Jakarta, IDN Times – Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada 8 September 2021 kembali memberikan tugas baru bagi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan. Luhut dipercaya menjadi Ketua Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Tim Gernas BBI).

Pembentukan tim tersebut tertuang di dalam Keppres nomor 15 tahun 2021. Di dalam tim itu, Luhut turut dibantu sejumlah pejabat tinggi seperti Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Gubernur Bank Indonesia (BI), dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Selanjutnya, ada ketua harian yang dijabat oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan wakilnya Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah.

“Tim Gernas BBI berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden,” demikian isi salah satu poin di Keppres tersebut yang dikutip pada Minggu (26/9/2021).

Dalam catatan IDN Times, ini menjadi tugas tambahan keenam yang diberikan Jokowi kepada Luhut. Saat ini Luhut masih menjabat sebagai Komandan Pembatasan Pemberlakuan Kegiatan Masyarakat (PPKM) wilayah Jawa-Bali. Jabatan itu ia pegang sejak Juli 2021.

Apakah wajar berderet tugas tersebut dibebankan kepada Luhut? Apakah ini menandakan Jokowi tak mempercayai menteri lain mampu mengerjakan tugas yang diberikan?

1. Luhut tak kerjakan tugas tambahan di kabinet seorang diri

Dalam catatan IDN Times, Luhut juga pernah mengemban lima tugas lainnya. Tugas itu mulai dari menurunkan kasus COVID-19 di sembilan provinsi pada 2020, Dewan Pengarah Tim Penyelamatan Danau Prioritas Nasional, Menteri Interim di Kementerian Kelautan dan Perikanan, Wakil Ketua Tim Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, hingga Komandan PPKM wilayah Jawa dan Bali.

Banyaknya tugas yang dibebankan kepada Luhut seolah mengonfirmasi pendapat warganet tak ada menteri lain yang paling dipercaya oleh Jokowi. Bahkan, warganet menjuluki Luhut dengan kata “Lord” sekaligus untuk menggambarkan besarnya pengaruh yang dimiliki mantan jenderal TNI AD tersebut.

Bahkan, sebelum diberi kepercayaan menjadi Menteri Kemenko Marves, Luhut juga pernah duduk sebagai Kepala Staf Presiden (KSP) hingga Menko Polhukam. Juru bicara Kemenko Marves, Jodi Mahardi, mengatakan Luhut tidak akan keteteran dengan banyaknya tugas yang diberikan oleh Jokowi.

“Ini kan bukan kerjaan Pak Luhut sendirian, tapi kerjaan ramai-ramai. Pak Luhut kebetulan ditunjuk untuk mengkoordinasikan saja,” ujar Jodi pada 20 September 2021.

2. Luhut dikritik karena seolah ingin jadi Superman di kabinet

Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI), Ujang Komarudin, berpendapat salah satu alasan Jokowi kerap memberikan tugas tambahan ke Luhut menandakan tingkat kepercayaannya yang tinggi. Meski, belum tentu tugas yang diemban ke Luhut berhasil diselesaikan dengan sempurna.

Salah satu yang disebut gagal yakni ketika Luhut diminta menurunkan kasus COVID-19 dalam kurun dua minggu di sembilan provinsi pada 2020. Pada kenyataannya, ketika itu kasus COVID-19 justru melonjak.

Di sisi lain, Ujang menilai Luhut seolah ingin menjadi ‘Superman’ dengan mengerjakan beberapa tugas sekaligus seorang diri.

“Pak Luhut kan seolah ingin menjadi ‘Superman’ yang bisa menyelesaikan banyak hal dengan satu tangan dan itu tidak terlalu bagus. Karena kewenangan di satu tangan itu belum tentu efektif dan baik,” kata Ujang ketika dihubungi IDN Times pada 25 September 2021.

Ujang berpendapat banyaknya tugas yang diberikan, menandakan Jokowi nyaman ketika bekerja dengan Luhut. Tetapi, ia tak menampik persepsi publik ke Luhut semakin negatif. Sebab, seolah tidak ada orang lain yang bisa diberikan tugas oleh Jokowi. 

“Dari 270 juta orang di Indonesia, seolah-olah tidak ada orang lain yang bisa jujur, dipercaya dan berintegritas. Tapi, saya sih tahu karena Luhut memiliki daya tekan yang kuat kepada kepala daerah di seluruh Indonesia,” tutur dia lagi.

Menurutnya, Luhut berhasil memenuhi ekspektasi Jokowi dengan memiliki daya pukul yang tinggi tersebut. Apalagi Luhut dulu merupakan jenderal di TNI.

“Karena Luhut dulu jenderal, maka tentara, BIN dan kepala daerah bisa masuk untuk membantu program vaksinasi, misalnya. Hal itu tidak bisa dilakukan oleh menteri lain,” ujarnya.

3. Beban tugas yang tak merata di antara menteri dianggap bisa picu kecemburuan

Ujang tak menampik pembagian tugas yang tidak proporsional oleh Jokowi bisa memicu kecemburuan di antara sesama pembantu presiden. Di tingkat elite, masing-masing pejabat berebut untuk bisa memiliki peran dan panggung.

“Di situlah sebenarnya mereka hidup dengan mengerjakan tugas menyangkut masyarakat. Sehingga, mereka punya panggung dan memperbaiki citra masing-masing. Jangan salah, di kabinet itu juga berebut terkait tugas-tugas dan kewenangan yang diberikan oleh Jokowi,” katanya.

Sebab, tugas dan kewenangan itu kemudian diikuti sejumlah anggaran. Ia menegaskan konstruksi yang tercermin di Istana merupakan pertarungan politik.

“Jadi, jangan dianggap partai koalisi itu damai-damai saja. Tidak, di antara mereka juga saling berebut (porsi kekuasaan),” ujar Ujang.

4. Menteri tidak harus ditugaskan sesuai dengan bidang kementeriannya

Sementara, dalam sudut pandang akademisi ilmu kebijakan publik dari Universitas Padjajaran, Bandung, Yogi Suprayogi Sugandi, alasan Jokowi memilih Luhut untuk mengerjakan beberapa tugas karena dianggap sukses merampungkan tugas sebelumnya. Ia menilai Luhut berhasil mengerjakan tugasnya.

Yogi memberikan contoh, Luhut sukses mengendalikan pandemik COVID-19 dan membersihkan Sungai Citarum yang pernah terlihat sangat kumuh.

“Saya menjadi saksi betapa Sungai Citarum saat ini menjadi lebih bersih dibandingkan sebelumnya. Karena saya sering gowes sepeda di daerah situ. Tentara benar-benar dikerahkan di garda terdepan, karena kan beliau dulunya adalah figur penting di TNI,” ungkap Yogi ketika dihubungi oleh IDN Times pada 25 September 2021.

Bahkan, Luhut berani menutup pabrik-pabrik tekstil besar yang dianggap telah mencemari aliran Sungai Citarum. Luhut, kata Yogi, dianggap berhasil mewujudkan proyek pembersihan sungai yang sudah tertunda sejak lama.

Di sisi lain, tak semua jabatan publik harus sesuai dengan merit dan latar belakang kementeriannya. Kecuali, bila hal yang ditangani tergolong teknis.

“Pak Luhut juga di sisi lain kan pasti berpikir ada dampaknya bila menolak tugas yang diberikan oleh presiden. Lagi pula, jabatan menteri juga adalah jabatan politis, yang mengedepankan the art of possibility, artinya siapa pun bisa mengerjakan apa pun,” kata dia.

Sumber

IDN Times