tirto.id – Isu komunisme lewat Partai Komunis Indonesia (PKI) kembali mengemuka jelang peringatan G30S. Kali ini, Jenderal (purn) Gatot Nurmantyo kembali menyinggung soal kebangkitan komunisme di tubuh TNI. Parameter yang digunakan Gatot adalah hilangnya patung-patung tokoh militer dan diorama militer antara Soeharto yang berbincang dengan Sarwo Edhie sebagai Komandan Resimen Parako dibantu oleh KKO dalam penumpasan PKI yang berada di Museum Dharma Bhakti, Markas Kostrad, Gambir, Jakarta Pusat. Hal tersebut diungkapkan Gatot dalam diskusi daring “TNI vs PKI” dalam akun Youtube Kang Jana Tea, Minggu (26/9).

Mantan KSAD itu lantas menilai penghancuran diorama tersebut sebagai bentuk penyusupan PKI. Dia menyatakan saat ini bangsa Indonesia sedang berada dalam tikungan tajam yang sangat berbahaya terperangkap di jurang kehancuran. “Ini berarti sudah ada penyusupan (paham PKI) di dalam tubuh TNI. Dalam kesempatan ini saya mengetuk jiwa patriotisme dan kesatuan prajurit TNI AD, AL, AU,” kata Gatot dalam video tersebut. Kostrad pun memberikan klarifikasi soal klaim Gatot itu. Kapen Kostrad Kolonel Inf Haryantana membantah bahwa Kostrad berinisiatif untuk membongkar diorama tersebut. Haryananta justru menjelaskan gagasan untuk membongkar diorama tersebut justru dari Panglima Kostrad ke-34 Letnan Jenderal TNI (Purn) Azmyn Yusri Nasution.

Pada 30 Agustus 2021, Azymn didampingi Kaskostrad dan Irkostrad bersilaturahmi kepada Pangkostrad Letjen Dudung Abdurachman. Ia bertujuan meminta izin pembongkaran patung-patung tersebut. Azmyn yang menjabat sebagai Pangkostrad periode 9 Agustus 2011-3 Maret 2012, adalah penggagas ide untuk pembuatan patung-patung itu. Namun Azmyn Nasution pula yang meminta patung-patung itu dibongkar demi ketenangan batin Azmyn. “Demi ketenangan lahir dan batin, sehingga pihak Kostrad mempersilakan. Tidak benar Kostrad menghilangkan patung sejarah,” kata Haryantana. Istana Negara pun menyerahkan soal tudingan Gatot itu kepada TNI. “Saya serahkan kepada Pak Panglima saja,” kata Staf Khusus Presiden Jokowi bidang Komunikasi, Fadjroel Rachman, Selasa (28/9/2021).

Mengapa Isu Kebangkitan PKI Kerap Berulang?

Manuver Gatot soal narasi PKI bukan kali pertama. Ia beberapa kali mengingatkan bahaya laten PKI, bahkan sejak masih menjadi Panglima TNI. Salah satu momen yang mendapat sorotan adalah upaya Gatot selaku Panglima TNI mengajak seluruh personelnya menonton film G30S PKI. Ia pun menyinggung bahwa anak PKI telah ada di DPR sejak 2017. Pada 2020, Gatot pernah curhat ada kader partai yang akan memberhentikannya bila terus-menerus ia bicara soal PKI. Hal tersebut diungkapkan Gatot dalam video berjudul “Jenderal Gatot Endus PKI Gaya Baru Sejak 2008” yang diunggah oleh kanal YouTube Hersubeno Point.

Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Miftah Fadli menilai isu PKI adalah isu yang terus berulang dinarasikan pemerintah tentang upaya kudeta 30 September 1965 serta menutupi kasus-kasus kejahatan kemanusiaan yang melibatkan genosida, perbudakan, kekerasan seksual, penyiksaan, dan penghilangan paksa yang terjadi pasca peristiwa G30S. Fadli menilai, isu PKI kerap digunakan demi mendelegitimasi tuntutan penyintas dan keluarganya agar pemerintah bertanggung jawab menyelesaikan kasus pembantaian massal, termasuk melakukan pengungkapan kebenaran tentang peristiwa, permohonan maaf, penghukuman, dan pemenuhan hak pemulihan menyeluruh.

Di sisi lain, Fadli menilai pemerintah belum terlihat untuk menyelesaikan masalah PKI hingga saat ini karena isu PKI selalu terdengar setiap jelang 30 September. “Berulangnya isu PKI ini jadi bukti pemerintah atau negara mencoba mengkerdilkan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pasca 30 September 1965, dan menjustifikasi kalau pembantaian massal di masa lalu itu ‘dibenarkan’ karena ada tindakan coup, sekaligus juga bukti bahwa negara mencoba menghindar untuk bertanggung jawab,” kata Fadli kepada reporter Tirto. Fadli menyoroti sejumlah poin utama kasus 65 yang tidak disentuh pemerintah. Pertama adalah kebenaran peristiwa 65. Komnas HAM sudah membuktikan lewat penyelidikan pro-yustisia bahwa terdapat pelanggaran HAM berat yang harus ditindaklanjuti dengan penyidikan oleh Jaksa Agung, tapi hal itu tidak pernah terjadi. Pemerintah pun tidak pernah mengeluarkan pernyataan resmi soal kebenaran peristiwa 65, apalagi penghukuman terhadap pelaku.

