Oleh: Nanang Haroni, Pengajar di Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Al Azhar Indonesia (UAI)
Wabah Corona Virus Diseases 2019 (Covid-19) memaksa manusia di berbagai belahan dunia mengubah model hubungan sosial yang selama ini ajeg. Dalam bahasa Christian Fuchs (2020), miliaran manusia mengalami dan mempraktikkan perpecahan dan pengorganisasian radikal dalam kehidupan sosial mereka.
Lanskap kehidupan berubah. Kita saling menjaga jarak setelah sekian lama terbiasa menghabiskan periode waktu tertentu secara bersama-sama dengan orang lain untuk mencapai tujuan tertentu.
Tentu, lanjut Fuchs, yang terjadi memang bukan pembubaran hubungan sosial. Lebih tepatnya, terjadi reorganisasi hubungan sosial secara radikal. Tatap muka dimediasi. Komunikasi diatur dengan bantuan teknologi informasi.
Tapi jarak sosial tidak bermakna penghindaran komunikasi, melainkan upaya mengurangi risiko fisik pada individu. Di titik ini, mediasi menjadi strategi kelangsungan hidup. Memang tak sempurna, tapi media relatif mengefektifkan hubungan yang terdistorsi nuansanya karena jarak.
Lalu bagaimanakah efektivitas hubungan sosial yang dimediasi ini dalam konteks pendidikan? Di Tanah Air, kebijakan pemerintah membatasi interaksi langsung antar orang, segera ditindaklanjuti Mendikbud, Nadiem Makarim dengan mengeluarkan instruksi lewat Surat Edaran (SE) Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Kegiatan belajar dilakukan di rumah demi mencegah penyebaran virus. Maka para guru menggunakan berbagai cara dan media yang mungkin untuk berkomunikasi dengan anak, orangtua—karena juga ada di rumah—diminta berusaha mendampingi.
Kendala
Di awal pembelajaran jarak jauh, banyak orangtua bersyukur karena mendapatkan kesempatan untuk merevitalisasi peran mereka sebagai pendidik dan bahwa tak cukup mempercayakan segalanya pada sekolah. Bahkan ada ruang refleksi mengenai bagaimana pendidikan harusnya benar-benar terhubung dengan persoalan sekitar.
Tapi di sisi lain, tak sedikit kendala dan keluhan disampaikan melalui media yang jika dirangkum demikian: sejumlah orangtua merasa tidak siap mendampingi anak belajar karena sejumlah alasan. Ada juga yang kesulitan memahami alat penunjang maupun materi, ketika anak membutuhkan bantuan.
Kurangnya kesiapan media atau alat penunjang seperti handphone, atau jika tersedia pun, kuota atau pakat data internet menjadi kendala lainnya. Orangtua menilai tugas untuk anak mereka terlalu banyak—karena berasal dari lima guru, misalnya—dalam satu pekan. Teknis menerima dan mengirim soal-jawaban, atau menggunakan aplikasi interaksi online adalah soal yang lain lagi.
Untuk menjawab kendala-kendala terkait kegiatan belajar berbasis online, Kemdikbud memberi solusi seperti penyediaan buku paket di kelas maya. Juga ada portal rumah belajar bisa diakses lebih dari 80 ribu orang baik guru maupun siswa. Kemendikbud juga menggandeng beberapa penyedia aplikasi edukatif yang belakangan banyak tersedia dan biasanya berbayar, kini bisa diakses gratis.
Lalu bagaimana dengan mereka yang berada di wilayah dengan fasilitas daring sangat tidak memadai dan tidak memiliki kemewahan fasilitas komunikasi seperti di perkotaan? Ada TVRI. Tersedia program belajar dari PAUD hingga SMU. Asumsinya, TVRI adalah stasiun televisi yang jangkauannya paling luas.
Tapi sayangnya, sulit untuk mengatakan jawaban ini memadai. Karena durasi terbatas, materi ajar di TVRI juga sangat terbatas. Belajar di TVRI jelas butuh pendampingan orang dewasa yang juga paham bahkan kreatif karena keterbatasan medium ini dalam membuat anak-anak—misalnya di tingkat bawah—fokus.
