Media digital dengan segala kompeksitasnya berpotensi mengurangi kemampuan jurnalis untuk melayani demokrasi dan pembangunan. Dalam konteks jurnalis perempuan, misalnya, survei Reporters Without Borders terhadap 150 jurnalis di 120 negara menemukan bahwa media digital digunakan untuk mengancam atau melecehkan jurnalis perempuan.
Hal ini disampaikan Angela Romano, mantan jurnalis dan Associate Professor of Journalism di Queensland University of Technology in Australia. Angela menyampaikan hal tersebut dalam simposium internasional Development and Democratization in Algorithm World yang FISIP Universitas Al Azhar Indonesia dalam rangka memperingati 20 Tahun lembaga ini. Kegiatan dilaksanakan pada tanggal 25 Oktober 2022, disiarkan langsung secara online/webinar dari Universitas Al Azhar Indonesia, Jakarta.
‘’Sekitar 73 persen (jurnalis perempuan) diancam atau diserang melalui email atau media sosial, sekitar 48 persen jurnalis perempuan menyensor diri sendiri dan lebih memilih menghindari menyebutkan subjek tertentu,’’ papar Angela dalam acara yang dihadiri sekitar 480 peserta melalui zoom meeting dan siaran langsung youtube.
Selain Angela Romano, simposium juga menghadirkan Prof. Ang Peng Hwa dari Nanyang Technological University, Singapura, Manoj Kumar Panigrahi (Jindal School of International Affairs, India, Yuherina Gusman (Hubungan Internasional UAI), Mohamad Ghozali Moenawar (Ilmu Komunikasi UAI) dan Muchammad Nasucha (Ilmu Komunikasi, UAI). Dalam kesempatan ini, panitia menyampaikan penghargaan khusus kepada pendiri FISIP UAI, Prof Dr Yahya Muhaimin (alm) yang juga Menteri Pendidikan Nasional di era Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Angela memang tidak secara khusus berbicara mengenai isu jurnalis perempuan. Ia mencoba menggambarkan salah satu dampak buruk dari perkembangan agresif media digital, algoritma dan artificial intelligence (AI) terhadap pembangunan demokrasi, termasuk di bidang pers.
Faktanya, demikian juga dikemukakan pembicara lain, Ang Peng Hwa, saat ini kehidupan kita memang tidak bisa dilepaskan dari algoritma dan AI. Dan sebagaimana umumnya hasil inovasi teknologi, pengaruh algoritma dan artificial intelligence terhadap kehidupan masyarakat hari ini tidak selalu baik.
‘’Maka dalam konteks pembangunan demokrasi, misalnya, dibutuhkan refleksi, pendekatan dan pemahaman yang terus menerus diperbaharui dalam melihat hubungan dunia digital dengan demokrasi dan pembangunan sosial politik,’’ kata Ang. Menurutnya, ada beberapa tantangan terkait algoritma dan AI yang harus dicermati. Misalnya soal ketersediaan data dan kesadaran diri.
‘’Selalu ingat bahwa AI tidak akan pernah bisa menjelaskan mengapa ia melakukan apa yang lakukan. Dan algoritma adalah kotak hitam yang tidak mudah dipahami,’’ paparnya lagi.
Selebihnya, Prof Ang mengingatkan bahwa bagaimanapun algoritma sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat yang tumbuh sangat progresif dengan potensi baik dan buruknya.
‘’Kita perlu menemukan pendekatan baru untuk meminimalkan yang buruk dan memaksimalkan yang baik. Dan jika kita percaya demokrasi adalah bentuk pemerintahan terbaik, kita harus waspada untuk memainkan peran kita untuk memeriksa algoritma,’’ tegasnya.
Senada dengan Ang, Angela juga memaparkan hal-hal yang patut disyukuri dari kenyataan di era digital, sekaligus tetap waspada terhadap dampak buruknya. Bagi kegiatan jurnalisme misalnya, Angela menggambarkan bahwa era digital memungkinkan wartawan bekerja efektif dan efesien dalam wawancara, pengecekan fakta dan deteksi isu terkini. Saat yang sama, respons publik juga bisa dengan cepat diperoleh hingga memudahkan jurnalis menentukan langkah-langklah penting dalam pengelolaan isu.
Tetapi juga dibutuhkan refleksi yang intens terkait dengan kerja-kerja jurnalisme mengingat tantangan dunia digital menghadirkan kerumitan tersendiri. Salah satu yang patut untuk selalu direnungkan adalah peran jurnalis sebagai agen pemberdayaaa. Angela menyebut ini sebagai salah satu model jurnalisme pembangunan.
‘’Intinya, wartawan fokus pada “pembebasan”, yakni membangun martabat manusia, kesetaraan, dan peluang bagi semua orang, harus aktif terlibat dan memberdayakan masyarakat biasa, juga berusaha membangun kemandirian masyarakat dan demokrasi partisipan,’’ kata Angela.
Dalam konteks ini, Angela juga mengingatkan agar arus informasi ditekankan dari bawah ke atas dan horisontal. Selain itum jurnalisme digunakan untuk membantu individu memahami penyebab ketidakadilan sosial, mengorganisir tindakan untuk mengubah masyarakat.‘’Bagi saya, media bukanlah pendidik. Tapi media harusnya menjadi fasilitator yang membantu masyarakat untuk memimpin,’’ katanya.
Peran media dalam pembangunan menjadi sangat dominan sejak kehadiran media digital, seperti yang Angela paparkan. Hal ini juga dibahas oleh pembicara yang lain. Para pembicara lain turut memberi pandangan dari berbagai perspektif dari dunia algoritma.
Paparan dari Yuherina Gusman yang melihat perspektif perkembangan teknologi dan media digital dari sisi kesempatan dan kemudahan yang dihadirkan bagi migran dan keluarga untuk berkomunikasi selama terpisah jarak. Kemudian pandangan Mohamad Ghozali Moenawar tentang masa depan komunikasi hybrid dalam posisi sentral terkait dengan paradigma dan praktik demokrasi serta pembangunan.
Seluruh pembicara miliki benang merah yang sama dalam membahas komunikasi, demokrasi dan pembangunan media digital. Hal ini sejalan dengan pemetaan yang dilakukan oleh Muchammad Nasucha dan tim mengenai hasil penelitian civitas akademika FISIP Universitas Al Azhar Indonesia selama 20 tahun terakhir. Pemetaan menunjukkan bahwa isu komunikasi dan media digital memiliki keterikatan yang kuat dengan demokrasi dan pembagunan dalam berbagai riset civitas akademika FISIP UAI tersebut. (Tim Media International Symposium FISIP-UAI)
Kunjungi website Universitas Al-Azhar Indonesia untuk baca berita lain mengenai kegiatan di kampus UAI.