Pada tahun 1972, Prof. Andi Hakim Nasoetion, membacakan pidato guru besarnya dengan judul “Statistika Sebagai Tongkat Di Daerah Ketidaktahuan”. Diilustrasikan ada 5 orang buta yang ingin tahu bentuk gajah. Kelima orang itu meraba badan gajah secara berbeda-beda. Setelah kelima orang itu berembuk, lalu mereka menyimpulkan bentuk gajah berbasis data hasil rabaan masing-masing.
Untuk menarik kesimpulan bagaimana bentuk gajah yang dimulai dengan tugas meraba badan gajah tentu mereka memerlukan tongkat penuntun. Tongkat itulah yang disebut statistika. Dan saat ini pun kita adalah orang buta yang sedang mencari kebenaran.
Dari analogi kisah itu, dapat disimpulkan bahwa statistika adalah suatu ilmu dan seni untuk menarik kesimpulan secara sahih dari informasi yang tidak lengkap. Di dalamnya ada upaya mengumpulkan data, mengolah, menganalisis, memodelkan, mempresentasikan, menyimpulkan dan merekomendasikan hasil. Adapun model itu tidak lain adalah penyederhanaan dari kompleksitas masalah. Walaupun model itu tidak 100% benar, tetapi sangat berguna. Itulah yang disebut “knowledge based decision.”
Akibat dari perkembangan teknologi digital, maka data atau informasi saat ini semakin banyak, cepat, dan multi sumber. Akibatnya data bisa tidak terstruktur selain terstruktur. Kita mirip dengan kisah orang buta tadi, gajah adalah “big data” dan kita butuh alat. Artinya kita tetap memerlukan statistika sebagai tongkat untuk penarikan kesimpulan.
Bagaimana kita bisa menyimpulkan sesuatu dari informasi yang beragam dalam ukuran yang sangat besar bila kita tidak mempunyai cara memilih dan memilah informasi yang berserakan. Statistika dengan berbagai variannya mempunyai cara untuk menambang data (data mining) serta mengelompokkan (cluster, segment) berbasis prinsip kesamaan dan perbedaan ciri yang dimiliki data. Sebesar apapun datanya, prinsip itu tetap berlaku. Bahkan lebih akurat dengan ukuran yang relatif besar. Di saat ini teknisnya banyak dibantu oleh teknologi digital. Statistika di era data besar menjadi sangat penting.
Memang dalam proses detail penambangan data orang statistika tidak mungkin bekerja sendiri. Dia memerlukan bidang lain dalam memformulasikan ciri-ciri dari data. Saat ini persoalan-persoalan pun tidak mungkin bisa ditangani oleh satu bidang. Semua memerlukan disiplin yang lain. Sifat dari masalah adalah kompleks, jadi diperlukan pendekatan multidisiplin.
Terlepas dari bidang keahlian yang ingin dikuasai seseorang, harus dibekali dengan kekuatan matematika dan statistika. Bukan sekedar mekanistis rumus dari kedua bidang itu tetapi prinsip yang mendasarinya. Kedua bidang itu bisa dikatakan sebagai ratu dan pelayan ilmu pengetahuan.
Matematika dapat membawa kita ke tingkat keteraturan yang tinggi (mathematics is the highest order) secara deduktif. Adapun statistika membantu proses akumulasi data dan keputusan secara induktif. Kedua pendekatan itu sangat diperlukan dalam formulasi dan penarikan kesimpulan.
Dengan semakin banyaknya informasi dan bergerak sangat cepat, maka selain kekuatan matematika dan statistika itu, perlu menguasai juga ilmu komputer. Di India pendekatan ilmu ratu, pelayan, dan alatnya itu dilakukan memperkuat ketiga bidang itu di seluruh perguruan tinggi. Sir CR Rao (begawan statistika modern murid dari Sir RA Fisher) membuat pusat studi yang menggabungkan ketiganya, namanya CR Rao Center for Mathematics, Statistics, and Computer Science) atau CR Rao CMSCS.
Supaya Indonesia tidak ketinggalan oleh percepatan zaman, kampus-kampus harus punya kekuatan tiga serangkai matematika, statistika dan ilmu komputer itu. Kampus-kampus besar harus mempunyai pusat seperti CMSCS. Kalau tidak, kita hanya menjadi penonton yang sering terkaget kaget.
Salah satu hal yang perlu diperkuat bagi proses analisis data adalah ketersediaan piranti lunak (software). Memang saat ini ada beberapa software yang tersedia, tetapi umumnya buatan luar negeri dan berlisensi. Untuk itu perlu dibangun software statistika “made in Indonesia” yang mudah dipergunakan oleh siapapun, termasuk oleh mereka yang berkebutuhan khusus (difabel).
Saya berkeyakinan dalam hal pengembangan software ini, para generasi milenial mampu membuatnya. Universitas dapat menjadi ekosistem untuk memfasilitasi kreativitas dan inovasi mahasiswa dan dosen muda. Siapa tahu nanti ada proses pembelajaran, konsultasi, dan operasionalisasi data di ruang “metaverse” dimana Indonesia menjadi pionirnya.
Dukunglah para orang kreatif dan inovatif menjadi faktor penggerak kemajuan sains, teknologi, dan implementasinya dalam dunia nyata. Itulah tugas kampus di Indonesia. Insya Allah, bila ada keinginan dan dukungan (termasuk regulasi), Indonesia akan menjadi penentu masa depan dunia. Aamiin.
*Asep Saefuddin, Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) – Guru Besar Statistika FMIPA Institut Pertanian Bogor (IPB)
Sumber