Jakarta, Gatra.com – Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Al Azhar Indonesia, Prof. Agus Surono, berpendapat bahwa suatu sengketa tanah melibatkan mafia harus dapat diungkap atau dibuktikan dengan adanya dokumen palsu.
Agus kepada wartawan akhir pekan ini di Jakarta, menyampaikan demikian, karena mafia tanah biasanya dalam aksinya melibatkan atau bekerja sama dengan oknum dari lembaga yang mempunyai kewenangan menerbitkan dokumen hak alas tanah.

Menurutnya, mafia tanah dapat dikualifikasi sebagai suatu kejahatan klasik yang terorganisir. “Biasanya dilakukan secara rapi sehingga sulit untuk diungkap,” ujarnya.
Agus mengungkapkan bahwa tidak semua masalah pertanahan bisa dikategorikan sebagai kasus yang melibatkan mafia tanah. “Bisa saja itu hanya sengketa biasa,” ujarnya.
Ia mengapresiasi upaya Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo dalam memberantas mafia tanah, yakni dengan memasukkannya ke dalam program Polri Presisi atau pemolisian prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan.

Terkait itu, Agus menyampaikan bahwa pengungkapan kasus mafia tanah di Pondok Indah, Kemang, dan Cilandak baru-baru ini merupakan tindakan penegakan hukum yang dapat dibenarkan, sehingga siapapun yang terlibat harus dapat dimintai pertanggungjawaban hukum.
Menurutnya, jika dalam pekara itu diduga terdapat aktor intelektual maka Polri bisa menjadikan Pasal 55 KUHP sebagai landasan hukum untuk menyeretnya ke ranah hukum.
“Sebagaimana Pasal 55 KUHP, Polri punya landasan hukum untuk menindak secara tegas semua yang terlibat tindak pidana mafia tanah ini,” ujarnya.

Agus juga menjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan suatu perkara sengketa tanah bisa masuk dalam lingkup perdata atau administrasi negara, di antaranya awamnya akan pemahaman hukum, khususnya pertanahanan dari para pihak yang melakukan transaksi jual-beli lahan.
Kemudian, lanjut Agus, sistem sertifikasi tanah yang ada di Indonesia hanya bersifat formalitas. Selanjutnya, sistem peradilan sengketa tanah yang menghabiskan biaya dan waktu yang cukup banyak.
Agus menyebutkan, Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan biasanya dipakai untuk menyelesaikan perselisihan pertanahan antara perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas.
“Tentu dalam proses penegakan hukumnya harus mengedepankan prinsip presumption of innocence [asas praduga tidak bersalah], mengingat Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana ketentuan Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945,” ujarnya.

Sedangkan soal sengketa tanah sangat berbeda dengan tindak pidana yang dilakukan oleh mafia tanah, Agus menyampaikan, maka masalah hak atas tanah yang merupakan ranah hukum perdata, harus memberikan perlindungan hukum kepada pembeli yang beritikad baik, ataupun pihak-pihak yang telah membebaskan tanah sesuai prosedur yang berlaku dalam rangka pengadaan tanah, baik oleh pihak pemerintah maupun swasta.
Agus juga mengingatkan, apabila terdapat sengketa hak atas tanah, yang telah diselesaikan melalui mekanisme di pengadilan, maka pihak yang memenangkan perkara tersebut tidak dapat dicap sebagai mafia tanah.
“Peran aparat hukum perlu untuk menjaga iklim investasi di Indonesia berkaitan dengan maraknya isu, narasi mengenai mafia tanah yang digunakan oleh pihak tertentu dengan tujuan terselubung dalam kasus sengketa pertanahan,” ujarnya.

Sumber

Gatra