Pembentuk UU perlu mencermati semua ketentuan UU ITE yang memang perlu direvisi. Terpenting, revisi UU ITE tak boleh kontradiktif dengan hak kebebasan berekspresi masyarakat melalui ruang digital.
Berdasarkan hasil Tim Kajian, pemerintah bakal melakukan revisi terbatas pada UU No.19 tahun 2016 tentang Perubahan UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ada sebanyak empat pasal yang dipastikan bakal dilakukan revisi secara terbatas. Tapi, perlu dilihat pula sejumlah pasal lain yang masih berpotensi menimbulkan ketidakjelasan atau multitafsir dalam penerapannya, sehingga revisi UU ITE ini mesti dilakukan secara komprehensif.
Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Suparji Ahmad menilai revisi UU 19/2016 menjadi keharusan di tengah banyaknya kriminalisasi terhadap masyarakat yang mengkritik. Kepastian merevisi sebagai usul inisiatif pemerintah perlu didukung yang diharapkan dapat mengatasi masalah dan mencegah over kriminalisasi, multitafsir, serta ketidakjelasan dalam UU ITE yang berlaku saat ini.
Untuk itu, Suparji berharap pembentuk UU agar tak hanya fokus pada empat pasal yang bakal direvisi, seperti Pasal 27, 28, 29, dan Pasal 45C UU ITE. Sebab, dia melihat masih terdapat banyak frasa, kata dalam pasal-pasal UU ITE yang cenderung berpotensi menimbukan multitafsir dan ketidakjelasan dalam penerapannya.
“Misalnya yang pertama tafsir tentang frasa ‘tanpa hak’. Implementasi frasa tersebut belum ada kepastian hukum. Ketika ‘tanpa hak’ sebagai perbuatan melawan hukum, tafsir melawan hukum formil atau materil? Ini perlu ada kejelasan,” ujarnya melalui keterangan tertulisnya kepada Hukumonline, Rabu (9/6/2021). (Baca Juga: Hasil Tim Kajian: Pemerintah Bakal Revisi 4 Pasal dalam UU ITE)
Dia menilai dalam revisi perlu pula memperjelas tafsir tentang “membuat dapat diaksesnya informasi eletronik dan/atau dokumen eletronik” dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Menurutnya, rumusan norma dalam Pasal 27 ayat (3) masih terbilang amat luas dan bias. Itu sebab menjadi keharusan memperjelas tafsir frasa tersebut.
Demikian pula tafsir kata “menimbulkan” yang dalam rumusan pasal semestinya dipertegas sebagai delik formil atau materil, serta bagaimana konstruksinya. Selanjutnya berkaitan dengan alat bukti eletronik pun masih terjadi multitafsir implementasinya. Ketentuan Pasal 6 pun kerap terjadi perbedaan penafsiran. Misalnya, terkait rumusan “dapat diakses”, “ditampilkan”.
“Ini menjadi penting karena berpengaruh pada teknis pembuktian saat penyidikan dan persidangan,” ujarnya.
Untuk itu, dia menyarankan dalam rangka menghasilkan UU ITE yang komprehensif, pembentuk UU perlu mencermati semua ketentuan yang memang perlu direvisi sesuai landasan filosofis, sosiologis dan yuridis. Terpenting, revisi UU ITE tidak boleh kontradiktif atau menghalangi/membatasi hak kebebasan berekspresi masyarakat melalui ruang digital.
“Revisi ini juga perlu melibatkan akademisi baik ahli pidana maupun ahli bahasa agar menghindari frasa yang multitafsir dan tidak disalahgunakan. DPR segera menyambut usulan pemerintah ini agar segera melakukan pembahasan secara bersama-sama,” ujarnya.
Memperbaharui seluruh materi
Terpisah, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar menilai kebutuhan revisi UU ITE menjadi momentum memperbaharui seluruh materi UU ITE dengan beberapa alasan. Pertama, perbaikan sejumlah ketentuan pidana, khususnya Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE yang sebenarnya masuk kualifikasi cyber-enabled crime atau kejahatan konvensional yang diekstensifikasi menggunakan komputer.
Tapi, perumusannya dipersamakan dengan cyber-dependent crime atau kejahatan yang muncul karena adanya teknologi komputer. Padahal, proses pembuktian keduanya setiap unsurnya berbeda-beda. Karena itu, perumusannya jenis pasal ini semestinya dibedakan. Terbukti, dalam penerapan UU ITE ini kerap muncul persoalan terutama pasal-pasal cyber-enabled crime. “Untuk ketentuan pidana cyber-dependent crime (Pasal 30-Pasal 35) relatif tidak ada permasalahan,” kata dia.
Kedua, pengaturan kembali tata kelola konten internet. Sebab, selama ini lebih menekankan pada aspek pembatasan sebagaimana diatur Pasal 40 ayat (2) UU ITE. Perumusan Pasal 40 ayat (2) huruf b UU ITE memberi wewenang bagi pemerintah untuk melakukan pembatasan terhadap konten internet yang melanggar peraturan perundang-undangan (illegal content).
