Jakarta- Di penghujung akhir Ramadan telah terjadi beberapa peristiwa yang membuat masyarakat miris. Disaat sebagian masyarakat berjuang kelelahan melawan Covid-19 baik di berbagai rumah sakit yaitu tenaga medis bersama para pasiennya termasuk masyarakat yang berdiam diri dirumah ternyata sejumlah masyarakat tetap berani berkerumun untuk beribadah dan berbelanja.

Demikian percakapan pembuka Koran Jakarta dengan Dosen Ilmu Komunikasi Universitas AlAzhar Indonesia (UAI) Jakarta, Damayanti Wardyaningrum, terkait perilaku masyarakat dalam menghadapi wabah virus korona yang telah ditetapkan WHO sebagai pandemi global itu.

Bulan lalu kata Damayanti, kita mendengar di sejumlah wilayah warganya positif korona sesuai hasil tes pasca mereka menjalankan ibadah secara bersama-sama. Kini kita dihadapkan pada jenis kerumunan baru, berbelanja jelang lebaran. Walikota Bogor, Bima Arya yang sempat dirawat selama 22 hari di rumah sakit saat awal periode korona hadir sampai turun ke lapangan menyerukan warganya agar membubarkan diri saat berkerumun berbelanja di pasar Anyar Bogor. Dari percakapan walikota dengan sejumlah pengunjung Pasar Anyar mereka mengaku harus memberi baju lebaran untuk anak. Alasan lainnya adalah karena rasa bosan berada dirumah terus.

“Inilah potret sebagian masyarakat kita yang masih tidak dapat membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Membedakan mana yang penting dan genting. Tagar Indonesia terserah pun merebak disusul berita peningkatan jumlah penderita beberapa hari kemudian,” katanya.

Kasus Pasar Anyar memang bukan satu-satunya peristiwa kerumunan yang membuat sebagian masyarakat gemas dan kesal. Disaat situasi pandemi seperti ini dengan upaya pemerintah melakukan pembatasan sosial berskala besar, sebagian masyarakat justru tidak mampu menahan diri untuk keluar rumahbahkan berbondong-bondong mendatangi kerumunan. Pemerintah sedang berusaha keras agar titik puncak pertumbuhan kasus Covid-19 terjadi pada akhir Mei 2020 dan kurva melandai bertahap.

Damayanti yang dikenal juga sebagai Peneliti Komunikasi Bencana

menjelaskan, jika alasan warga ke luar rumah karena harus mencari sesuap nasi untuk bertahan hidup barangkali masih dapat dimaklumi meskipun hal ini juga disayangkan. Sebagian warga yang hidupnya tergantung pendapatan harian memang berada di posisi yang sulit. Terlebih jika dana bantuan sosial tak kunjung mereka terima. Namun jika sekelompok warga harus keluar rumah bahkan berada di kerumunan dengan alasan membeli baju untuk keperluan lebaran maka kini kita perlu berkaca.

“Sedemikian pentingkah baju lebaran di saat situasi seperti ini? Demikian sulitnyakah menjelaskan pada anggota keluarga bahwa untuk saat ini baju lebaran bukan prioritas?Barangkali tidak terlintas di benak warga yang berkerumun bahwa penularan korona dapat mengakibatkan kehilangan anggota keluarga yang dicintai,” tanya Damayanti.

Kiranya momentum Covid-19 ini tandas Damayanti, juga kesempatan kita untuk menimbang kembali apakah selama ini kita melaksanakan ibadah Ramadan hingga merayakan lebaran dengan bobot landasan ibadah atau lebih banyak memenuhi kebutuhan konsumsi. Konsumtif di saat lebaran sudah menjadi gaya hidup masyarakat Indonesia. Bahkan trendnya setiap tahun cenderung meningkat. Jika dahulu orang berbelanja hanya untuk kebutuhan makan ketupat dan baju baru, kini belanja baju lebaran dilakukan hingga lewat tengah malam (midnight sale disejumlah pusat perbelanjaan). Jelang mudik lebaran biasanya trend penjualan mobil meningkat karena perlu mobil baru untuk pulang mudik.

Tradisi lebaran dalam budaya masyarakat Indonesia memang merupakan akulturasi antaraunsur agama dengan unsur budaya lokal. Kebiasaan bersilaturahmi yang dianjurkan agama dengan mengunjungi keluarga dan sanak saudara tentu merupakan tradisi yang agung. Selain masyarakat kita yang kolektif dan senang bertandang. Ditambah tujuan silaturami amat bak karena untuk saling memafkan.

Namun ketika tradisi tersebut harus ditunjang dengan kebutuhan lain seperti membawa hantaran, menyediakan menu makanan tertentu untuk tamu (yang juga memerlukan budget tertentu), hingga kewajiban mengenakan pakaian baru (berikut perlengkapannya seperti sepatu, tas dan asesoris) maka budaya konsumtif yang melingkupi nilai inti lebaran perlu kita renungkan kembali.