Apalagi kita tahu, sejak lama, program-program pendidikan di televisi memang kesulitan bersaing dengan konten-konten lain di media yang sama. Apalagi jika dibandingkan dengan konten yang tersedia di gawai pintar orangtua. Satu hal lagi, apakah cukup fair membayangkan semua keluarga hari ini memiliki pesawat televisi?
Bukan Soal Covid-19
Dampak wabah Covid-19 memang luar biasa termasuk terhadap kegiatan belajar mengajar. Tapi ini bukan semata soal Corona. Kita, tampaknya harus kembali dan lagi, merefleksikan cara-cara kita melihat masalah pengajaran, atau lebih luas lagi, pendidikan, termasuk sejauh mana peran yang harus diambil masing-masing pihak. Karena itu, beberapa hal berikut layak direnungkan.
Pertama, persepsi para orangtua umumnya terkait tugas mendidik yang bukan hanya urusan sekolah, harus diikuti dengan kesadaran dan upaya cukup untuk mengambil peran secara maksimal dalam membangun sinergi peran tersebut.
Senada itu, sekolah atau lembaga pendidikan juga harus secara serius menggarap program sinergitas peran institusi dengan para orangtua. Komunikasi antara sekolah dan para orangtua siswa tidak semata formalitas dan di waktu-waktu rutin seperti pembagian rapor, atau rapat-rapat sosialisasi kegiatan tertentu.
Perlulah kiranya dibicarakan masalah-masalah yang secara substansial terkait dengan proses internalisasi nilai-nilai. Karena pada dasarnya banyak ide program dan turunan kegiatannya yang memungkinkan sekolah, orangtua, dan siswa secara bersama-sama mengembangkan diri dan tidak berjalan dengan dunia masing-masing.
Kedua, sudah sejauh mana para pendidik memaksimalkan usaha untuk selalu mengembangkan diri sebagai pembelajar? Tugas mengajar harus terus menerus diperbaharui baik terkait kedalaman atau keluasan materi ajar maupun metodenya. Karena kurangnya ide, banyak praktik pengajaran yang dilakukan dalam hampir dua bulan terakhir, berjalan dengan cara berpikir dan pola pertemuan biasa.
Bedanya komunikasinya menggunakan media. Belajar mengajar secara online, tapi model, metode dan prinsipnya tetap seperti sedia kala. Keluhan orangtua tentang tugas anak yang menumpuk setiap pekan adalah salah satu yang bermuara dari fenomena ini.
Ketiga, pemerintah memang belum menunjukkan upaya serius mendorong dunia pendidikan dan memfasilitasi institusi agar mampu mengembangkan kegiatan belajar mengajar menggunakan atau bahkan terintegrasi dengan dunia digital. Padahal ini soal yang tak mungkin dihindari lagi.
Terakhir, untuk kesekian kalinya harus dikatakan, program-progam peningkatan kualitas pengajar atau guru di berbagai daerah memang tidak terlihat berjalan. Dari periode ke periode, ini baru sebatas isu dan wacana. Kita tahu bahwa ini sangat dibutuhkan dengan berbagai alasan yang terlalu panjang untuk disampaikan, tapi hampir semua kita paham maksudnya.
Hemat penulis, jika poin-poin ini dicermati dan masalahnya digarap serius sejak kemarin, peristiwa yang memaksa keadaan berubah seperti sekarang ini tidak akan banyak mengguncang kita dalam soal belajar mengajar.
Tak ada yang berharap keadaan seperti sekarang berjalan lebih lama lagi, atau bencana yang mengharuskan anak-anak kita belajar di rumah masing-masing datang kembali. Tapi jika pun tak bisa dihindari, dunia pendidikan kita harus sudah jauh lebih siap. Bukankah kita sedang diminta sama-sama menyukseskan program ‘Merdeka Belajar’? Mulailah dengan melihat krisis ini sebagai momentum perubahan.
Sumber
TangerangNews
https://tangerangnews.com/opini/read/32588/Bukan-Sebab-Corona