JAKARTA, KOMPAS.com – Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin mengatakan, maraknya fenomena rangkap jabatan rektor universitas sebagai komisaris perusahaan merupakan bentuk kompromi antara kampus dengan pemerintah. Hal ini karena pemerintah butuh dukungan politik dari rektor agar kampus tak banyak mengkritik. “Jadi pemerintah butuh backup politik dari kampus agar kampusnya tidak keras, tidak mengritik,” kata Ujang dalam sebuah diskusi daring, Minggu (25/7/2021). “Maka di saat yang sama berkompromi, dikasihlah jabatan komisaris itu,” tuturnya.
Ujang mengatakan, kritik civitas akademika di suatu kampus dapat dikontrol oleh rektor sebagai pimpinan tertinggi universitas. Oleh karenanya, menurut dia, kompromi antara rektor dengan pemerintah dapat melemahkan pengawasan kampus terhadap pemimpin negara. “Kompromi-kompromi inilah yang merugikan kampus dan merugikan bangsa ini,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, pengamat pendidikan dari Center of Education Regulation and Development Analysis (Cerdas), Indra Charismiadji menyebut fungsi kontrol rektor terhadap kampus salah satunya tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 75 Tahun 2021 tentang Statuta Universitas Indonesia (UI).
Dalam PP yang baru itu disebutkan bahwa rektor memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan guru besar. Oleh karenanya, rektor dapat leluasa untuk mengendalikan civitas akademika kampus. “Itu kan akan berhubungan dengan nilai mahasiswa. Jadi kalau ditekannya dari situ, kamu boleh demo tapi enggak lulus misalnya, itu kan menjadi pilihan,” ucap Indra. Lebih lanjut, Indra menyebutkan, rangkap jabatan rektor pada komisaris perusahaan merupakan contoh buruk bagi mahasiswa. Bahkan, PP Nomor 75 Tahun 2021 yang kini membolehkan rektor rangkap jabatan bertentangan dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Dalam Pasal 17 dikatakan bahwa pelaksana pelayanan publik dilarang merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Indra menambahkan, rangkap jabatan rektor juga tidak sesuai dengan visi-misi Presiden Joko Widodo untuk menciptakan sumber daya manusia yang unggul. “Pak Presiden berilah contoh, ing ngarso sung tulodo, berikanlah suri tauladan ke kita semua untuk bagaimana bersikap, bagaimana bertindak, apa yang diucapkan sama dengan apa yang dilakukan,” kata dia. Adapun isu tentang rangkap jabatan rektor bermula dari Rektor UI Ari Kuncoro yang diketahui merangkap jabatan sebagai Wakil Komisaris Utama Bank BRI. Meski akhirnya pemerintah membolehkan rektor UI rangkap jabatan dengan merevisi PP Nomor 68 Tahun 2021 menjadi PP Nomor 75 Tahun 2021, Ari Kuncoro akhirnya mundur dari jabatan komisaris. Namun, rupanya, selain Ari, terdapat sejumlah rektor yang juga rangkap jabatan sebagai komisaris perusahaan yakni rektor Universitas Hasanuddin (Unhas), rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UII), dan rektor Universitas Bengkulu.
Sumber