JAKARTA – Konflik di tubuh Partai Demokrat mengakibatkan munculnya dualisme kepengurusan, yakni kubu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan kubu Moeldoko yang terpilih melalui Kongres Luar Biasa (KLB) di Deli Serdang, Sumatera Utara. Kedua kubu saling ‘adu strataegi’ untuk mempengaruhi opini publik.

“Mulai saat ini, Partai Demokrat resmi terbelah. Demokrat versi KLB punya ketum baru yang berbeda dari AHY, ke depan bakal ramai,” kata analis politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Adi Prayitno saat dihubungi, Selasa (9/3/2021).
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia ini, mengatakan ke depan pertarungan opini bergeser ke upaya hukum yang ditempuh untuk menegaskan siapa yang paling sah.

Namun, menurut Adi, yang paling menarik perhatian publik adalah statement Moeldoko setelah didapuk sebagai Ketum Demokrat versi KLB. Mantan Panglima TNI itu, berjanji akan mengembalikan kejayaan partai, sementara dia sendiri bukan berasal partai tersebut atau dengan kata bukan orang lama maupun orang baru.

“Satu-satunya yang menarik dari KLB ini adalah sosok Moeldoko yang posisinya sebagai Kepala Staf Presiden (KSP),” ujarnya.

Sementara itu, analis politik asal Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin menganggap, terpilihnya Moeldoko sebagai Ketum versi KLB sudah diprediksi sejak semula. Maka tak heran banyak elit PD yang menuding Moeldoko adalah aktor utama di balik isu kudeta partai berlambang bintang mercy tersebut.

“Sudah saya duga. Karena skenario kudetanya seperti itu. Kudeta terang-terangan melalui KLB yang abal-abal atau odong-odong,” ujarnya dihubungi terpisah.

Lebih lanjut ia menilai, munculnya konflik PD yang berujung dualisme kepengurusan menambah daftar panjang buruknya pembinaan terhadap partai politik serta menandakan demokrasi sedang ada dalam kemunduran.

“Dimana ada orang bukan kader, melakukan kudeta dengan cara melakukan KLB,” kata Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) itu menandaskan.

Sumber

Okezone