SISI lain pandemic covid-19 dimaksudkan untuk merefleksikan peritiswa atau pelajaran tersirat terjadinya peristiwa tersebut. Banyak sisi lain yang menarik tidak melulu masalah kesehatan dapat dibahas dan dikritisi dari pandemic virus corona atau Covid-19 di tanah air. Mulai dari pernyataan pejabat negara yang tidak masuk akal bahkan nyeleneh sampai kebijakan pemerintah menimbulkan kontroversi di masyarakat. Padahal Covid-19 ini merupakan masalah serius yang perlu perhatian/penanganan khusus dari semua pihak. Utamanya pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas masalah yang sudah mengglobal ini.
Memang perlu diakui bahwa Covid-19 ini merupakan virus baru, sehingga berbagai negara termasuk Indonesia kelabakan menghadapinya. Sampai-sampai muncul istilah di masyarakat hidup segan mati tak mampu. Tidak ada yang salah dari istilah tersebut, karena memang hingga saat ini belum ada solusi paling jitu mengatasi virus yang sudah memakan korban jiwa di Indonesia sebanyak 720 jiwa per 25 April 2020.
Kembali lagi kepada sisi lain dari pandemic Covid-19. Di awal Covid-19 mewabah di tanah air pada antara akhir Februari sampai awal Maret lalu, pemerintah mengumumkan status tanggap darurat Covid-19 yang kini diperpanjang sampai 29 Mei 2029. Dampaknya, kantor-kantor, sekolah-sekolah menerapkan kerja dan belajar dari rumah atau stay at home.
Disinilah muncul dua sisi lain dari pandemic Covid-19. Pertama, di rumah saja sudah bantu pemerintah/negara perangi Covid-19. Pada masa penjajahan untuk membantu negara, harus ikut berperang. Masa mengisi kemerdekaan, untuk membantu negara harus bekerja dan belajar secara aktif dan nyata,tentunya tidak di rumah. Saat pandemic Covid-19, untuk membantu Negara tidak perlu berperang atau bekerja giat di luar rumah, tetapi cukup tinggal dalam rumah.
Presiden Jokowi menetapkan pandemic Covid-19 sebagai bencana nasional pada 13 April 2020, yang di ikuti dengan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa wilayah. Pemerintah pun mengkampanyekan dan menghimbau agar masyarakat di rumah saja. Mengapa demikian? Karena pencegahan Covid-19 dapat dilakukan dengan cara mengurangi aktivitas di luar rumah yang dibarengi social distancing (jaga jarak sosial) dan psysical distancing (jaga jarak fisik).
Dampaknya, aktivitas masyarakat terbatas serta perekonomian di tanah air memburuk. Pemerintah pun tidak tinggal diam atas kebijakan yang sudah diambilnya itu. Berbagai program bantuan sosial dikerahkan, meskipun hingga kini belum seluruh masyarakat yang terkena dampak Covid-19 ini mendapatkannya. Artinya, pemerintah benar-benar berharap masyarakat di rumah saja sudah membantu menanggulangi pandemic Covid-19.
Kedua, lahirnya guru baru di rumah. Hal itu sebagai konsekuensi dari penerapan PSBB yang meliburkan sekolah-sekolah. Otomatis para pelajar ini harus belajar di rumah. Di sini lah tugas para orang tua bertambah yakni menjadi guru di rumah, karena belajar di rumah bukan berarti tanpa pengawasan. Selama di rumah, para pelajar ini banyak diberikan tugas oleh pihak sekolahnya yang nantinya dikumpulkan secara online. Nah, karena sistem belajar secara online ini, tidak semua pelajar mengerti menggunakan alat komunikasi secara digital. Terutama, pelajar Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Mereka pun tidak semuanya memiliki gadget atau laptop untuk belajar dirumah. Mau tidak mau para orang tua harus merelakan alat-alat tersebut dipakai oleh anaknya. Sehingga, para “guru baru dirumah” ini perlu mengajarkan kepada anaknya untuk mengoperasikan alat-alat itu. Tidak semua anak-anak pelajar ini langsung bisa menggunakan. Maka para orang tua ini bisa dibilang juga menjadi murid atau pelajar juga karena mereka ikut mengerjakan atau mengajari anak-anak mereka belajar secara online di rumah. Itu lah lahir guru-guru baru di rumah.
Ketiga, napi asimilasi berulah lagi. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly pada 30 Maret 2020 mengeluarkan Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia (Permenkumham) Nomor 10 Tahun 2020 tentang syarat pemberian asimilasi dan hak integrasi bagi narapidana dan anak dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran Covid-19. Atas peraturan tersebut, sebanyak 37.000 narapidana dan anak dibebaskan.
