JAKARTA, REQnews – Nama Djoko Sugiarto Tjandra kembali menghiasi pemberitaan di sejumlah media. Pasalnya, setelah buron selama 11 tahun, terdakwa kasus pengalihan hak tagih Bank Bali ini tiba-tiba muncul di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mendaftarkan peninjauan kembali (PK).
Bahkan Jaksa Agung ST Burhanuddin mengaku sakit hati mendengar informasi keberadaan Djoko Tjandra yang ternyata sudah ada di Indonesia sejak tiga bulan lalu. Berkaca dari kasus tersebut, pakar hukum pidana Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad pun bertanya-tanya ada apa dengan penegakan hukum di Tanah Air.
“Yang patut dipertanyakan adalah, mengapa bisa terjadi seperti itu (Djoko Tjandra bebas berkeliaran di Indonesia),” kata Suparji di Jakarta, Kamis 2 Juli 2020.
Ia pun menduga ada kemungkinan kesalahan proses hukum di Kejaksaan Agung dan instansi terkait pencekalan Djoko Tjandra. Termasuk upaya hukum Kejagung yang mengajukan Peninjauan Kembali (PK) terkait kasus tersebut.
“Djoko Tjandra kan divonis bebas, tetapi jaksa penuntut umum ajukan PK. Padahal dalam Undang-undang, mereka tidak punya hak PK,” ujarnya lagi.
Suparji pun mendesak Jaksa Agung melakukan pemeriksaan internal terhadap para JPU yang mengajukan PK tersebut, termasuk Jaksa Agung Muda Intelijen karena pengajuan status buron Djoko Tjandra. “Perlu ada pemeriksaan kepada mereka, supaya terang benderang masalahnya,” kata dia.
Ia pun juga meminta Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly memeriksa Dirjen Imigrasi Jhony Ginting. Suparji beralasan pemeriksaan itu dilakukan karena otorita cekal merupakan wewenang dari Imigrasi.
Sementara Yasonna pun bertanya-tanya soal kabar Djoko Tjandra 3 bulan berada di Indonesia. “Dari mana data bahwa dia 3 bulan di sini, tidak ada datanya kok,” kata Menkumham Yasonna Laoly dalam keterangan yang diterima, Selasa 30 Juni lalu.
“Di sistem kami tidak ada, saya tidak tahu bagaimana caranya. Sampai sekarang tidak ada. Kemenkum HAM tidak tahu sama sekali (Djoko Tjandra) di mana. Makanya kemarin kan ada dibilang ditangkap, kita heran juga. Jadi kami sudah cek sistem kami semuanya, tidak ada,” kata dia lagi.
Menkum HAM pun meminta Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi menyampaikan data-data kronologi status DPO Joko Soegiarto Tjandra yang dimiliki.
Kronologi status DPO Djoko Soegiarto Tjandra:
1. Permintaan pencegahan atas nama Joko Soegiarto Tjandra oleh KPK pada 24 April 2008. Pencegahan ini berlaku selama 6 bulan.
2. Red notice dari Interpol atas nama Joko Soegiarto Tjandra pada 10 Juli 2009.
3. Pada 29 Maret 2012 terdapat permintaan pencegahan ke luar negeri dari Kejaksaan Agung RI berlaku selama 6 bulan.
4. Permintaan DPO dari Sektetaris NCB Interpol Indonesia terhadap Joko Soegiarto Tjandra alias Joe Chan (WN Papua Nugini) pada 12 Februari 2015. Ditjen Imigrasi menerbitkan surat perihal DPO kepada seluruh kantor Imigrasi ditembuskan kepada Sekretaris NCB Interpol dan Kementerian Luar Negeri.
5. Pada 5 Mei 2020, ada pemberitahuan dari Sekretaris NCB Interpol bahwa dari red notice atas nama Joko Soegiarto Tjandra telah terhapus dari sistem basis data terhitung sejak tahun 2014 karena tidak ada permintaan lagi dari Kejaksaan Agung RI. Ditjen Imigrasi menindaklanjuti dengan menghapus nama Joko Soegiarto Tjandra dari Sistem Perlintasan pada 13 Mei 2020.
6. Pada 27 Juni 2020, terdapat permintaan DPO dari Kejaksaan Agung RI. Sehingga nama yang bersangkutan dimasukkan dalam sistem perlintasan dengan status DPO.
Sumber
REQnews