Oleh : Suparji Achmad

SERPIHAN pikiran kali ini, berusaha merespon keprihatinan masalah tunjangan hari raya (THR) pada masa pandemic Covid-19. Virus yang terjadi di Indonesia sejak kasus pasien pertama positif diumumkan Presiden Jokowi pada awal Maret lalu, kehidupan masyarakat berubah. Dari yang serba berkecukupan menjadi serba keterbatasan. Berbagai permasalahan pun bermunculan. Salah satunya yang sedang ramai diperbincangkan saat ini dan sangat di nanti-nanti masyarakat khususnya para pekerja adalah THR. Namun para pengusaha sudah menyampaikan kepada pemerintah belum lama ini melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), mereka tidak mampu memenuhi hak para pekerjanya itu akibat pandemi berkepanjangan ini.

Untuk mengatasi masalah tersebut, Pemerintah sudah memutuskan untuk melonggarkan pembayaran iuran Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) atau BPJS Ketenagakerjaan untuk membantu perusahaan dari wabah pandemi Covid-19. Kelonggaran tersebut diberikan dengan memotong iuran Jamsostek sebesar 90% dari kondisi normal selama 3 bulan. Bahkan, bukan tidak mungkin pemerintah bisa memperpanjang pemotongan selama 3 bulan berikutnya. Tidak hanya itu, Pemerintah pun sudah menerbitkan Surat Edaran No.M/6/HI.00.01/V/2020 tentang Pelaksanaan Pemberian THR Keagamaan Tahun 2020 di Perusahaan dalam Masa Pandemi Covid-19.

Surat Edaran yang diteken Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah pada 6 Mei 2020 ini ditujukan untuk seluruh gubernur yang memuat empat poin. Pertama, memastikan perusahaan agar membayar THR kepada buruh sesuai peraturan perundang-undangan. Kedua, untuk perusahaan yang tidak mampu membayar THR pada waktu yang ditentukan sesuai peraturan perundang-undangan, solusinya harus diperoleh melalui proses dialog antara pengusaha dan buruh. Ketiga, perusahaaan diimbau untuk melaporkan kesepakatan pengusaha dan buruh mengenai pembayaran THR itu kepada dinas ketenagakerjaan. Keempat, kesepakatan mengenai waktu dan cara pembayaran THR keagamaan dan denda tidak menghilangkan kewajiban pengusaha untuk membayar THR kepada buruh dengan besaran sesuai peraturan dan dibayarkan pada tahun 2020.

Sebenarnya tidak ada alasan bagi pengusaha tidak memberikan THR kepada pekerjanya. Hal itu diatur dalam Pasal 2 ayat 1 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 6 Tahun 2016 tentang THR Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan yang berbunyi “Pengusaha wajib memberikan THR Keagamaan kepada Pekerja/Buruh yang telah mempunyai masa kerja satu bulan secara terus menerus atau lebih.”

Dalam Pasal 8 Permenaker Nomor 20 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian Sanksi Administratif Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, juga diatur THR bagi pekerja harus dibayarkan paling lambat 7 hari sebelum hari raya keagamaan.

Kesepakatan ini juga mengatur tata cara denda keterlambatan pembayaran sesuai dengan Pasal 10 Permenker Nomor 6 Tahun 2016 yang berbunyi “(1) Pengusaha yang terlambat membayar THR Keagamaan kepada Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) dikenai denda sebesar 5% (lima persen) dari total THR Keagamaan yang harus dibayar sejak berakhirnya batas waktu kewajiban Pengusaha untuk membayar. (2) Pengenaan denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan kewajiban Pengusaha untuk tetap membayar THRKeagamaan kepada Pekerja/Buruh. (3) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola dan dipergunakan untuk kesejahteraan Pekerja/Buruh yang diatur dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.”

