Oleh : Suparji Achmad

Policy (kebjakan) mengatasi pandemic covid-19 terus berevolusi. Pemerintah belum memiliki kebijakan yang paling tepat untuk mengatasi virus yang sudah menewaskan 689 jiwa ini per 24 April 2020. Hal itu bisa dimaklumi karena Covid-19 ini merupakan virus baru. Sebagai langkah awal pemerintah memerangi Covid-19, Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengeluarkan tiga peraturan sekaligus pada 31 Maret 2020.

Pertama, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam rangka Percepatan Penanganan Covid-19. Kedua, Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Ketiga, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19.

Tindak lanjut dari ketiga peraturan tersebut, terutama PP Nomor 21 Tahun 2020, Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB dalam rangka Percepatan Penanganan Covid-19 pada 3 April 2020. Dari situ dapat dapat dilihat bahwa Presiden Jokowi lebih memilih PSBB dibandingkan Karantina Wilayah atau Lockdown. Mengutip Pasal 1 ayat 11 Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, PSBB adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.

Kebijakan ini paling sedikit meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan dan pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum. Sementara mengutip Pasal 1 ayat 10 UU Karantina Kesehatan, karantina wilayah  adalah pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.

Karantina wilayah dilaksanakan kepada seluruh anggota masyarakat di suatu wilayah apabila hasil laboratorium sudah terjadi penyebaran penyakit antar anggota masyarakat wilayah tersebut. Lalu wilayah yang di karantina diberi garis karantina dan dijaga terus menerus pejabat karantina wilayah dan Kepolisian Republik Indonesia yang berada di luar wilayah karantina. Selain itu, anggota masyarakat yang di karantina tidak boleh keluar masuk wilayah karantina.

Mengutip Pasal 55 UU Karantina Kesehatan, ada sejumlah ketentuan lain dalam karantina wilayah. Antara lain Pasal 1 UU tersebut mengatur selama dalam karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah. Lalu Pasal 2 mengatur Tanggung jawab pemerintah pusat dalam penyelenggaraan Karantina Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melibatkan Pemerintah Daerah dan pihak terkait.

PSBB menjadi pilihan dibandingkan Karantina Wilayah. Pada intinya, alasan utamanya lebih kepada faktor ekonomi, dimana pemerintah tidak sanggup menanggung kebutuhan masyarakat apabila menerapkan Karantina Wilayah. Sementara, PSBB hal itu ditanggung oleh pemerintah daerah. Alasan lainnya, tidak ada jaminan Karantina Wilayah dapat menyelesaikan masalah Covid-19. Namun kebijakan PSBB ini berbanding terbalik dengan kebijakan pelarangan mudik yang diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik Idul Fitri Tahun 1441 Hijriah dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19.

Pelarangan mudik tersebut mulai diberlakukan mulai 24 April 2020 sampai dengan 31 Mei 2020 untuk transportasi darat, 15 Juni untuk kereta api, 8 Juni untuk transportasi laut, dan tanggal 1 Juni untuk transportasi udara. Hal ini dapat diperpanjang dengan menyesuaikan dinamika pandemi COVID-19 di Indonesia. Warga yang dilarang mudik ialah mereka yang berasal dari daerah yang menerapkan PSBB serta daerah zona merah Covid-19 lainnya. Larangan ini akan mengecualikan sejumlah kendaraan agar tetap melintas. Kendaraan yang diperbolehkan melintas hanya angkutan logistik atau sembako, kendaraan pengangkut obat-obatan dan kendaraan pengangkut petugas seperti pemadam kebakaran, ambulans dan mobil jenazah.

Mengapa pelarangan mudik tersebut berbanding terbalik dengan kebijakan PSBB? Sebagai contoh PSBB di DKI Jakarta dan sekitarnya, dimana akibat adanya larangan mudik ini maka terjadi penutupan akses keluar masuk ke wilayah Jabodetabek. Artinya, penutupan akses ini bisa dikatakan sebagai penerapan Karantina Wilayah setengah hati. Padahal seperti diterangkan di atas, Presiden Jokowi atau pemerintah hanya menerapkan PSBB. Penutupan akses tersebut seharusnya lebih cocok jika pemerintah menetapkan Karantina Wilayah. Pemilihan opsi ini pun di atur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan.

Implementasi PSBB juga tidak efektif. Sebagai contoh di DKI Jakarta. Masyarakat masih bebas berkeliaran dan berkumpul di jalan-jalan tanpa menggunakan masker. Artinya, kampanye pemerintah untuk social distancing, psysical distancing maupun lebih baik dirumah saja, tidak berhasil. Hal ini juga dikarenakan, bantuan sosial dari pemerintah daerah tidak cepat dan tepat sampai kepada masyarakat. Pada akhirnya, masyarakat harus tetap keluar rumah untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.

Seharusnya pemerintah bisa mencontoh negara-negara lain yang sukses menerapkan Karantina wilayah. Laos adalah salah satu contoh negara yang sukses menerapkan Karantina wilayah. Kasus pertama penularan Covid-19 di negara tersebut terjadi pada 24 Maret 2020. Pada 30 Maret 2020, pemerintah langsung menerapkan Karantina wilayah total hingga pertengahan April 2020. Kebijakan itu diperpanjang hingga 3 Mei 2020. Hasilnya, hanya ada 19 kasus di negara yang berbatasan dengan Thailand, Kamboja, Vietnam, Tiongkok, dan Myanmar tersebut

Kebijakan yang dipilih pemerintah ini harus di evaluasi sebelum terlambat dan memakan korban jiwa lebih banyak. Apalagi masa tanggap darurat Covid-19 yang ditetapkan pemerintah hingga 29 Mei 2020. Kebijakan harus komprehensif, solutif dan mengadvokasi masyarakat serta minim resiko. 

Sumber
Facesia