Permenkumham ini mendapat kritikan dari banyak kalangan, karena dinilai tidak masuk akal dan bertolak belakang dengan ancaman sanksi pidana bagi masyarakat yang melanggar ketentuan PSBB. Sesuai dengan Pasal 93 Jo Pasal 9 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, sanksi satu tahun dan denda Rp 100 juta. Di satu sisi kebijakan ini membebaskan narapidana untuk pencegahan Covid-19 di Lapas/Rutan yang mayoritas over capacity di Indonesia. Di sisi lainnya, justru menjebloskan masyarakat ke jeruji besi bagi yang melanggar PSBB.
Narapidana yang dibebaskan ini juga menimbulkan permasalahan baru yang tentunya meresahkan masyarakat, yakni mereka kembali berulah melakukan tindak pidana kejahatan. Pada akhirnya mereka kembali masuk jeruji besi. Atas hal itu, Menkumham Yasonna Laoly digugat oleh masyarakat sipil pada 23 Maret 2020 ke Pengadilan Negeri Surakarta. Mereka menuntut Menkumham mencabut Permenkuham tersebut karena sudah meresahkan masyarakat.
Keempat, mudik berbeda dengan pulang kampong. Sisi lain berikutnya bisa dibilang paling menarik dan aneh, yakni adanya pembedaan mudik dan pulang kampung itu berbeda. Pulang kampong dimaknai bekerja di Jabodetabek, di sini sudah tidak ada pekerjaan, ya mereka pulang. Karena anak istrinya ada di kampung. Sedangkan mudik dilakukan saat menjelang Hari Raya Idul Fitri. Namun ‘pulang kampung’ tidak terbatas pada momen Lebaran. Kalau mudik itu di hari Lebaran-nya, beda, untuk merayakan Idul Fitri. Kalau yang namanya pulang kampung itu bekerja di Jakarta, tetapi anak-istrinya ada di kampung.
Merujuk ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi Android, terbitan Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kata ‘mudik’ memiliki dua arti. Berikut adalah arti ‘mudik; dalam KBBI V. 1.(berlayar, pergi) ke udik (hulu sungai, pedalaman): dari Palembang — sampai ke Sakayu. 2. pulang ke kampung halaman. Contoh: seminggu menjelang Lebaran sudah banyak orang yang mudik.
Sementara arti ‘pulang kampung’ adalah kembali ke kampung halaman; mudik. Contoh: dia pulang kampung setelah tidak lagi bekerja di kota. Ternyata pengertian ‘mudik’ dan ‘pulang kampung’ hampir sama. Ada contoh yang disertakan dalam KBBI, yakni mudik disertai contoh konteks Lebaran, sedangkan pulang kampung disertakan konteks kondisi pekerjaan di kota.
Hal ini tentu membuat bingung masyarakat, dimana pelarangan mudik yang diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik Idul Fitri Tahun 1441 Hijriah dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19, sudah diberlakukan mulai 24 April 2020 sampai dengan 31 Mei 2020 untuk transportasi darat, 15 Juni untuk kereta api, 8 Juni untuk transportasi laut, dan tanggal 1 Juni untuk transportasi udara. Hal ini dapat diperpanjang dengan menyesuaikan dinamika pandemi COVID-19 di Indonesia.
Artinya, akibat pernyataan Jokowi ini masyarakat yang ingin mudik bisa saja beralasan kepada petugas bahwa mereka hanya ingin pulang kampung. Tidak hanya pemudik yang bingung, para petugas mudik juga mengalaminya.
Kelima, Sisi lain terakhir adalah ditundanya pembahasan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja oleh DPR dan pemerintah. Awalnya, pemerintah dan DPR sepakat membahas RUU Cipta Kerja ini ditengah pandemic Covid-19. Namun, para organisasi buruh dan sarikat pekerja mengancam akan melakukan aksi demo besar-besaran pada 30 April 2020 apabila RUU ini tetap dibahas ditengah pandemic ini. Atas hal itu, Presiden Jokowi dalam keterangannya di Istana Merdeka pada Jumat (24/4/2020), mengatakan, pihaknya telah menyampaikan kepada DPR untuk menunda pembahasan RUU Cipta Kerja klaster Ketenagakerjaan.
Menarik kita tunggu, sisi lain apa lagi yang nantinya akan muncul setelah ini. Namun kita berharap semua pihak terutama pemerintah, tidak membuat kebijakan dan pernyataan yang tidak produktif dan tidak solutif, tetapi harus bersifat persuasif, argumentatif dan visioner. (*)
Oleh : Suparji Achmad
Sumber