Pencarian identitas bagi generasi muda adalah bagian dari pendewasaan. Mencari dukungan lingkungan terdekat, keluar dari zona nyaman, dan membuka diri untuk belajar hal baru bisa dilakukan demi melewati masa krisis.
Sejumlah kegelisahan anak muda tergambar dalam diskusi virtual berjudul ”Breakthrough the Standards: Facing the Greatest Struggle, Opposition, and Discouragement”, Sabtu (24/10/2020). Diskusi daring yang diadakan Universitas Al Azhar Indonesia ini, antara lain, mengisahkan cara anak muda mengatasi masa krisis identitasnya, antara lain mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan diri, kemudian menyikapinya.
Aktivis disabilitas Panji Surya Sahetapy bercerita bahwa ia melewati tahun-tahun yang berat sebagai penyandang tuli. Mengenyam pendidikan dan bersosialisasi tidak selalu mudah baginya. Sebab, tidak semua orang kenal bahasa isyarat. Stigma negatif terhadap orang tuli pun masih kental di masyarakat saat itu.
”Saya pernah belajar di sekolah umum, homeschool, dan sekolah luar biasa (SLB). Tekanan dan hambatan saya rasakan di sekolah umum. Saya berusaha menunjukkan bahwa saya bisa mendengar dengan membaca gerak bibir dan menggunakan bahasa lisan. Ada pula beberapa guru yang mencoba menyesuaikan diri dengan kondisi saya. Namun, saya tetap mengalami hambatan dan merasa tertinggal,” tutur Surya yang kini menempuh studi di Amerika Serikat.
Masa SMA adalah titik balik Surya. Ia yang selama ini merasa tersesat akhirnya memutuskan bergabung dengan komunitas tuli. Di sana, ia menemukan banyak perspektif baru dan figur-figur yang menjadi teladan.
Berada di komunitas membuat Surya merasa diterima dan menumbuhkan kepercayaan diri. Ia jadi berani bermimpi mengenyam pendidikan tinggi. Ia juga semakin sadar bahwa edukasi masyarakat tentang orang tuli dan bahasa isyarat masih perlu diperkuat.
”Orang tuli hanya punya cara berkomunikasi yang beda dengan orang dengar. Yang melihat ketulian sebagai masalah itu hanya perkara pola pikir,” ujarnya.
Menurut dia, stigma bahwa orang tuli tidak bisa berbuat apa-apa adalah salah. Orang tuli bisa beraktivitas layaknya orang dengar melalui bahasa isyarat. Orang yang merundung orang tuli, kata Surya, hanya perlu dirangkul dan diedukasi.
Orang tuli hanya punya cara berkomunikasi yang beda dengan orang dengar. Yang melihat ketulian sebagai masalah itu hanya perkara pola pikir.
Dukungan moral
Perlu waktu cukup lama bagi Surya untuk menerima diri, berikut kekurangan dan kelebihannya. Dalam proses itu, Surya mendapat dukungan moral dari keluarga, teman, dan komunitas.
Dukungan penting agar individu merasa diterima. Penerimaan membuat orang tak lagi malu akan dirinya sehingga bisa berkembang sesuai potensi masing-masing. Anak muda yang menghadapi kesulitan didorong untuk terbuka kepada orang terdekat, kemudian mencari solusi dengan diskusi.
”Saat ada satu pintu tertutup, percayalah ada 1.000 pintu lain yang terbuka. Jika dilihat ke belakang, hidup terasa berat. Tetapi, itulah proses (menjadi dewasa),” kata Surya.
Putri Indonesia Intelegensia 2020 Desiree Magdalena Roring mengatakan, mengikuti ajang kecantikan nasional jadi salah satu tantangan terbesar yang ia alami. Ujaran kebencian warganet dijadikan motivasi. Kerja keras pun dilakukan agar layak menyandang gelar ratu sejagat.
”Kandidat-kandidat lain punya keunikan dan bertalenta. Kemudian, aku meyakini bahwa aku pun punya keunikan. Kita kembali lagi ke diri sendiri. Apakah mau melihat kekurangan kita saja atau kelebihan?” ujar Desiree.
Di sisi lain, kepercayaan diri merupakan hasil latihan bertahun-tahun. Ini bisa dilatih melalui hal-hal kecil yang diulang terus-menerus. ”Sebagai contoh, aku akan bertanding basket dengan percaya diri jika terus berlatih dengan teman-teman. Latihan akan membuat kita terbiasa sehingga kepercayaan diri tumbuh,” ucapnya.
Direktur Jenderal UNESCO Audrey Azoulay dalam pesan tertulis di Hari Pemuda Internasional, 12 Agustus 2020, menyampaikan, inklusivitas dibutuhkan agar generasi muda bisa belajar dan tumbuh. Ini penting karena masa muda adalah fase penentuan pengembangan diri.
”Ini juga masa yang rentan karena pengalaman negatif bisa mengarah ke penarikan diri, isolasi, dan marginalisasi,” kata Azoulay. ”Penting untuk menjamin kebebasan berekspresi dan martabat tiap orang terlepas dari jender, budaya, bahasa, dan agamanya.”
Sumber
KOMPAS