Sayangnya, dalam pengaturan pasal tersebut belum secara jelas menyebutkan jenis-jenis konten yang melanggar undang-undang seperti apa dan jenis bahaya (harmfull) apa yang mengancam? Selain itu, UU ITE belum mengatur prosedur dalam melakukan pembatasan. Termasuk peluang untuk melakukan pengujian terhadap tindakan pembatasan tersebut (judicial oversight).
Mengacu pada prinsip dan instrumen HAM, setiap tindakan pembatasan terhadap hak termasuk di dalamnya hak atas informasi harus memenuhi tiga hal. Pertama, diatur oleh hukum (prescribed by law). Kedua, untuk tujuan yang sah (legitimate aim). Ketiga, tindakan itu betul-betul mendesak diperlukan (necessity). “Prinsip-prinsip pembatasan inilah yang semestinya dirumuskan secara baik dan ketat dalam UU ITE guna menghindari praktik pembatasan konten (blocking and filtering) yang sewenang-wenang oleh pemerintah,” paparnya.
Ketiga, terkait tanggung jawab platform, UU ITE juga belum memadai menjadi rujukan dalam pengaturan platform digital dengan berbagai model bisnisnya. Seperti aggregation platforms, social platform, hingga mobilization platforms. Menurut Wahyudi, kondisi ini sering memunculkan perdebatan sektoralisme pengaturan yang berujung pada kerugian pengguna untuk dapat menikmati secara penuh hak atas informasi.
“Untuk itu, semestinya proses amandemen UU ITE dapat mengakomodasi prinsip-prinsip penting mengenai platform digital itu,” sarannya.
Wahyudi melanjutkan perlu memastikan aturan yang dirumuskan tidak kaku, sehingga mampu memberikan ruang untuk setiap invensi dan inovasi teknologi, serta dapat secara baik memfasilitasi pengembangan setiap kreasi dan inovasi berbasis digital. Selain itu, pengaturan platform digital, prinsip netralitas jaringan (net-neutrality) juga harus menjadi elemen penting yang diperhatikan.
Berdasarkan sejumlah catatan ini, revisi UU ITE tak dapat semata-mata dilakukan secara terbatas, tapi dalam rencana revisi secara menyeluruh (total). Belum lagi, dalam beberapa tahun belakang, terdapat proses legislasi yang bersinggungan dengan UU ITE. Seperti pembahasan RUU Pelindungan Data Pribadi, RUU Keamanan Siber, amandemen terhadap UU Penyiaran dan UU Telekomunikasi.
Menurutnya, perlu memastikan pengaturan yang harmonis dan minim risiko bagi pemangku kepentingan, dengan terlebih dahulu pemerintah dan DPR merumuskan arah dan model politik hukum pengaturan teknologi informasi dan komunikasi ke depan. Seperti apakah tetap dengan model penyatuatapan melalui UU ITE yang berlaku yang mengatur berbagai materi. Mulai sistem elektronik, transaksi elektronik, hingga kejahatan elektronik.
“Prinsipnya, dalam merespon cepatnya inovasi teknologi, hukum perlu bersifat supel, yang berarti mampu mengantisipasi setiap perubahan di masa depan,” katanya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) M. Mahfud MD menyebutkan pemerintah bakal melakukan revisi terbatas pada UU 19/2016 untuk menghilangkan multitafsir dalam penerapannya. ”Itu semua untuk menghilangkan multitafsir, menghilangkan pasal karet dan menghilangkan kriminalisasi,” ujarnya dalam konferensi pers secara daring, di Kemenkopolhukam Jakarta, Selasa (8/6/2021) kemarin.
Mahfud mengatakan Tim Kajian UU ITE telah selesai mengerjakan tugasnya, yang antara lain memutuskan untuk merevisi terbatas UU ITE tersebut. Ada empat pasal yang bakal direvisi yakni Pasal 27, 28, 29, dan Pasal 45C UU ITE. Khusus, Pasal 45C UU ITE mengenai kabar bohong yang menimbulkan keonaran di masyarakat yang diancam pidana 10 tahun penjara. Menurut Mahfud, revisi terhadap pasal-pasal tersebut sebagaimana masukan dari masyarakat. Namun, kata dia, revisi tersebut tak serta-merta mencabut secara keseluruhan UU ITE.
“Kita perbaiki tanpa mencabut UU itu, karena UU itu masih bisa diperlukan untuk mengatur lalu lintas komunikasi kita (di dunia maya, red),” kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini.
Mahfud juga mengungkapkan keputusan revisi itu diambil setelah mendapatkan persetujuan dari Presiden Joko Widodo. “Tadi kami melaporkan kepada Presiden dan sudah disetujui untuk dilanjutkan (revisi),” katanya.
Dia melanjutkan Kemenkumham akan menyusun draf revisi UU ITE itu dan hasilnya akan segera disampaikan ke DPR. Tak hanya itu, Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga kementerian/lembaga yakni Polri, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), dan Kejaksaan Agung tentang Pedoman Penafsiiran UU ITE segera diluncurkan. Pedoman Penafsiran UU ITE ini akan digunakan sambil revisi UU ITE dibawa ke proses legislasi.
“Prinsipnya Presiden minta segera diluncurkan. Kami jadwalkan dalam minggu ini (diteken, red), paling lambat minggu depan. Semua sudah selesai, tinggal diluncurkan, kami sedang mencari waktu.”
Sumber