Jakarta, CNN Indonesia — Unggahan Staf Khusus Presiden Diaz Hendropriyono terkait video para santri tutup telinga saat mendengar musik jadi polemik. Komentar Diaz dianggap tak sesuai dengan sikap pemerintah yang selama ini kerap menggaungkan toleransi umat beragama.
Video itu diduga direkam saat para santri mengikuti program vaksinasi Covid-19. Namun belum jelas lokasi dan waktu kejadian tersebut. Begitu pula asal sekolah atau pesantren anak-anak itu.

Namun video itu dibubuhi keterangan bahwa para santri sedang mengantre vaksinasi. Di tempat itu, musik disetel. Di saat yang sama, santri-santri itu menutup kuping agar tidak mendengar suara musik.

“Sementara itu… Kasian, dari kecil sudah diberikan pendidikan yang salah. There’s nothing wrong to have a bit of fun!!” tulis Diaz mengomentari video di akun Instragram pribadinya.

Pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, mengatakan pernyataan Diaz menujukkan bahwa pihak Istana menerapkan standar ganda dalam upaya membangun toleransi antarumat beragama di Indonesia.

Menurutnya, pemerintah begitu gampang melabeli orang sebagai kelompok radikal, tanpa mengetahui kebenaran yang sesungguhnya.

“Paradoks atau standar ganda. Jadi bela diri, padahal belum tentu juga orang itu nasionalis, kita juga belum tahu, tapi di saat yang lain menuduh orang radikal,” kata Ujang saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (16/9).

Ujang berkata, setiap pernyataan atau langkah seorang pejabat negara seharusnya dilakukan secara objektif dan bijaksana. Menurutnya, pejabat negara perlu memiliki jiwa negarawan dan tidak boleh melayangkan tuduhan secara sembarangan.

“Semua semestinya objektif dan bijaksana agar bangsa ini tidak bertengkar di soal itu saja,” kata Ujang.
Lebih lanjut, ia menyampaikan langkah Diaz itu menunjukkan ketidakjelasan sikap pemerintah terkait toleransi antarumat beragama. Ujang meminta Istana memperbaiki gaya komunikasi yang dibangun terhadap publik dengan tidak asal melayangkan tuduhan.

“Semestinya ada aturan main, ada etika internal yang dijaga ketika mau komunikasi dengan publik. Kelihatannya main masing-masing ini,” tutur Ujang.

Ia pun meminta agar pejabat di lingkaran Istana tidak usil dalam menggunakan media sosial. Menurutnya, pejabat negara harus beretika menggunakan media sosial. Sementara, kata Ujang, Diaz tidak bijak menggunakannya.

Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, menyatakan langkah yang dilakukan Diaz menunjukkan sikap paradoks Istana terkait toleransi antarumat beragama. Pada kenyataannya, langkah pemerintah kerap bertentangan dengan pernyataan yang disampaikan ke publik.

“Omongan sama kenyataannya beda. Istana itu panggung depannya terlihat baik tapi panggung belakang banyak yang enggak benar. Seakan apa yang terjadi di sekitarnya itu dijelekin, ditutup mata hati dan telinganya seakan tidak pernah terjadi apa-apa,” kata Adi.

Adi menilai, langkah yang dilakukan Diaz tersebut fatal karena telah mengolok-olok keyakinan orang lain.

“Ada pejabat yang mengaku di lingkaran Istana tapi statement-nya bukan kayak pejabat, suka sarkastis. Terbaru ya ini, santri tutup telinga. Bukan hanya paradoks, tapi ya suka-suka negara atau penguasa lah mau apa,” ujar dia.
Berangkat dari itu, Adi menyarankan agar pejabat negara bekerja sesuai tugas pokok dan fungsi. Menurutnya, pejabat negara juga tidak boleh asal menuduh sesuatu yang tidak dipahami.

“Kalau tidak ada hubungan terhadap tugas pokok dan fungsinya sebagai stafsus tidak perlu dikomentari. Apa urusannya urus santri lagi hafalin Alquran, apalagi ada tudingan itu ajaran yang salah. Dari mana tahu itu ajaran yang salah? Ini tidak baik buat contoh dalam bangun adat budaya demokrasi kita,” ujar Adi.

Hingga berita ini diterbitkan, Diaz Hendropriyono belum menanggapi pesan WhatsApp dari CNNIndonesia.com untuk menjelaskan polemik ini.

Sejumlah tokoh agama hingga lembaga negara ikut berkomentar atas video viral santri tutup kuping.
Putri Presiden keempat RI sekaligus mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Yenny Wahid ikut bersuara. Ia meminta tak ada orang yang seenaknya melabeli cap radikal kepada para santri yang menutup kuping saat mendengar musik.

Menurut Yenny, aksi para santri itu bukanlah indikator yang menunjukkan mereka terpapar radikalisme. Yenny mengatakan narasi-narasi yang menyematkan label atau cap kepada orang lain dengan mudah itu justru makin memperuncing keterbelahan di tengah rakyat Indonesia yang plural. Oleh karena itu, ia mengajak masyarakat untuk saling belajar dan mengerti satu sama lain.

“Jadi kalau anak-anak ini oleh gurunya diprioritaskan untuk fokus pada penghafalan Alquran dan diminta untuk tidak mendengar musik, itu bukanlah indikator bahwa mereka radikal,” kata Yenny dalam akun Instagram @Yennywahid.

Senada, Sekretaris Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Achmad Uzair Fauzan meminta seluruh pihak tidak cepat melabeli ustaz dan para santri yang menutup telinga saat mendengar musik sebagai kelompok radikal.

Uzair mengatakan belum tentu para santri menutup telinga karena menganggap musik haram. Menurutnya, bisa saja para santri terganggu dengan audio yang terlalu keras.

Baginya, perilaku menutup kuping saat terdengar lagu hanya merupakan satu segmen yang berbeda. Terlebih, sama sekali tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan hingga bisa disebut radikalisme.

“Kita jangan tergesa-gesa memberikan judgement, tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Kita masyarakat bermedia, ketika media di-share, sering kali lepas konteksnya,” kata Uzair.

Presiden Joko Widodo sempat menyatakan bahwa pemerintah tidak akan kompromi terhadap tindakan intoleransi. Menurut Jokowi, intoleransi bakal merusak kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Sikap pemerintah tegas, tidak akan berkompromi terhadap tindakan intoleransi yang merusak sendi-sendi berbangsa dan bernegara,” kata Jokowi saat membuka Mukernas dan Munas Alim Ulama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), di Istana Negara, Kamis (8/4).
Sumber

CNN