Sanksi lainnya juga diatur dalam Pasal 9 Permenaker Nomor 20 Tahun 2016 bahwa Pengusaha yang tidak membayar THR Keagamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dikenai sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis b. pembatasan kegiatan usaha. Pada Pasal 10, teguran tertulis yang diatur dalam Pasal 9 dikenakan kepada pengusaha untuk satu kali dalam jangka waktu paling lama 3 hari kalender terhitung sejak teguran tertulis diterima. Sementara itu Pasal 11 ayat (1) menyebutkan, pengusaha yang tidak melaksanakan kewajiban sampai dengan berakhirnya jangka waktu sesuai dalam Pasal 10, dapat direkomendasikan untuk dikenakan sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan usaha.

Dalam Pasal 11 ayat (2) tertulis, rekomendasi didasarkan pada pertimbangan mengenai sebab-sebab tidak dilaksanakannya teguran tertulis oleh pengusaha, dan kondisi finansial perusahaan berdasarkan laporan keuangan perusahaan dua tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik. Pada Pasal 11 ayat (3) tertulis, pengenaan sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan usaha berlaku sampai dengan dipenuhinya kewajiban pengusaha membayar THR Keagamaan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 8 ayat (1). Berdasarkan Pasal 12, pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 tidak menghilangkan kewajiban pengusaha atas denda keterlambatan membayar THR Keagamaan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Terlepas dari berbagai peraturan diatas, pengusaha harusnya sudah mempersiapkan alokasi untuk THR jauh-jauh hari dalam alokasi keuangan perusahaan bahkan sebelum Covid-19 menyerang. Maka dari itu pengusaha jangan mengambil momen Covid-19 untuk tidak melakukan kewajiban tersebut. Apalagi pemerintah sudah mengeluarkan berbagai kebijakan meringankan pengusaha agar tetap memenuhi kewajibannya tersebut. Salah satunya relaksasi pembayaran BPJS Ketenagakerjaan.

Pemerintah harus lebih cermat melihat permasalahan ini dengan mengawasinya secara detail, verifikatif dan objektif. Misalnya, Kemnaker harus mempunyai data detail berapa perusahaan yang sudah angkat tangan, dan melakukan PHK/merumahkan karyawan. Lalu berapa perusahaan yang masih bisa bertahan, tapi tidak bisa bayar THR. Jika memang keuangan perusahaan masih sehat, Kemnaker tetap harus memastikan perusahaan menjalankan kewajibannya. Pemerintah juga harus memastikan kebijakan yang dikeluarkannya tersebut diimplementasikan oleh perusahaan, jangan sampai terjadi pembangkangan. Selain itu juga, pemerintah harus clear dan melaporkan kepada DPR dan rakyat, sektor dan perusahaan mana saja yang benar-benar terdampak dan audit laporan keuangannya. Apalagi hal itu tidak dilakukan, khawatir ada pembohongan laporan.

Kita semua terutama para pekerja tentu mengharapkan pembayaran THR ini tidak ditangguhkan, karena mereka butuh bertahan hidup dibawah ketidakpastian kapan pandemi Covid-19 ini berakhir. Tentunya kebutuhan masyarakat pada saat Idul Fitri meningkat, meskipun pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan larangan mudik. Dengan kata lain, kewajiban lain dari pemerintah kepada rakyatnya bisa ditunda seperti pemberian bantuan sosial maupun lainnya. Tetapi untuk pembayaran THR tidak bisa ditunda karena itu merupakan hak para pekerja. Belum lagi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mencatat, saat ini ada 115 juta masyarakat rentan miskin. Golongan inilah yang ketika terkena bencana seperti Covid-19 ini akan rentan ke bawah garis kemiskinan.

Dalam situasi serba sulit seperti sekarang ini, kesinambungan kehidupan dunia usaha dan buruh harus tetap dijaga. Semoga para pekerja tetap tabah dan berharap kepada Allah Swt untuk bisa bertahan hidup di tengah pandemi Covid-19, serta berhemat dalam memenuhi kebutuhannya di tengah kesulitan dan keterbatasan kehidupan.(*)