Sementara itu, kata dia, terkait pemulihan, pemerintah memang sudah melakukan secara terbatas kepada korban. Tindakan pun dilakukan antara LPSK bersama-sama dengan Komnas HAM dengan keterbatasan dana dan kewenangan, sehingga tidak semua penyintas dan keluarga yang diberikan pemulihan. “Selain itu, tidak ada pemulihan kolektif juga bagi korban – karena korban pembantaian massal 1965-1966 ini kan bukan semata-mata entitas individual saja, tapi juga entitas kolektif,” kata Fadli. Fadli menilai, ada dampak tidak diselesaikan persitiwa 65 dan tidak ada pengungkapan kebenaran cukup besar. Salah satunya keluarga korban masih mengalami stigma dan diskriminasi di masyarakat.

Selain itu, generasi pasca orde baru berpotensi menjadi korban kebohongan dan manipulasi oleh narasi sejarah yang salah. Ia menerangkan, “Sejumlah generasi pasca Orde Baru, yang bukan korban langsung, terutama anak-anak muda, juga banyak dikriminalisasi dan dituduh PKI – karena TAP MPR 25/1066 juga belum dicabut, proses produksi pengetahuan dan kebenaran yang hari ini banyak diinisiasi oleh kawan-kawan muda, didelegitimasi, beberapa dari mereka dilarang berkumpul dan berekspresi bahkan jadi korban penghukuman sewenang-wenang. Efeknya antar-generasi.” Oleh karena itu, Fadli menilai perlu ada solusi dalam penyelesaian konflik PKI. Pertama, ia menilai pemerintah perlu mengkaji ulang keberadaan TAP MPR 25/1966 yang menjadi legitimasi penegak hukum dan pemerintah mengkriminalisaai kegiatan tentang upaya pengungkapan kebenaran insiden 1965-1966 dan PKI.

Menurut Fadli, hal tersebut sudah tidak sesuai dengan UUD 1945 pasca amandemen di mana orang punya hak untuk menyatakan pikiran dan pendapat, termasuk menyatakan kebenaran. Kedua, kata Fadli, pemerintah perlu mengambil kebijakan politik untuk mengungkap kebenaran peristiwa PKI supaya publik punya akses yang luas terhadap pengetahuan tentang apa sebenarnya yang terjadi di masa lalu. “Tapi melihat konteks politik hari ini, yang ideal itu sepertinya masih terdengar utopis. Sekarang sebenarnya banyak kebijakan-kebijakan afirmatif di level daerah yang mulai mengakui korban dan pengalaman pelanggaran HAM berat yang dialaminya, mestinya pemerintah bisa mulai mengkonsolidasikan praktik-praktik lokal itu untuk dijadikan strategi pemulihan nasional untuk korban. Pemulihan nggak cuma materiil dan individual, tapi juga imateriil dan kolektif,” kata Fadli.

Kaset Usang Politik Gatot Nurmantyo

Dosen Politik Universitas Telkom Dedi Kurnia Syah tidak memungkiri bahwa masih ada gagasan politik komunis dan masih berjalan di Indonesia. Namun hal tersebut tidak bisa diafiliasi dengan partai tertentu. Ia juga menyadari Gatot Nurmantyo tengah berusaha membangun gerakan waspada PKI. Akan tetapi, hal tersebut menjadi lucu karena kekurangpahaman Gatot untuk menjadikan isu PKI sebagai jalan untuk Pemilu 2024. “Gatot bisa saja punya orientasi melalui kontra PKI ini untuk meningkatkan popularitas, hanya saja sangat kecil kelompok sadar politik yang punya minat tersebut sehingga isu PKI secara politik tidak lagi relevan, bahkan berisiko menjadi wacana pemikiran Gatot saja, tidak lebih dari itu,” kata Dedi kepada reporter Tirto, Selasa (28/9/2021). Dedi malah melihat aksi Gatot sebagai bentuk mantan jenderal TNI itu bingung dalam mengangkat tema politik untuk menaikkan pamornya lagi.

Dalam pandangan Dedi, langkah Gatot pesimistis berhasil karena tidak relevan dengan popularitas dah simpati publik. “Sama sekali tidak relevan sekaligus antiklimaks, jika popularitas dan simpati publik yang ia harapkan. Gatot seharusnya lebih berani dengan menyosialisasikan gagasan-gagasan nasionalnya, untuk misi dan visi Indonesia jika ia memimpin nanti,” kata Dedi. Pandangan Dedi bukan tanpa alasan. Eks Panglima ABRI Wiranto justru eksis ketika jenderal purnawirawan itu mendeklarasikan diri untuk mendirikan Partai Hanura dan menjadi capres.

Menurut Dedi, “Hal itu lebih konkret dibanding menjual isu yang sama sekali sudah tidak miliki imbas elektoral,” Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin menilai, Gatot sedang mengingatkan TNI agar waspada akan kebangkitan gaya baru PKI. “Saya melihatnya itu warning dari mantan Panglima TNI untuk kita semua. Narasi Gatot itu sebagai pengingat pada kita akan kekejaman PKI di masa lalu yang tak boleh kita lupakan,” kata dia kepada reporter Tirto. Ujang tak mau terjebak soal isu komunis ala Gatot sebagai kaset usang yang diulang-ulang atau tidak. Namun yang pasti, kata dia, semua tetap harus waspada dengan segala kemungkinan. “Termasuk soal PKI. Karena bagaimanapun ideologi itu tak ada yang benar-benar mati. Jadi akan selalu ada orang yang akan membangkitkannya kembali,” kata dia.

Sumber

tirto.id