pemeluk agama lain, tidak diperbolehkan beribadah di tempat ibadahnya. 

Ketiga, dulu pemudik disambut, sekarang diisolir
Pemudik tiap tahun selalu disanjung, disambut dan diharapkan kepulangannya. Tetapi, gara-gara Covid-19, Pemerintah mengeluarkan kebijakan pelarangan mudik yang mulai diberlakukan pada Jumat (24/4/2020) sampai dengan 31 Mei 2020 untuk transportasi darat, 15 Juni untuk kereta api, 8 Juni untuk transportasi laut, dan tanggal 1 Juni untuk transportasi udara. Hal ini dapat diperpanjang dengan menyesuaikan dinamika pandemi COVID-19 di Indonesia.

Warga yang dilarang mudik ialah mereka yang berasal dari daerah yang menerapkan PSBB serta daerah zona merah Covid-19 lainnya. Larangan ini akan mengecualikan sejumlah kendaraan agar tetap melintas. Kendaraan yang diperbolehkan melintas hanya angkutan logistik atau sembako, kendaraan pengangkut obat-obatan dan kendaraan pengangkut petugas seperti pemadam kebakaran, ambulans dan mobil jenazah.

Larangan tersebut tentu menjadi aneh dan ironi bagi masyarakat, karena mudik lebaran sudah menjadi tradisi di Indonesia. Bahkan Indonesia menjadi satu-satu negara yang memiliki tradisi mudik. Lebih-lebih pemudik yang dahulunya sebelum adanya Covid-19, dieluh-eluh kan, disanjung, bahkan sampai ada yang disambut dengan pesta ketika sampai di kampung halaman.

Kini semuanya itu luntur karena pemudik yang mayoritas berasal dari kota-kota besar di Indonesia, yang juga menjadi daerah yang menerapkan PSBB dan zona merah Covid-19 seperti DKI Jakarta, seakan-akan membawa malapetaka di kampung halaman. Sehingga pemudik layak diusir secara tidak langsung atau pemudik harus melakukan isolasi secara mandiri selama 14 hari.

Pemudik di sanjung serta disambut di kampung halaman karena mereka dianggap sebagai pejuang atau orang yang berhasil mengadu nasib di kota besar. Walaupun tidak semua pemudik kembali ke kampung halaman dengan sukses secara materi. Tetapi persepsi orang-orang di daerah masih melekat bahwa orang yang merantau mengadu nasib ke kota besar, terutama ke Ibu Kota DKI Jakarta, maka ia akan sukses.

Lagi-lagi “dunia terbalik” menyikapi fenomena pemudik yang dahulunya disambut sekarang di usir akibat Covid-19. Padahal, pemudik ini bisa membuat perekonomian di daerah merata. Maksudnya, pemudik yang sukses merantau ke Ibu Kota bisa membangun kampung halamannya. Misalnya, membuka lapangan kerja baru di daerah. Sehingga masyarakat di daerah-daerah tidak perlu merantau ke kota-kota besar di Indonesia. Apabila hal itu terjadi, maka sama saja membantu Pemerintah menekan laju urbanisasi yang kiat sulit di kontrol.

Fenomena yang serba terbalik masih banyak lagi, jika mau diidentifikasi, misalnya soal jabat tangan, pembebasan napi, dan lain-lain.Semuanya itu terjadi karena dalam kondisi tidak normal akibat pandemi Covid-19. Saat ini yang diutamakan adalah keselamatan nyawa manusia diatas segalanya. Langkah yang dilakukan Pemerintah diharakan dapat segera mengatasi masalah ini secara professional dan progresif. Tentunya juga kita semua hanya bisa berharap dan berdoa kepada Allah Swt agar wabah Covid-19 ini berakhir.

Sumber
Facesia