POJOKSATU.id, JAKARTA – Usai mural ‘Jokowi 404 Not Found’, ada lagi mural lain ‘Tuhan Aku Lapar’. Mural tersebut berada di Jalan Aria Wangsakara, Tigaraksa, Kabupaten Tangerang.

Pengamat politik Ujang Komaruddin menyarankan, negara tidak perlu merespon berlebihan atas berbagai mural tersebut.

Tidak perlu juga negara melakukan pendekatan militeristik terjadap para pembuatnya.

“Rakyat lapar jangan didekati dengan pendekatan yang aneh, rakyat yang buat mural ‘Tuhan Aku Lapar’,” ujarnya kepada RMOL (jaringan PojokSatu.id), Minggu (15/8/2021).

Sebaliknya, negara semestinya melakukan yang sebaliknya.

“Mestinya didekati dengan pendekatan humanistik,” sambung dosen dari Universitas Al-Azhar Indonesia ini.

Ujang juga menyinggung soal pernyataan polisi yang memburu para pembuat mural tersebut.

Menurutnya, itu adalah langkah yang tidak tepat, apalagi di tengah kondisi sedemikian rupa.

Lalu, seperti apa pendekatan humanis yang harusnya dilakukan negara kepada para pembuat mural tersebut?

“Beri mereka makanan, jangan sampai mereka di tekan-telan,” paparnya.

“Kita ini bukan negara militeritis. Kita ini negara demokratis. Rakyat lapar ya kasih makan, jangan kasih yang lain,” tandasnya.

Bukan Kriminal Berbahaya

Hal senada juga disampaikan Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion, Dedi Kurnia Syah yang menilai mural bernada kritik itu bukan tindakan kriminal berbahaya.

“Merespons secara represif pada konten mural rasanya berlebihan, kritik sosial melalui seni mural bukan hal baru, dan selama ini tidak menjadi persoalan,” ujarnya.

Sebaliknya, Dedi menyarankan agar presiden atau bawahannya bersikap bijaksana menghadapi kritik dari masyarakat.

“Presiden Jokowi saya kira perlu lebih bijaksana dalam merespons kritik, meskipun mungkin Jokowi tidak tahu-menahu,” kata dia.

“Setidaknya ia (presiden) dapat perintahkan kepolisian untuk tidak terlalu sensitif, terutama pada soal remeh semacam itu,” sambungnya.

Menurutnya, terlalu klasik jika menilai adanya mural kritikan terhadap Presiden Joko Widodo dianggap sebagai sebuah kebebasan berpendapat.

“Berpendapat itu sudah hak dasar yang seharusnya tidak diganggu selama kita masih menganut sistem politik demokrasi,” tegasnya.

Sebaliknya, pemerintah harus mampu menjamin ketertiban masyarakat dengan tidak mendikte masyarakat.

“Justru yang perlu ditekankan adalah soal kewajiban negara menjamin ketentraman warganya,” terangnya.

“Salah satunya dengan tidak mendikte kegiatan warga negara sesuai kemauan penguasa, selama itu bukan tindakan makar,” pungkas Dedi. (rmol/ruh/pojoksatu

Sumber

pojoksatu.id