Ada beberapa ungkapan jelang akhir Ramadan tahun-tahun lalu. Bahwa masjid semakin sepi dan pusat perbelanjaan semakin ramai justru disaat sepuluh hari terakhir dimana seharusnya umat lebih meningkatkan ibadah. Daftar buka puasa bersama, belanja pakaian dan kue-kue adalah bagian dari gaya hidup dibulan Ramadan. Belum lagi dengan merebaknya penggunaan sosial media yang mendukung hasrat narsis serta menumbuhkan kebiasaan pamer pada diri seseorang.

Pengaruh Media Sosial

Damayanti yang juga Direktur Administrasi Bidang Akademik, Promosi dan PMB UAI ini menyoroti trend sosial media yang membuat masyarakat sibuk mengejar unsur-unsur yang bersifat duniawi ketimbang ukhrawi. Hal-hal yang terkait kebendaan dan nilai-nilai yang terlihat secara kasat mata menjadi ukuran yang lebih penting untuk dikejar. Setelah berbelanja dan mengunjungi suatu tempat wajib upload dan posting. Jangan sampai kalah dengan yang lain. Ketika berada dalam situasi berat seperti ini kebiasaan yang seharusnya mulai diminimalisir justru tetap dipertahankan.

Jika merujuk pada konsep hirarki kebutuhan Maslow yang tetap berlaku dalam situasi apapun katanya, maka kebutuhan makan dan sandang sebagai kebutuhan mendasar tetap yang paling utama. Untuk manusia dapat bertahan hidup tentunya. Kebutuhan tahap selanjutnya yaitu rasa aman yang diperlukan saat ini adalah aman dari penularan virus korona.

Sehingga untuk memperoleh kebutuhan rasa aman maka tingkat kebutuhan lainnya seperti sosialisasi, dan aktualisasi perlu ditunda dahulu untuk beberapa waktu. Kita perlu menahan diri untukbeberapa waktu demi terpenuhinya kebutuhan yang mendasar. Bukannya hal ini juga merupakan aspek kita menjalankan ibadah puasa? Bukan sekedar menahan rasa lapar dan haus namun juga menahan diri untuk melakukan hal-hal yang bersifat mudharat. Dalam situasi ancaman pandemi seperti ini maka berada dalam kerumunanakan lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaat.

Damayanti menegaskan, jika pada suatu saat gaya hidup konsumtif jelang lebaran ini tiba-tiba harus berhenti karena adanya pandemimaka bagi sebagian masyarakat hal ini nampaknya masih sulit dilakukan. Pertama, karena ketidak tahuan masyarakat mengenai bahaya penularan virus korona.

Lebih lanjut dikemukakan, berbagai informasi di media mengapa kita harus mematuhi PSBB, apalagi istilah asing seperti social distancing, physical distancing, lockdown tentu tidak semua masyarakat bisa memahami. Istilah medis seperti desinfektant, rapid test, pandemi yang populer akhir-akhir ini juga tidak membuat sebagian masyarakat takut. Bahkan penderitaan akibat sakit dan kematianpun jangan-jangan dianggap hal yang biasa saja.

Belum lagi istilah yang lebih ilmiah seperti permodelan kurva, krisis ekonomi, Ro (angka reproduksi kasus), doubling time (waktu penggandaan) dan sebagainya. Padahal berbagai pengetahuan ini diperlukan untuk mencegah naiknya angka penderita dan menentukan akhir penularan virus. “Dengan pengetahuan yang memadai maka gaya hidup konsumtif juga bisa diminimalisir, ditunda atau bahkan dihilangkan,” ujar Damayanti.

Kedua, merubah kebiasaan tidak mudah. Tindakan yang dilakukan berulang akan menjadi kebiasaan dan akhirnya menjadi karakter. Masyarakat yang punya kebiasaan belanja jelang lebaran memiliki karakter yang sulit untuk diubah. Sejak kecil sudah dibiasakan dengan kewajiban belanja baju baru saat lebaran. Maka ketika ada situasi yang berbeda menunda kenikmatan berbelanja meskipun hanya sesaat menjadi berat. Kecuali benar-benar masyarakat tidak memiliki uang. Itupun biasanya masih ada upaya untuk meminta bantuan darisana sini.

Damayanti mengungkapkan, ditemukan beberapa kasus bahwa dana Bansos yang diberikan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pokok pangan keluarga jutrudigunakan untuk belanja baju dan rokok.

“Pandemi ini mengajarkan banyak hal kepada kita. Mengingatkan kembali mana sebenarnya yang merupakan kebutuhan atau sekedar keinginan. Mana kebutuhan yang mendesak atau bisa ditunda bahkan bisa dihilangkan sama sekali,” kata Damayanti.

Pascapandemi yang entah kapan akan berakhir kini kita memasuki situasi normal yang baru (new normal). Tentu dengan gaya hidup yang baru. Memprioritaskan hal-hal yang penting, memenuhi kebutuhan dasar dengan optimal untuk kualitas kehidupan masyarakat yang lebih baik. Sur/AR-3

Sumber
KoranJakarta