Regulasi yang jelas dan memandu, sinergi antar elemen, dan dukungan fasilitas menunjukkan komitmen negara-negara maju dalam memperhatikan penyelenggaraan pendidikan tinggi yang inklusif dan ramah disabilitas. Di Universitas Edinburgh (University of Edinburgh / UoE), Skotlandia misalnya, masalah ini sudah benar-benar ditangani secara terintegrasi dan terus menerus diinovasi. Demikian antara lain catatan penting dari perjalanan tiga dosen muda dari Ilmu Komunikasi Universitas Al Azhar Indonesia selama lebih dari sepekan di Skotlandia, khusus di Universitas Edinburgh pada 4-8 Maret lalu. Kegiatan ini merupakan implementasi hibah bertajuk “UK-ID Disability Inclusion Partnership Grant” dari British Council Indonesia.
Selama di UoE, tim dosen ini disambut Professor Dr John Ravenscroft dan Elizabeth McCann dari Moray House School of Education and Sport (MHSES) yang tahun ini sedang merayakan 175 tahun berdiri. Sambutan dari para staff memberikan rasa hangat ditengah suhu 0 derajat kota Edinburgh yang juga tercatat sebagai situs warisan dunia UNESCO pada 1995. ‘’Di Skotlandia, kalau sekolah atau kampus menolak calon mahasiswa disabilitas itu termasuk pelanggaran, ilegal. Jadi, mau tidak mau harus dan karenanya, perguruan tinggi dan sekolah tidak bisa bekerja sendirian,’’ kata Cut Meutia Karolina, S.I.Kom., M.I.Kom., yang berkunjung ke Edinburgh bersama Edoardo Irfan dan Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Gusmia Arianti, S.E., M.Si.
Menurut Gusmia, kegiatan bersama dan kunjungan ini sangat penting bukan hanya bagi UAI, tapi untuk pendidikan tinggi di Indonesia secara umum. ‘’Buat kami, ini merupakan bekal penting mempersiapkan diri sebagai kampus ramah disabilitas. Kelak, kami juga bisa sharing ke masyarakat luas. Kami belajar kepada institusi yang tepat karena MHSES kan ranking satu di Skotlandia dan peringkat ke-13 dunia untuk subjek pendidikan,’’ kata Arianti, Kaprodi Ilkom UAI. Edo, sapaan Edoardo Irfan, juga mengamini hal ini. Di Skotlandia, Edo melihat pendidikan tinggi ramah disabilitas lebih dari sekadar pelaksanaan regulasi. ‘’Mereka sudah lama melakukan ini dengan serius, fokus, dan sinerginya dengan para stake holder luar biasa. Sehingga pendidikan inklusif itu benar-benar jadi budaya,’’ kata Edo. Dalam ini, tim dosen muda UAI ini antara lain mencatat bahwa di Skotlandia, negara memang memberikan insentif untuk sekolah atau perguruan tinggi penerima siswa/ mahasiswa disabilitas. Dan di atas itu, lembaga pendidikan menunjukkan bahwa mereka ‘’terpanggil’’ dan harus menciptakan atmosfer yang sepenuhnya mendukung disabilitas. ‘’Karena itu, mereka melangkah jauh dari kebutuhan dasar yang ramah. Misalnya, soal definisi saja, di Skotlandia sudah berkembang perluasan definisi disabilitas. Mental health, atau masalah-masalah mental mahasiswa dalam belajar itu digolongkan ke dalam disabiltas,’’ tambah Edo.
Professor John yang merupakan Chair of Childhood Visual Impairment dalam kesempatan ini menyampaikan bahwa ia sangat antusias menyambut kerjasama ini. Menurutnya, jika perguruan tinggi di Indonesia seperti UAI mulai menyelenggarakan pendidikan inklusi dari nol, itu sangat baik. ‘’Kalau dari nol, itu memberikan keleluasaan bagi kami untuk berkontribusi dan berharap ini akan menjadi pilot project yang nantinya akan menjadi panduan perguruan tinggi lainnya di Indonesia,’’ kata John.
Selain diskusi bersama John, Elizabeth dan para koleganya, tim dosen muda ini juga melalui sejumlah kegiatan seperti bertemu alumni dengan kondisi disabilitas netra, para guru dari seluruh penjuru United Kingdom, hingga ikut serta dalam pelatihan pelatihan menyusun materi pembelajaran ramah netra. ‘’Kami juga mendengar langsung apa saja yang dikerjakan Pusat Disabilitas UoE dalam mempersiapkan calon mahasiswa disabilitas yang akan menjalankan studi. Tak kalah menarik, kami diskusi dengan perwakilan dari Communication, Access, Literacy dan Learning (Call) Edinburgh, sebuah organisasi nirlaba yang merupakan unit MHSES yang membantu anak-anak dan pemuda disabilitas di sana dalam menghadapi keterbatasan dalam proses belajar,’’ kisah Cut Meutia Karolina, S.I.Kom., M.I.Kom. Kegiatan intensif selama lima hari ini juga diisi dengan mengikuti seminar “Socio Emotional Support for Students with Visual Impairment in Higher Education” hingga diskusi dengan peneliti asal Australia tentang pendidikan inklusi di negaranya. Makan malam yang hangat di sebuah resto di tengah kota Edinburgh menjadi penanda akhir perjalanan belajar di kota yang memiliki lanskap arsitektur unik juga ikonik dari abad 15.
John Ravenscroft dan Elizabeth McCann dijadwalkan akan berkunjung ke Indonesia, khususnya UAI, pertengahan Mei 2024 untuk memberikan seminar dan pelatihan bagi dosen-dosen dalam membuat materi pembelajaran yang ramah disabilitas. Mereka juga akan mendampingi UAI dalam merumuskan policy brief terkait kampus yang ramah untuk teman-teman netra. ‘’Ini harus menjadi pilot project bagi perguruan tinggi lain dalam persiapan atau pengembangan kebijakan menerima mahasiswa disabilitas,’’ pungkas Cut Meutia.