Umumnya orang beranggapan bahwa agama sangat erat kaitannya dengan moralitas. Karena pada dasarnya agama diturunkan ke muka bumi tidak lain adalah untuk membenahi moralitas kehidupan manusia. Adapun dengan ekonomi memang sulit untuk dikaitkan langsung. Walaupun ada pelajaran agama yang menyatakan bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah, tetapi tidak ada ayat menyatakan bahwa agama diturunkan ke muka bumi tidak lain adalah untuk memperbaiki kehidupan ekonomi manusia.
Agama Islam, misalnya, sering diidentikkan sebagai agama rahmatan lil alamin. Agama untuk keselamatan alam semesta. Bahkan ada hadis yang menerangkan bahwa Nabi Muhammad SAW diutus ke muka bumi ini, tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak (perilaku). Dari sini jelas-jelas bahwa agama dan moralitas, sejatinya, satu nafas. Hal ini saya yakin ada juga di dalam agama-agama lainnya. Dalam bahasa statistika bisa dikatakan bahwa korelasi agama dan moralitas itu tinggi sekali.
Pertanyaannya, apakah benar bahwa agama telah membimbing ummatnya lebih bermoral daripada mereka yang tidak beragama? Apakah pemeluk agama itu lebih toleran, lebih penolong, lebih punya sifat altruism ketimbang mereka yang tidak beragama (nir-agama)? Tentu pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan jumlah sampel yang sangat kecil. Misalnya, ada satu keluarga yang taat beragama itu baik sekali kehidupan sosialnya. Atau sebaliknya, ada keluarga yang jahat padahal ta’at beragama. Dari dua informasi itu kita tidak bisa menarik kesimpulan apa-apa. Kesimpulan umum tidak dapat ditarik dari orang atau keluarga yang jumlahnya sedikit atau hanya berdasarkan pandangan selintas. Artinya diperlukan jumlah sampel cukup banyak diperoleh melalui metodologi yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Di bulan November 2015 peneliti dari Universitas Chicago melaporkan hasil riset tentang moralitas yang ada kaitannya dengan pemeluk agama (Forbes dan Current Biology Journal). Sampel diambil dari 1170 anak-anak usia 5-12 tahun dari keluarga Muslim (43%), Kristen (24%), dan sisanya dikategorikan tidak memeluk agama (nir-agama). Adapun negara dalam penelitian itu ialah USA, Kanada, Jordania, Turki, dan Afrika Selatan.
Hasilnya cukup mengejutkan saya sebagai orang yang memeluk agama (Islam). Ditemukan bahwa kelompok pemeluk agama cenderung lebih egoist (selfish) daripada mereka yang berasal dari keluarga nir-agama. Kebiasaan berbagi dan kepedulian terhadap orang lain atau altruism keluarga nir-agama lebih baik daripada keluarga agamis. Perilaku kelompok keluarga agamis cenderung lebih keras dan eksklusif. Selain itu, ditemukan juga semakin naik usianya, tingkat “selfish” mereka semakin menjadi-jadi.
Penemuan ini menggagalkan hipotesis saya yang beranggapan bahwa agama dan moralitas itu saling berkaitan, berkorelasi positif. Yang terjadi malah sebaliknya. Saya berpikir ini suatu masukan yang sangat berharga bagi umat beragama untuk menata ulang pendidikan yang berkaitan dengan moral kehidupan sehari-hari. Hubungan antar manusia (hablumminnas) keluarga agamis perlu lebih ditekankan. Sehingga sifat-sifat altruism atau kesalehan sosial umat beragama berkembang baik.
Saya pikir banyak faktor penyebab munculnya sifat-sifat non-kooperatif umat beragama. Salah satunya adalah fanatisme buta. Bisa jadi para pemeluk agama sudah terperangkap oleh paradigma merasa paling benar sendiri. Sehingga mereka terisolasi oleh pikirannya sendiri dan tertutup dari kehidupan sosial yang lebih beragam. Keleluasaan berpikir kelompok agamis tidak selebar mereka yang nir-agama. Hal ini bisa dijadikan lonceng peringatan bagi para pendidik agama agar sifat-sifat kemanusiaan (humanity) yang tinggi bisa tumbuh subur di kalangan umat beragama. Para pendidik harus terus berjuang agar agama itu membawa perdamaian, rahmat, keindahan, dan keteraturan di muka bumi ini. Bukan sekedar retorika. Humanitas kaum agama harus menjadi realita kehidupan sehari-hari.
Bila dikaitkan dengan ekonomi negara, agama juga tidak menunjukkan berita gembira. Hasil penelitian Pusat Riset Pew (Pew Research Center, USA) Desember 2015 ada indikasi bahwa negara-negara yang masyarakatnya menganggap agama itu sangat penting ternyata kelompok negara berpenghasilan rendah. Mereka itu ialah Etiopia, Senegal, Uganda, Pakistan, Burkima Fosa, Tanzania, Ghana, Nigeria, dan Filipina. Adapun Indonesia berada dalam klaster ini, yaitu berada diantara Senegal dan Uganda. Dari catatan ekonominya, pendapatan per kapita negara-negara ini di bawah rataan dunia yang berarti negara miskin.
Masyarakat dari negara yang berpenghasilan tinggi, kecuali USA, tidak menganggap agama sebagai sesuatu yang penting. Mereka itu adalah Jepang, Prancis, Australia, Australia, Korea Selatan, Rusia, UK, Spanyol, German, dan Ukraina. Dalam hal ini Tiongkok menempati urutan paling tinggi artinya masyarakatnya sangat tidak menganggap agama sebagai suatu yang penting. Kelompok ini dapat dikategorikan sebagai negara dengan kandungan sains-teknologi sangat tinggi. Indeks kompleksitas ekonominya sangat baik, artinya negara ini memanfaatkan sekali peran sains dan teknologi dalam pembangunan ekonomi. Kesimpulan umum yang dapat ditarik adalah bahwa agama tidak mendorong kepada kemajuan ekonomi negara. Tingkat inovasinya sangat lemah.
Kedua penemuan tersebut memberi sinyal kepada kita semua agar berpikir keras untuk meningkatkan kehidupan bermasyarakat sekaligus mempelajari sains dan teknologi bagi kemajuan negara. Agama Islam yang saya tahu sangat menekankan pentingnya ilmu pengetahuan. Nabi Muhammad SAW menekankan untuk belajar selama hayat dikandung badan. Ada juga hadis yang menyuruh umat Islam untuk belajar sampai ke negeri Cina. Selain itu, bukankah ayat pertama juga berbunyi “iqra”, bacalah. Mari kita buktikan.
Sumber
ybb.or.id