jpnn.com, YOGYAKARTA – Pakar hukum pidana dari Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) Suparji Ahmad menilai munculnya desakan pemecatan terhadap Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil masih prematur secara hukum.
Suparji mengungkap hal ini untuk menanggapi surat terbuka Zealous Siput Lokasari yang meminta Presiden Jokowi memecat Sofyan. Zealous meminta Jokowi memecat Sofyan yang dianggap telah melakukan tindakan rasialisme kepada salah satu etnis tertentu.
Zealous mengatakan kasus tersebut bermula pada 2016 lalu. Ada beberapa warga Daerah Istimewa Yogyakarta tidak bisa melakukan proses balik nama tanah hak milik di Kantor BPN wilayah DIY.
Karena petugas BPN DIY masih mengacu kepada Instruksi Wakil Kepala Daerah DIY Nomor K.898/1/A/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak Atas Tanah kepada WNI Non Pribumi. Instruksi itu dikeluarkan pada 1975 silam oleh Wakil Kepala Daerah DIY Sri Paku Alam VIII.
Instruksi itu mengatur, apabila WNI non-pribumi membeli tanah masyarakat maka hendaknya hak milik dilepas dan diberikan kepada negara. Namun, masih mendapatkan Hak Guna Bangunan (HGB).
Kemudian mereka melaporkannya kepada Ombudsman pada tahun 2016. Setelah diperiksa, Ombudsman pun mengeluarkan rekomendasi, bahwa mereka telah melakukan maladministrasi diskriminasi.
Sofyan lantas mengeluarkan surat Menteri ATR Nomor HR.01/1874/XII/2020 tentang Monitoring Pelaksanaan Rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Dalam surat tersebut, ia menyatakan belum bisa melaksanakan rekomendasi Ombudsman. Nah, menurut Suparji, Sofyan sudah menjalankan tugas dan kewenangan berdasarkan ketentuan yang berlaku. “Instruksi wakil kepala daerah tahun 1975 belum dicabut, berarti masih memiliki kekuatan hukum dan berlaku sebagai hukum positif di DIY,” kata Suparji.
Dia menambahkan, secara historis dan faktual, Yogyakarta merupakan daerah istimewa. Provinsi ini memiliki keistimewaan-keistimewaan tertentu, antara masalah kepala daerah dan pertanahan. “Keistimewaan tersebut harus dihormati dan dihargai karena memiliki landasan yuridis,” katanya. Suparji menambahkan bahwa desakan pemecatan mundur dalam hukum ketatanegaraan tidak memiliki legitimasi sosiologis dan yuridis. “Dalam konstitusi dan UU kementerian negara, tidak ada mekanisme tentang desakan mundur menteri. Sebab pengangkatan dan penghentian menteri hak prerogatif presiden,” katanya. (reqnews/jpnn)
Sumber